KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Dari Santiago Ke Jakarta : Pelajaran Penting untuk Pemerintahan Prabowo




Dapatkah sebuah negara yang berdiri atas janji kebebasan dan keadilan membiarkan harga tiket melambung hingga rakyat kecil berontak? Bisakah suatu bangsa yang mengutamakan kesejahteraan tetap diam saat ketimpangan ekonomi kian melebar? Pada Oktober 2019,  lebih dari satu juta rakyat Chile turun ke jalan (15% dari total populasi Chile), bukan sekadar menentang kenaikan tarif kereta, melainkan melawan sistem yang mereka rasa mengabaikan janji-janji kemakmuran.


Chile pernah mencicipi sosialisme dan neoliberalisme. Di bawah Allende, negeri ini mencoba sosialisme untuk pemerataan, tetapi haluan berubah usai kudeta militer. Neoliberalisme pun diadopsi, ekonomi tumbuh, dan kelas menengah muncul—namun ketimpangan tersembunyi di baliknya. "The Chilean Paradox" menggambarkan ironi ini: pertumbuhan ekonomi Chile tak diikuti pemerataan, dengan 1% populasi menguasai 26,5% kekayaan, sementara 50% hanya mendapat 2,1% dari PDB.


Kelas menengah Chile, yang rentan dengan pekerjaan informal dan minim jaminan, menjadi penggerak protes. Meski disebut sejahtera, kenyataannya mereka tak jauh dari kemiskinan. Ketimpangan yang merajalela telah menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka. Protes 2019 adalah pengingat: ketimpangan yang dibiarkan akan berujung pada ledakan kemarahan rakyat.


Privatisasi di Chile, yang digadang sebagai jalur menuju efisiensi, malah menjerat rakyat kecil. Pendidikan, kesehatan, hingga air bersih dikendalikan oleh logika privat, membatasi akses bagi mereka yang kurang mampu. Kenaikan harga tiket kereta bawah tanah menjadi pemicu kemarahan, tetapi sebenarnya simbol dari ketidakadilan dan ketimpangan yang kian dalam. Rakyat menuntut lebih dari harga tiket murah—mereka menginginkan sistem yang adil dan hidup yang layak.





Protes ini memunculkan referendum untuk perubahan konstitusi, sebuah harapan bagi sistem yang lebih adil. Namun, konflik politik menghambat kemajuan, dan rakyat masih menunggu perubahan nyata. Chile menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang disertai ketimpangan hanya melahirkan ketidakpuasan. Pembangunan sejati adalah pembangunan yang menguntungkan semua lapisan masyarakat, bukan sekadar angka atau ilusi untuk segelintir orang.


Agar Indonesia tak terjebak dalam "Paradox Chilean," diperlukan perlindungan sosial yang meluas hingga kelas menengah—sebuah kelompok yang rentan dan seringkali tanpa jaminan. Perlindungan sosial, sebagaimana dikemukakan Saad Filho (2010), hanyalah instrumen sementara dan bukan solusi untuk pemerataan sejati. Ia tidak mengatasi akar persoalan: akses dan aset yang adil bagi semua.


Untuk bangsa yang mengedepankan keadilan sosial, diperlukan langkah lebih mendasar seperti reforma kapital. Ini berarti redistribusi aset secara nyata, termasuk akses merata terhadap pendidikan, layanan dasar, upah layak, dan perumahan. Lebih dari sekadar perlindungan, reforma kapital mencakup pembagian tanah dan aset finansial sebagai fondasi bagi rakyat untuk berkembang tanpa terjebak dalam utang atau ketidakberdayaan.


Tanpa reforma kapital yang sungguh-sungguh, perlindungan sosial hanya akan menjadi lapisan tipis yang tidak menyentuh akar masalah. Kelas menengah akan tetap bergulat di sektor informal dan terus dihantui ketidakpastian, seperti yang terjadi di Chile. Di Indonesia, data SigmaPhi (2023) dari Susenas 2022 menunjukkan bahwa 56,2 persen kelas menengah bekerja di sektor informal dan UMKM, yang sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. Sekali krisis melanda, posisi mereka rentan jatuh ke jurang kemiskinan.


Indonesia perlu memperkuat upaya redistribusi aset demi keadilan ekonomi yang nyata. Meskipun telah ada program redistribusi tanah sejak 2019, pencapaian hingga awal 2024 masih jauh dari target, hanya sekitar 9,2 persen dari 4,1 juta hektar yang diharapkan. Tanah, yang bisa menjadi modal penting bagi kehidupan rakyat, masih banyak dimonopoli oleh segelintir pihak.


Di sisi lain, UMKM, yang menyerap 97 persen tenaga kerja dan berkontribusi 61 persen terhadap PDB, masih kurang mendapatkan akses permodalan. Hanya 21 persen dari kredit perbankan yang dialokasikan untuk sektor ini, jauh di bawah standar negara maju seperti Jepang atau China, yang mendukung UMKM dengan akses kredit lebih dari 65 persen.


