Banyak yang mengatakan bahwa
kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) Tamalanrea dulunya adalah hutan. Betulkah
itu? Fakta di lapangan menunjukkan tidak.
Kampus Unhas Tamalanrea, dulunya adalah sebuah perkampungan.
Seperti yang diungkapkan
oleh Tata Sila, seorang penduduk asli
bahwa “ Unhas itu dulu perkampungan yang terdiri dari Kera-kera, Bonto Sugi, Bonto
Ramba dan Bonto Tinggi.” Sebagai bukti sejarah kita masih dapat menyaksikan Balla Patanna Parrasangan yang terletak
di samping gerbang pintu satu Unhas. Balla
Patanna parasanga merupakan rumah yang dijadikan tempat penyajian sesajen
bagi masyarakat. Mereka meyakini bahwa rumah tersebut sebagai tempat orang
pertama yang berada di kampung atau digelar pemilik kampung. Hal ini seperti
keyakinan Jawa Kuno tentang rumah pamali.
Pembangunan Unhas pada tahun 1978
meninggalkan banyak masalah. Ketika melakukan pembangunan, Unhas menimbulkan banyak
penggusuran dan pembongkaran pemukiman warga. Untuk itu harus melakukan ganti
rugi terhadap warga setempat. Banyak cara kotor yang dilakukan oleh pemerintah.
Persekongkolan itu seperti pengumpulan surat-surat tanah warga dengan alasan pembaharuan. Kemudian surat
tanah itu tak lagi dikembalikan lagi pada pemiliknya. Dengan tidak adanya surat
tanah yang menjadi pegangan warga, maka mudah bagi pemerintah dan pihak tertentu
unhas dapat membeli tanah warga dengan harga murah bahkan bisa mendapatkanya
secara Cuma-Cuma dengan cara mengklaim. Meski begitu unhas masih memmiliki
utang kepada warga.
Sejalan dengan itu pihak
birokrasi menjanjikan beberapa hal sebagai ganti rugi terhadap lahan warga
misalnya saja ; mempekerjakannya sebagai
Cleaning service, Office Boy, staf administrasi, menerima anak mereka untuk
melanjutkan pendidikan di kampus Unhas, hingga
menggunakan lahan untuk berjualan secara gratis. Hal ini sesuai dengan
Surat Rekomendasi Universitas Hasanuddin tertanggal 25 agustus 1999. Ganti rugi
terhadap warga juga tercantum pada akta perdamaian (31/3) 1979 Reg. Nomor:
92/R/1978. Pada halaman kedua menetapkan bahwa terdapat tiga kelompok rakyat
yang mendapat ganti rugi dalam tiga komponen. Pertama, pembayaran ganti rugi
dalam bentuk uang. Kedua, pembayaran ganti rugi untuk pindah keluar darilokasi
proyek kampus baru Unhas. Ketiga, pembayaran ganti rugi dalam bentuk tanah
sebagai tempat penampungan bagi rakyat yang diambil tanah-tanah mereka untuk
digunakan membangun kampus baru Unhas.
Berdasarkan bukti diatas, bukan
hanya ganti rugi uang yang akan didapatkan warga dalam prosesnya. Melainkan
terdapat juga ganti rugi berupa tanah sebagai tempat penampungan. Tanah sebagai
ganti rugi memang pernah ditawarkan kepada warga, akan tetapi tempatnya yang
jauh dari kota Makassar atau dulu di sebut Ujung Pandang membuat warga tidak ingin
pindah ke tempat yang baru itu. Harga
lahan saat itu sekitar Rp 10,00 per m². Pembayaran lahan warga, Unhas mengklaim
telah melakukannya. Namun banyak kong kalikong di dalamnya. Karena uang
pembayaran tersebut tidak sampai kepada warga. Surat Komisi Ombudsman Nasional
Nomor 0151/KON-Tgp 0151/VI/2003-DM menyatakan bahwaUnhas masih berkewajiban
membayar ganti rugi sebesar Rp 369.697.035,00 (tiga ratus enam puluh sembilan
juta enam ratus sembilan puluh tujuh ribu tiga puluh lima rupiah).
Sampai saat ini unhas belum
meaksanakan kewajibanya kepada warga. Hari ini birokrat unhas makin kurang
ajar. Mengklaim daerah kera-kera sekarang adalah ganti rugi terhadap tanah
warga dulu. Namun itu bohong besar. Karena Kera-kera sekarang juga
merupakan lahan warga sendiri sedari
dulu. Selain itu janji ganti rugi yang belum dilaksanakan unhas masih banyak. Tidak
ada pendidikan seperti yang dijanjikan kepada warga. Lebih parah lagi birokrat
memaksakan retribusi kepada warga yang berjualan di lingkungan unhas
(mace-mace). Ini sama halnya meminta mace-mace
membayar untuk penggunaan lahan sendiri.
Kalau
bukan kita siapa lagi yang akan membela mace-mace?