KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Birokrat Unhas Seolah Lupa Sejarah


  Banyak yang mengatakan bahwa kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) Tamalanrea dulunya adalah hutan. Betulkah itu? Fakta di lapangan menunjukkan tidak. Kampus Unhas Tamalanrea, dulunya adalah sebuah perkampungan. 

  Seperti yang diungkapkan oleh  Tata Sila, seorang penduduk asli bahwa “ Unhas itu dulu perkampungan yang terdiri dari Kera-kera, Bonto Sugi, Bonto Ramba dan Bonto Tinggi.” Sebagai bukti sejarah kita masih dapat menyaksikan Balla Patanna Parrasangan yang terletak di samping gerbang pintu satu Unhas. Balla Patanna parasanga merupakan rumah yang dijadikan tempat penyajian sesajen bagi masyarakat. Mereka meyakini bahwa rumah tersebut sebagai tempat orang pertama yang berada di kampung atau digelar pemilik kampung. Hal ini seperti keyakinan Jawa Kuno tentang rumah pamali. 

  Pembangunan Unhas pada tahun 1978 meninggalkan banyak masalah. Ketika melakukan pembangunan, Unhas menimbulkan banyak penggusuran dan pembongkaran pemukiman warga. Untuk itu harus melakukan ganti rugi terhadap warga setempat. Banyak cara kotor yang dilakukan oleh pemerintah. Persekongkolan itu seperti pengumpulan surat-surat tanah warga  dengan alasan pembaharuan. Kemudian surat tanah itu tak lagi dikembalikan lagi pada pemiliknya. Dengan tidak adanya surat tanah yang menjadi pegangan warga, maka mudah bagi pemerintah dan pihak tertentu unhas dapat membeli tanah warga dengan harga murah bahkan bisa mendapatkanya secara Cuma-Cuma dengan cara mengklaim. Meski begitu unhas masih memmiliki utang kepada warga.

  Sejalan dengan itu pihak birokrasi menjanjikan beberapa hal sebagai ganti rugi terhadap lahan warga misalnya saja ;  mempekerjakannya sebagai Cleaning service, Office Boy, staf administrasi, menerima anak mereka untuk melanjutkan pendidikan di kampus Unhas, hingga  menggunakan lahan untuk berjualan secara gratis. Hal ini sesuai dengan Surat Rekomendasi Universitas Hasanuddin tertanggal 25 agustus 1999. Ganti rugi terhadap warga juga tercantum pada akta perdamaian (31/3) 1979 Reg. Nomor: 92/R/1978. Pada halaman kedua menetapkan bahwa terdapat tiga kelompok rakyat yang mendapat ganti rugi dalam tiga komponen. Pertama, pembayaran ganti rugi dalam bentuk uang. Kedua, pembayaran ganti rugi untuk pindah keluar darilokasi proyek kampus baru Unhas. Ketiga, pembayaran ganti rugi dalam bentuk tanah sebagai tempat penampungan bagi rakyat yang diambil tanah-tanah mereka untuk digunakan membangun kampus baru Unhas.

  Berdasarkan bukti diatas, bukan hanya ganti rugi uang yang akan didapatkan warga dalam prosesnya. Melainkan terdapat juga ganti rugi berupa tanah sebagai tempat penampungan. Tanah sebagai ganti rugi memang pernah ditawarkan kepada warga, akan tetapi tempatnya yang jauh dari kota Makassar atau dulu di sebut Ujung Pandang membuat warga tidak ingin pindah ke tempat  yang baru itu. Harga lahan saat itu sekitar Rp 10,00 per m². Pembayaran lahan warga, Unhas mengklaim telah melakukannya. Namun  banyak kong kalikong di dalamnya. Karena uang pembayaran tersebut tidak sampai kepada warga. Surat Komisi Ombudsman Nasional Nomor 0151/KON-Tgp 0151/VI/2003-DM menyatakan bahwaUnhas masih berkewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 369.697.035,00 (tiga ratus enam puluh sembilan juta enam ratus sembilan puluh tujuh ribu tiga puluh lima rupiah).

  Sampai saat ini unhas belum meaksanakan kewajibanya kepada warga. Hari ini birokrat unhas makin kurang ajar. Mengklaim daerah kera-kera sekarang adalah ganti rugi terhadap tanah warga dulu. Namun itu bohong besar. Karena Kera-kera sekarang juga merupakan  lahan warga sendiri sedari dulu. Selain itu janji ganti rugi yang belum dilaksanakan unhas masih banyak. Tidak ada pendidikan seperti yang dijanjikan kepada warga. Lebih parah lagi birokrat memaksakan retribusi kepada warga yang berjualan di lingkungan unhas (mace-mace). Ini sama halnya meminta mace-mace membayar untuk penggunaan lahan sendiri.

Kalau bukan kita siapa lagi yang akan membela mace-mace?