![]() |
Ilustrasi Pasar sumber: http://cec.vcn.bc.ca |
Pada mulanya hanya terjadi perang senyap antara pasar tradisional dan pasar modern di setiap kota, namun berangsur terjadi hiruk pikuk sang pemenang. Kemenangan yang berbalut dengan iklan, potongan harga, pesona layanan, hadiah, ruangan ber-AC hingga hadiah yang di kemas dalam berbagai syarat dan ketentuan. Pasar tradisional berangsur menjadi seperti foto hitam putih dalam figura kumal berdebu. Pasar tradisional berangsur redup dan kelam, juga berlumpur becek di segala lingkaran jalan masuk dan keluarnya.
Redup dan kelam, bukan hanya karena kurangnya fasilitas penerangan, namun hanya menjadi wilayah terpinggirkan dari selera konsumtifisme perbelajaan. Jalan menuju pasar tradisional juga tak pernah mulus, selalu ada percikan lumpur di mata kaki. Di musim hujan, area pasar tradisional seperti tempat simulasi banjir. Hal itu karena air hujan berputar-putar saja di selokan dari ujung buntu ke sumbatan yang lain. Selokan tertutup oleh sampah yang sengaja dihanyutkan, seperti membuang anak haram jadah yang tak dikehendaki.
Pasar terbentuk sejak era barter hingga penggunaan mata uang, yang kemudian mengalami ambiguasi kronologis. Pasar dalam ambiguasinya, bukan hanya membeli apa yang dijual oleh sang penjual. Penjual pun bisa dibeli dan ditawar harganya. Sebaliknya, pembeli bisa mendapatkan pembayaran, bahkan ketika ia tak membeli barang dan jasa. Pasar budak, contoh yang paling riskan dari interaksi penjual dan pembeli. Hari ini menjual manusia, besok sang pembeli dan juga penjual bisa juga menjadi barang dagangan, termasuk sang pengumpul budak. Budak tak hanya terjual dalam pasar tradisional, namun juga menjadi transaksi terbesar dalam pasar modern. Pembeli adalah budak-budak yang terjual, tergantung sebesar apa tingkat konsumtif dan pemenuhan hasrat belanja mereka. Pembeli menjadi budak dari semua barang dan jasa yang dikonsumsi. Dalam hal berbelanja, mata kepala akan berbenturan dengan kehendak mata hati. Mata hati terpakai sesekali, terutama ketika masih depan pintu pasar modern. Begitu berada di tengah jejeran barang dengan keberagaman merek, maka hati sudah tertutup matanya sama sekali. Mata sudah tertempel dalam setiap merek. Konsumen terbenam dalam hasrat yang tak bertepi, kecuali sudah meninggalkan area pasar modern. Tepian hasrat belanja, hanya terpisahkan oleh besarnya dana yang bisa dikeluarkan saat itu. Berada di pasar modern, setiap pembeli sudah menunjukkan diri sendiri sebagai etalase gratis. Tubuh konsumen merupakan pusat etalase, mulai yang dikenakan di kaki, hingga yang berada di semua utas rambut. Pertemuan antara merek yang sudah terbeli dengan barang yang siap dibawa pulang merupakan wilayah spesifik yang tidak dijumpai dalam pasar tradisional. Dalam pasar tradisional, para pembeli tak serta merta menunjukkan diri sebagai iklan berjalan dari suatu produk. Merek mungkin penting sebagai suatu penentu kualitas produk, namun bukan yang utama. Bagian yang seringkali terlihat dalam pasar tradisional yakni masih ada tawar menawar. Merek dari suatu produk yang mahal, bisa saja ditawar semurah produk yang sejenis dengan produsen yang berbeda. Dalam pasar modern, tak ada tawar menawar lagi untuk barang apapun. Di area pasar moderen, hanya harga diri yang masih bisa ditawar, bahkan seringkali tak berharga, karena belum ditempeli merek.
Pasar modern merupakan konstruksi para pemodal besar. Modal besar itu bagian dari serangan langsung kapitalis untuk melakukan invasi penaklukan atas suatu negeri. Penaklukan suatu negeri dengan perang terbuka bisa dilakukan dengan senjata yang tak menghargai nyawa satu sen pun. Itu juga bisa dilakukan sama baiknya dengan melalui invasi pasar modern. Penaklukan terhadap bangsa Indonesia, tak lagi dilakukan dengan serangan bersenjata sebagaimana era kolonialisme. Penaklukan era baru di dunia yang datar ini, cukup dengan menguasai pasar.
Pasar akan selalu dimenangkan oleh merek dan pemodal yang terbanyak. Merek yang berasal dari dalam negeri sendiri, biasanya hanya sedikit yang menjadi pemenang. Itu pun sebuah kemenangan yang tak serta merta berasal dari dalam negeri. Namun juga dikuatkan oleh tangan-tangan kuat dari luar peta bumi Indonesia yang telah membeli merek tersebut, dengan menjadi pemilik saham mayoritas.
Pasar modern melenyapkan pasar tradisional, hingga menjadikannya hanya sebagai ruang yang tak berbentuk lagi. Pasar adalah suatu epos abadi manusia, lengkap beserta barang dan jasa maupun fitur-fitur dramatis dalam interaksi jual beli. Di dalam epos itu terdapat tragedi besar yang luput diceritakan dalam mitologi Yunani, namun akhir ceritanya sama-sama tidak berbahagia. Bila ada kebahagiaan yang terjadi saat melewati pintu pertokoan, itu bukan karena pembeli membawa pulang barang-barang yang diminatinya. Kebahagiaan itu karena pembeli telah mendefenisikan diriny
dengan senyuman, tawa dan keceriaan yang telah diekspos melalui iklan. Kebahagiaan yang telah direkonstruksi secara sistematis dari suatu rumah produksi maupun oleh korporasi produsen. Sebuah epos, ketika setiap pembeli menjadi pemeran utama dalam peran konsumtivisme global. Tragedi pasar tradisional, memiliki beberapa standar penceritaan perih di antaranya terdapat bebauaan empat dimensi. Sumber bau tak sedap bisa dilihat, dipegang, diraba, bahkan seperti tertempel di depan hidung. Selain itu dimeriahkan pula oleh cipratan air kecoklatan di musim hujan. Pasar tradisional juga kadang-kadang diterangi oleh kebakaran di musim kemarau. Kebakaran akan meningkat ekskalasi titik apinya, bila hendak direnovasi. Itu pun sekaligus sebagai taktik ampuh pengusir pedagang kaki lima. Dalam tragedi Yunani, cipratan darah dan kobaran nafsu amarah, bisa membakar kota, dalam puluhan lembar kisah secara berurutan. Tragedi pasar tradisional, juga bisa diberitakan secara berurutan dari hari ke hari dalam media massa dan elektronik.
Repetisi tragedi lainnya yang kerap terjadi dalam pasar tradisional yakni penggusuran. Pedagang lama yang kurang modal untuk pindah atau tak bersedia mengontrak kavling baru, maka serta-merta akan menjadi korban. Banyak korban yang berjatuhan di pasar tradisional, sebagai kelumrahan yang terjadi dalam arus modal, yang semakin berbentuk seperti monster. Melawan monster modal yang berkuasa di pasar modern, jauh lebih tragis melebihi yang dilakukan persekutuan tiga anak (Zeus, Poseidon dan Hades) melawan sang ayah, Kronos. Namun tragedi dalam dunia pasar, baru dimulai ketika ayah dan anak justru menjadi korban secara berentetan dalam deret hitung.
Dalam pasar tradisional, masih ada pamrih keluarga. Ayah akan melindungi anaknya dan sebaliknya juga demikian. Urusan permodalan, bukan sebab utama untuk menyingkirkan seseorang dari area mata pencariannya. Pasar modern telah menghilangkan unsur semacam itu, tak ada ayah untuk anak siapapun dan tak ada lagi anak untuk ayah siapa saja. Kalau ada ayah dalam pasar modern, maka itu seperti Godfather dalam Mafia. Tak akan ada yang berani melakukan eksekusi pada Godfather, sebagaimana nasib buruk yang dialami Kronos. Nasib buruk dalam pasar tradisional berlangsung secara kronologis. Dari situlah analogi yang berkaitan dengan nasib Kronos bisa menjadi perbandingan.
Persis seperti kemunculan pasar, nyaris demikian pula dengan keberadaan Kronos. Kronos tidaklah menjadi analogi dari keberadaan pasar, namun dalam hal tertentu ada kesamaan antara keduanya. Meski tidak dilahirkan dari suatu mitologis, namun tak ada yang memberikan kepastian, kapan sebenarnya pasar muncul dalam area sosial budaya. Dalam konteks demikian, pasar tak pelak, mirip dengan sebuah cerita mitos. Tak ada yang tahu siapa yang pertama memulainya, bahkan ceritanya juga tak pernah sejelas perbedaan benang putih dan hitam. Kronos merupakan Titan generasi pertama. Titan ini menjadi penguasa bumi sebelum masa dewa Olympus. Tentu saja, sebagaimana halnya keberadaan pasar, tak ada waktu dan tempat yang terukur untuk memastikan kapan dan dimana Kronos dilahirkan. Tidak seperti Titan, pasar tradisional tak pernah menguasai ruang konsumsi hingga urusan dagang. Demikianlah yang terus terjadi, hingga pasar modern berkuasa di dunia yang serba Olympus ini.
Secara disambiguasi, Kronos berarti waktu dan juga nama dewa yang menjadi ayah Zeus, Hades dan Poseideon. Pasar mengalami disambiguasi dan ambiguasi dalam interaksi terkendali yang dialami manusia. Pasar telah menjadi ruang besar dalam interaksi manusia modern. Interaksi itu, entah bertemu langsung dalam tatap muka atau berupa pertemuan yang hanya tampak punggung. Itu terjadi ketika penjual dan pembeli telah kehilangan muka, tertutupi topeng hasrat.
Dalam pasar modern, punggung juga telah menjadi pemberi pesan. Dari arah belakang itu bisa terlihat apa yang tak bisa disampaikan melalui mimik muka. Punggung merupakan area penempatan merek, dengan pesan verbal yang luas. Sebaliknya bagian-bagian muka, seperti mata hidung dan bibir terlalu kecil untuk dituliskan pesan-pesan produsen. Pasar modern tak membutuhkan tatap muka dalam waktu lama. Bahkan pertemuan lintas hasrat konsumtif, bisa melalui pesan digital maupun percakapan yang hanya sedikit nilai manusiawinya. Emosi konsumen bisa dilambangkan dengan dua emoticon yakni emoticonsumerism dan emoticonsumtivism.
Secara kronologis, pasar tradisional di Indonesia mulai diperhatikan oleh pemerintah sejak 2005 atau 2003 . Pemerintah sudah seperti dewa-dewa Olympus, lebih peduli pada kekuatan liberalisme pasar dan kapitalis multinasional, yang menjadi pemilik pasar-pasar modern. Perhatian yang berusia tujuh tahun, disebut program revitalisasi . Pasar tradisional adalah Kronos dalam arus pertemuan barang dan jasa, tempat pertama transaksi antara konsumen dan produsen. Ketika daya belanja makin meningkat, muncullah dari Kronos tradisional itu, pasar-pasar modern Zeus Mart, Poseidon Mart dan Hades Mart. Ketiga anak Kronos, kemudian bersekutu melakukan penghancuran keberadaan Kronos. Mitologi penghancuran Kronos, adalah sebuah fakta yang terhimpit kertas karbon. Ketika itu pasar modern makin menggeser pasar tradisional ke area neraka Tartarus yang dipenuhi jelaga sehitam karbon .
Klaim perhatian pemerintah itu, sama sekali sulit menghentikan laju pasar modern. Kucuran dana sebesar Rp 2,3 triliun, telah digunakan untuk merevitalisasi 1.568 pasar. Tapi angka itu, tidaklah sebagaimana realitas. Buktinya yang nyata di pasar tradisional, yakni fasilitas yang dikuncurkan dengan dana sekecil itu, bahkan tidak pernah membuat jalanan setapak, bebas dari lumpur. Jalanan di pasar tradisional, sepertinya tak beda dengan foto hitam putih jalanan di era kolonial Belanda, bahkan lebih buruk. Kolonialis Belanda sudah jauh dari Indonesia, tapi pasar-pasar masih terjajah, karena kurangnya perhatian para pemerintah Olympus. Para dewa-dewa pengatur negara yang berbentuk eksekutif, legislatif dan yudikatif, lebih senang bersidang di ruang-ruang setinggi Olympus daripada turun melihat masalah. Di antara mereka ada yang turun ke masyarakat dengan sebutan reses. Dari era dongeng purba, para dewa juga mengaku selalu reses, sebagai suatu cara langsung untuk berbohong langsung kepada para penyembah-penyembah berhala. Kebohongan yang terbungkus dalam istilah reses, merupakan komoditi yang paling laku dalam suatu pasar demokrasi. Demokrasi inilah yang menguatkan pasar moderen hingga menjadi penguasa dunia gelap yang membentuk Tartarus.
Demokrasi kemudian melenyapkan perang senyap itu. Perang semakin terbuka, pasar modern setiap saat memodifikasi persenjataan terbaru dengan menunjukkan diri dalam iklan terkini maupun membusungkan dada foto wanita seksi sebagai pelaksana misi kemanusiaan yang besar. “Dengan menyisihkan uang kembalian Anda, maka bisa membantu masyarakat di suatu daerah terpencil.” maupun “Ribuan anak-anak putus sekolah akan tertolong, ketika Anda sudah membeli barang ini,” begitulah kira-kira isi misi kemanusiaan itu.
Pesan itu menunjukkan, bila Anda tidak dan belum membeli, kalian bukanlah manusia. Hanya manusia yang tahu apa itu kemanusiaan. Kebaikan seseorang, berarti kepamrihan untuk membeli sambil seolah-olah beramal. Cara dagang semacam ini, tak akan ada di pasar tradisional. Itulah sebabnya mengapa pasar tradisional, tak akan pernah dibuat menjadi tempat yang manusiawi. Para dewa di pasar modern dan di area Olympus demokrasi tak akan pernah menyukai manusia. “Jadi tetaplah membeli di pasar modern, supaya Anda masih bisa disebut manusia.” Itulah pesan tragis dari mereka. Tragedi inilah yang luput dikhayalkan dalam mitologi Yunani, tapi jadi fakta besar di Indonesia.[]