Upah juga merupakan elemen penting yang membutuhkan perbaikan. Di Indonesia, upah pekerja informal rata-rata hanya Rp 1,86 juta per bulan pada 2022, jauh di bawah upah minimum provinsi sebesar Rp 3,05 juta pada 2024. Angka ini masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, terutama di tengah ketimpangan yang kian membesar. Negosiasi upah yang adil hanya bisa terwujud jika ada perlindungan yang kuat dan formalisasi sektor informal, yang melibatkan banyak tenaga kerja tanpa akses perlindungan sosial dan jaminan hukum yang layak.


Persoalan upah dan akses permodalan hanyalah sebagian dari masalah besar yang menghambat perbaikan ekonomi. Ketimpangan dalam distribusi kekayaan serta akses terhadap pendidikan dan layanan dasar perlu diatasi melalui reforma kapital sebagai langkah jangka panjang. Peningkatan akses yang merata terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur akan memberi kelas menengah peluang untuk tumbuh kuat, bukan sekadar bertahan.


Reforma kapital mencakup redistribusi aset tanah dan keuangan, yang memungkinkan kelompok masyarakat terpinggirkan memperoleh akses ekonomi. Saat ini, sebagian besar aset tanah dan sumber daya ekonomi masih dikuasai segelintir elit, sementara rakyat banyak hanya menguasai sedikit. Dengan memberi kesempatan setara dalam kepemilikan aset, masyarakat dapat membangun kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.


Pemerintah perlu memperkuat ekosistem UMKM dengan mendorong perbankan menyediakan kredit yang lebih inklusif serta dukungan pelatihan, teknis, dan akses pasar. Selain itu, reformasi tenaga kerja perlu dilakukan, termasuk kebijakan upah layak dan jaminan sosial yang mencakup pekerja formal dan informal. Perlindungan bagi buruh dan regulasi yang mendukung negosiasi upah berkeadilan juga sangat penting.


Indonesia harus memperkuat kebijakan pendidikan, keterampilan, dan peluang kerja di era digital dan otomatisasi agar pemerataan pembangunan benar-benar tercapai. Dengan menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan ekonomi—mengurangi ketimpangan, mendukung UMKM, memperluas akses pendidikan, dan melakukan redistribusi aset—Indonesia dapat menghindari fenomena seperti The Chilean Paradox dan menuju kesejahteraan yang lebih merata.


Pertanyaan yang mendasar adalah: dapatkah negara yang menjunjung nilai keadilan membiarkan ketimpangan mengakar? Saat satu persen terkaya di Indonesia terus menumpuk kekayaan, rakyat lainnya bergelut dengan ketidakpastian hidup. Solusi yang adil adalah pajak progresif. Piketty (2014) mengungkap bahwa kekayaan elit cenderung bertambah melalui pendapatan finansial yang cepat, bukan karena kerja keras. Atkinson dkk. (2011) membandingkan negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang lemah dalam pajak progresif, dengan Jerman dan Prancis, di mana ketimpangan berhasil ditekan oleh kebijakan pajak progresif yang tegas. Pajak progresif ini bukan hukuman, melainkan mekanisme keadilan untuk mencegah kekayaan terpusat pada segelintir orang.


Hal serupa berlaku pada warisan. Apakah adil bila sebagian orang menikmati kemewahan tanpa usaha, sementara lainnya harus memulai dari bawah? Piketty (2013) menekankan bahwa warisan besar memperburuk ketimpangan, menghalangi peluang bagi mereka yang tidak lahir dalam keluarga kaya. Simons (1980) menyarankan bahwa pajak warisan bisa menjadi instrumen efektif untuk menghindari konsentrasi harta dari satu generasi ke generasi berikutnya.


Dalam aspek keuangan, kesenjangan akses kredit juga memperkuat ketimpangan. Agnello dkk. (2022) menekankan bahwa pasar keuangan hanya akan adil bila kredit dapat diakses oleh semua, bukan hanya mereka yang berpunya. Kebijakan inklusi keuangan, menurut Kling dkk. (2022), adalah kunci bagi rakyat untuk beranjak dari keterpurukan. Kredit mikro dengan syarat yang ramah bagi usaha kecil bukan hanya membantu keberlanjutan ekonomi tetapi juga menciptakan kesempatan bagi mereka yang selama ini tak punya jaminan besar untuk meraih kemapanan ekonomi.


Redistribusi kekayaan adalah fondasi keadilan sosial yang kokoh. Sebagaimana diingatkan oleh Kim Hyoung Jong dan Dong-Eun Rhee (2022), lemahnya redistribusi hanya memperparah inflasi dan memperlemah kelompok rentan. Dengan kebijakan yang berani dan tegas dalam redistribusi, kita dapat menghindari jalan kelam yang ditempuh Chile—di mana ketimpangan terus tumbuh, menyisakan kemewahan di satu sisi dan kesengsaraan di sisi lain.

Tidak ada komentar: