KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Tarif Impor 32%: Bisakah Indonesia bertahan di panggung perdagangan dunia?

 



Situasi ekonomi saat ini baik ditingkat global maupun domestik indonesia menunjukan adanya ketidakpastian. Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump selama masa jabatannya, dan kemungkinan berlanjut atau bahkan diperluas, terus menjadi bayang-bayang yang mengancam stabilitas ekonomi Indonesia.

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, pada Rabu (2/4/2025), secara resmi mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang mengejutkan banyak negara di dunia. Dalam pidatonya, Trump menyebut kebijakan tersebut sebagai bagian dari Liberation Day, yaitu momentum untuk membebaskan perekonomian AS dari ketergantungan pada produk impor. "Ini adalah bentuk kemerdekaan ekonomi kita. Pabrik-pabrik dan lapangan kerja akan kembali muncul di Amerika, dan hal itu sudah mulai terlihat," ujar Trump dalam pidatonya dikutip dari Hukum Online (7/8/2025).

Salah satu tantangan yang muncul adalah kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden Amerika Serikat tersebut kepada Indonesia, mencakup peningkatan tarif sebesar 32% terhadap berbagai produk impor. Ini bukan sekedar kebijakan dagang, melainkan pukulan telak yang menguji daya tahan ekonomi nasional. Kenaikan tarif secara langsung membuat produk-produk indonesia menjadi kurang menarik di pasar AS, yang merupakan salah satu tujuan ekspor utama bagi banyak industri di indonesia.

Agustina, M. dkk. dalam penelitiannya berjudul “Perubahan Tarif Trump dan Dampaknya Terhadap PPH 21 di Indonesia: Menghadapi Krisis Moneter 2025” menunjukan bahwa kebijakan tarif tidak hanya berdampak pada sektor ekspor, tetapi berbagai sektor yang merupakan pilar ekspor Indonesia, sangat terpengaruh oleh kebijakan ini. Peningkatan tarif impor dapat mengakibatkan penurunan daya saing produk Indonesia di pasar international, yang pada giliranya dapat mengurangi volume ekspor dan memengaruhi pendapatan dari sektor-sektor tersebut. Menurut Internasional Monetary Fund (IMF 2022), negara berkembang yang sebagaian besar ekonominya sangat bergantung pada ekspor dan keterlibatan dalam rantai pasok global ikut terkena imbas. Dalam banyak kasus, tarif menyebabkan turunnya daya saing harga ekspor mereka dan menyulitkan akses ke pasar AS, yang merupakan salah satu mitra dagang utama.

Agustina, M. dkk. menjelaskan bahwa dampak lain yang tidak kalah penting dari peningkatan tarif ini  adalah pelemahan nilai tukar rupiah dan inflasi. Berdasarkan data cnbc indonesia nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD) mencapai Rp 16.234 per USD (8/7/2025). Ketika daya saing produk Indonesia menurun, permintaan terhadap rupiah juga dapat berkurang, yang menyebabkan depresiasi nilai tukar. Depresiasi ini dapat memicu inflasi, karena biaya impor barang dan bahan baku akan meningkat, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi daya beli masyarakat.

Sektor-sektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur, yang sangat bergantung pada pasar AS, menjadi salah satu yang paling terpengaruh oleh kebijakan tarif ini. Penelitian Agustina, M. dkk. juga menunjukkan bahwa sektor-sektor ini tidak hanya memberikan kontribusi signifikan terhadap ekspor, tetapi juga menyerap banyak tenaga kerja. Dengan adanya tarif yang lebih tinggi, perusahaan-perusahaan di sektor ini mungkin menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mempertahankan daya saing mereka, yang dapat berujung pada pengurangan tenaga kerja dan peningkatan angka pengangguran. Dengan demikian, kebijakan tarif Trump tidak hanya mempengaruhi hubungan perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia, tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas terhadap perekonomian global dan domestik.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa ketegangan ini bisa dengan cepat menjelma menjadi krisis struktural jika tidak ditangani secara serius. Kebijakan sepihak dari negara adidaya semacam ini jelas mengganggu keseimbangan perdagangan dunia dan menempatkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam posisi yang lemah jika tak segera mengantisipasinya.

Penelitian ini menekankan perlunya ada kerjasama international yang intensif dan reformasi struktural, termasuk perbaikan regulasi, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, juga diperlukan untuk memperkuat daya saing dan ketahanan ekonomi nasional. Langkah-langkah seperti ini, Indonesia dapat memitigasi dampak negatif kebijakan tarif AS sekaligus mempersiapkan diri menghadapi masalah lain yang akan muncul seperti krisis moneter di masa depan.

Tidak ada komentar: