KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

[OPINI] Membangun kamu ?












Oleh : Arjuna Nugraha

Belakangan ini, pembangunan infrastruktur di kampus merah sedang gencar-gencarnya dilakukan. Tidak sedikit bangunan yang direnovasi dan didirikan dengan alasan untuk menunjang peningkatan mutu mahasiswa. Dengan alasan itu pula, secara tidak langsung kehadiran infrastruktur-infrastruktur tadi, sedikit banyak telah menggeser kehidupan berbagai macam organisme di ekosistem rindangnya pepohonan dan ruang terbuka hijau yang sebelumnya telah lama ada. Akibatnya, banyak daerah resapan air yang sebelumnya adalah tanah, telah berubah wujud menjadi beton-beton dan barisan rapih batako.
 
Penggunaan batako setidaknya masih lebih baik, sebab batako memiliki pori-pori yang tersusun tidak terlalu rapat dan masih terdapat sedikit celah atau jarak antara satu batako dengan batako lain, yang tidak menutup akses bagi air untuk menyelinap masuk ke dalam tanah. Lantas, bagaimana jika itu adalah tegel (ubin)? seperti yang dijumpai dibeberapa fakultas, pihak kampus lebih memilih memasang ubin diarea per-taman-an daripada tanah saja atau batako. Parahnya, jumlah ubin yang ditanam diatas campuran itu, seolah-olah terlihat lebih banyak daripada jumlah tumbuhan yang ditanam di sekitarnya. Kalau saja hari sedang hujan, maka curahan air hujan yang mengucur dari langit tidak dapat diserap secara cepat oleh daratan (tanah) dibawahnya. Akibatnya, muncullah genangan-genangan air yang nampaknya banyak memberi kontribusi pada mobilitas civitas akademika di kampus merah. Hal tersebut diperparah oleh kurang mapannya saluran tempat air tersebut mengalir. Sehingga pada akhirnya menjadi suatu momok yang kurang diperhitungkan oleh salah satu lembaga resmi yang memproduksi orang-orang berpendidikan ini.
***
Dimana ada pembangunan, disitu ada uang. Sudah jadi sesuatu yang tak dapat dipungkiri lagi, bila pada kenyataannya tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan oleh ‘Puang Boss’, selaku pimpinan universitas dan sosok yang paling bertanggungjawab. Meski sudah beralih status menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) sekalipun, kampus yang dituntut untuk harus bisa buka-bukaan, masih saja enggan untuk mentransparansikan informasi yang diinginkan, misalnya saja data keuangan kampus. Jangankan secara tegas buka-bukaan, secara tidak tegas saja sangat jarang dijumpai bahkan hampir tidak pernah. Kalau tentang seberapa besar pengeluaran yang digunakan kampus untuk membangun, itu masih menjadi suatu kemisteriusan, semisterius aliran pemasukannya.

Kampus yang merupakan lembaga pendidikan tinggi ini, nampaknya telah membuang banyak kesempatan untuk menambah jumlah bacaan, menumbuhkan minat baca dan menulis, menambah jumlah penelitian dan pengabdian masyarakat, atau minimal menumbuhkan minat meneliti. Alih-alih melakukan itu semua, si pemangku kebijakan asik sana sini “mengemis” ke perusahaan untuk tanamkan investasi. Bukan itu saja, sekarang mereka sudah sibuk memikirkan tender, siapa lagi dan kucuran dana berapa lagi untuk pembangunan selanjutnya.


Menurut Mankiw (2008), pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas modal manusia. Modal manusia kemudian dijabarkan sebagai pengetahuan dan skill. Tentu saja, jika kita berbicara pengetahuan dan skill yang sifatnya kualitatif akan menyinggung seberapa banyak buku-buku atau referensi yang tersedia (yang menunjang pengetahuan), seberapa intens dosen mendidik dan mengajar/mentransformasi pengetahuan yang pure’ untuk peningkatan pengetahuan yang berorientasi pada perwujudan kesejahteraan masyarakat/bangsa.


Pembangunan fisik seperti ruangan, jaringan wifi, kursi, dll, merupakan faktor penunjang. Ia juga menjadi salah satu faktor peningkatan pengetahuan, tetapi sifatnya tidak utama atau bukan prioritas untuk diadakan. Kenapa? Karena tanpa adanya pembangunan fisik pun, aktivitas belajar dapat terjadi. Bagaimanapun terbatasnya sarana fisik, orang akan tetap mampu belajar dan meningkatkan pengetahuannya. Itupun, pembangunan fisik yang dibangun haruslah sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas belajar mengajar, bukan sarana yang mendukung selfie maupun sarana mempertebal lipstick, bedak, bahkan alis sekalipun, antar fakultas/kampus tingkat lorong sampai tingkat galaksi bima sakti. Seperti yang terlihat di beberapa fakultas di kampus merah ini, pembangunan taman menjadi banyak dilakukan, untuk apa? Untuk estetika, untuk selfie, untuk dijadikan bahan pembicaraan “siapa fakultas yang paling cantik” yang sangat tidak penting dan jauh dari urusan pengetahuan.


“Pembangunan infrastruktur menjadi tidak penting, ketika proses peningkatan pengetahuan dan skill mahasiswa khususnya, tidak menjadi prioritas”.[]

Tidak ada komentar: