Saatnya Para Jurnalis Identitas Mengoreksi Identitas Mereka Sendiri
Beberapa waktu lalu, Penerbitan Kampus (PK) Identitas Unhas mempublikasikan sebuah tulisan berjudul Unhasku Bersatu, Kenapa Fakultasku Bersekat? di laman resminya. Tulisan ini mengangkat kritik tajam terhadap pembangunan tembok batu yang kini memisahkan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin dari fakultas-fakultas lain di rumpun sosial-humaniora.
Namun dua hari kemudian, tulisan tersebut raib dari peredaran. Ketika tautannya diklik, halaman tak lagi tersedia. Tak ada penjelasan, tak ada klarifikasi. Hanya ruang kosong yang tersisa, meninggalkan banyak tanya di benak saya sebagai pembaca. Niat awal saya untuk menuliskan apresiasi berubah menjadi niat untuk mengajukan kritik. Apakah ini hanya kesalahan teknis? Ataukah ada kuasa yang tak ingin isu tersebut dibicarakan secara terbuka?
Unggahan Akun Instagram Resmi Identitas Unhas (8/7/2024)
Pada tampilan awal, tautan berita tersebut masih terlihat. Namun, saat tautan itu diklik, pengguna justru diarahkan ke halaman kosong seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah.
Di Universitas Hasanuddin, kesadaran jurnalisme di kalangan mahasiswa sebenarnya cukup tinggi. Hampir setiap fakultas memiliki lembaga persnya sendiri. Di Fakultas Hukum, misalnya, ada LPMH dan Insersium. Di FEB, ada Media Ekonomi (Medkom). Di tingkat universitas, ada Catatan Kaki dan tentu saja Identitas Unhas.
Selama ini, Identitas Unhas menunjukkan pola pemberitaan yang sudah tertebak: menampilkan wajah Unhas yang rapi, bersih, dan gemerlap. Seolah-olah kampus ini adalah ruang steril tanpa cacat. Tapi mari ajukan pertanyaan yang sederhana namun penting: benarkah kehidupan mahasiswa Unhas semulus yang diberitakan?
Jawabannya jelas: tidak. Di balik tembok kampus yang megah, ada mahasiswa yang dihimpit oleh ketidakmampuan membayar UKT. Ada yang terpaksa membagi waktu antara kuliah dan kerja demi bertahan hidup. Ada pula yang menjadi korban subjektivitas penilaian dosen. Tak sedikit yang bergulat dengan depresi, keterasingan, dan kekerasan simbolik yang dibungkus dalam rutinitas akademik.
Inilah yang seharusnya menjadi pusat pemberitaan pers mahasiswa. Bukan deretan seminar artifisial demi kepentingan akreditasi. Bukan penghargaan-penghargaan kosong yang tak memberi pengaruh nyata pada kehidupan mahasiswa. Sebab tugas pers bukan memoles citra, tetapi membuka tabirnya sekalipun isinya buruk rupa.
Pers mahasiswa bukanlah alat pemoles citra. Ia adalah alat perjuangan. Oleh karena itu, kerja-kerja jurnalistik di ranah kampus adalah kerja politik. Ia tidak pernah sepenuhnya netral. Setiap pilihan topik, setiap sudut pandang, setiap narasi yang dibangun, semuanya adalah bentuk keberpihakan.
Lalu muncul pertanyaan lanjutan yang tak terhindarkan: jika pers mahasiswa memang harus berpihak, maka kepada siapa seharusnya keberpihakan itu diberikan? Jawabannya sebenarnya tidak rumit. Pers mahasiswa harus berpihak kepada mahasiswa. Bukan kepada birokrat, bukan kepada institusi, bukan kepada citra yang dibangun oleh kampus.
Sebab jurnalis kampus adalah bagian dari denyut kehidupan mahasiswa; duduk di dalam ruang-ruang kuliah yang sama, menghadapi sistem akademik yang sama, dan mengalami tekanan sosial yang serupa. Maka, bagi jurnalis kampus, berpihak pada mahasiswa berarti berpihak pada diri sendiri, pada teman seperjuangan, pada realitas yang dijalani bersama setiap hari.
Pertanyaannya, identitas siapa yang diwakili oleh para jurnalis di meja redaksi Identitas Unhas? Apabila kita menelisik struktur redaksinya, nama-nama birokrat kampus muncul di antara para penyunting. Salah satunya adalah Dr. Ahmad Bahar, mantan Kepala Bagian Humas Universitas Hasanuddin. Tak berhenti di situ, skema pendanaan Identitas juga masih sangat bergantung pada aliran dana dari rektorat. Artinya, baik secara politik maupun ekonomi, ruang redaksi Identitas masih berada dalam orbit kekuasaan universitas.
Kondisi ini memunculkan indikasi adanya tarik-menarik kepentingan antara suara mahasiswa yang mestinya dikawal oleh pers kampus, dan kepentingan institusi yang sibuk menjaga citra. Dalam situasi seperti ini, ketika narasi kemahasiswaan berpotensi menggoyang citra universitas, maka berita-berita yang bersifat kritis seperti Unhasku Bersatu, Kenapa Fakultasku Bersekat? akan menjadi tumbal pertama.
Kalau dugaan ini benar, maka mahasiswa yang bekerja di bawah nama Identitas wajib mengoreksi identitas mereka sendiri. Sebab mereka bukan lagi mewakili suara mahasiswa, melainkan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Mereka bukan lagi pewarta yang berpikir dan merdeka, tetapi telah menjadi alat kekuasaan yang beroperasi tanpa kehendak, tanpa sikap, dan tanpa keberanian; sekaligus, mereka menjelma sebagai sebuah alat tanpa pikiran.
Di titik inilah kita perlu mendorong manajemen pers kampus yang otonom dan swakelola. Pers mahasiswa tidak boleh menjadi corong birokrasi. Ia harus sepenuhnya dibebaskan dari kontrol struktural universitas, baik secara administratif, editorial, maupun finansial. Lembaga pers kampus yang gagal menjunjung prinsip-prinsip ini dan terus-menerus tunduk sebagai pemoles citra kampus sudah sepatutnya mulai diasingkan.
Sebab hanya dengan model pengelolaan semacam itu, pers kampus dapat menjadi ruang artikulasi bagi suara-suara pinggiran; bagi mereka yang selama ini diabaikan dalam narasi resmi universitas. Ia bisa menjadi ruang tempat kritik tumbuh tanpa dibayangi sensor, tempat keberanian tidak dimutilasi oleh formalitas, dan tempat mahasiswa bisa menemukan kembali dirinya bukan sekadar sebagai objek kebijakan, melainkan sebagai subjek politik yang berdaya dan berpikir.
Dalam konteks ini, kita juga perlu menggaungkan kembali “jurnalisme independen.” Independensi bukan berarti bebas dari keberpihakan, melainkan bebas dari intervensi eksternal dalam menentukan keberpihakan. Pers mahasiswa harus memiliki keberanian untuk memilih posisi politiknya, dan posisi itu, secara etis, semestinya berpihak pada kehidupan mahasiswa yang nyata, bukan pada citra universitas.
Tidak ada komentar: