Redefinisi Pembangunan
![]() |
Source : https://0.academia-photos.com/6317157/2584176/6217414/s200_idrus.taba.jpg |
Oleh :
Muhammad Idrus Taba
Ada empat ciri yang tepat untuk menggambarkan,
bagaimana Indonesia mengelola sumberdaya alamnya: berpihak yang kuat, serba
rakus, salah kelola, dan rusak secara berkesinambungan. Kompas (12/6),
mengulasnya dengan tajam. UU
pengelolaan tanah 2011, menunjukkan
betapa pemerintah ini sangat kapitalis. Keberpihakan pada pemilik kapital telah
memicu konflik 14.377 kasus (2009-2011) antara petani versus investor:
domestic, asing, atau patungan. Pelanggaran HAM, 1.557 kasus, yang berkubang
pada soal konflik agraria dan sumberdaya alam.
Keserbarakusan,
juga ditunjukkan dengan lahab: bahan bakar fosil, bahan mentah hayati, air, Sumber
Daya Alam (SDA) tak terbarukan, lahan
dan tanah, dan buruh murah. Di Kalimantan Timur, laju konversi lahan pangan,
menyebabkan proses “gersangisasi” mencapai 100.000 hektar pertahun. Salah
kelola SDA, menghasilkan “kinerja” mencemaskan: cadangan batubara akan habis
dalam 64 tahun. Beberapa bijih meneral lainnya, diperkirakan habis 5-15 tahun
ke depan. Kerusakan berlanjut, menunjukkan, 10 tahun terakhir, kerusakan
kawasan tangkapan air 1,1 juta sampai dengan 1,7 juta hektar pertahun, karena
dialihfungsikan jadi pembalakan liar, perkebunan sawit, dan pertambangan.
Kerakusan
manusia menggerus alam, dilandasi paradigma rasional yang menyingkirkan
paradigma mitologis, yang kemudian membawa menusia justru pada “kebangkrutan”,
kata Horkheimer dan Adorno dalam The
Dialectics of Elightenment. Hiroshima, Nagasaki, Chernobyl, adalah
contohnya. Melalui mobilisasi kapital, para petualang modal melakukan investasi
hingga kepelosok desa. Dunia serempak mengecil dan meluas, tampak berdekatan
dan serempak terpisah, kemudian menjauh (Fritjof Capra,1997). Apa yang dialami
Indonesia, merupakan derivasi perilaku global. Kata Capra, krisis saat ini
telah menerjang nyaris semua dimensi kehidupan: intelektual, moral maupun
spiritual. Jacques Attali, seorang ekonom Perancis, mengungkapkan kecemasannya
“atas 4 milyar penghuni bumi yang sekarat memasuki demokrasi pasar”. Dan
penghuni bumi yang paling sial, adalah Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang
walau kaya SDA, tapi mengalami ancaman kelaparan dan kerusakan ekologis, akibat
keserakahan eksplorasi negara kaya. Tak kurang, suara kenabian dari kaum
spiritual, mencela, bahwa akar kerusakan ekologis adalah ketidakadilan yang
melanda dunia (Protokol Kyoto).
Memang, kemajuan
kapitalisme, telah menawarkan “menu” pilihan dan kemudahan nyaris tanpa batas.
Tapi, di sisi lain, juga menistakan martabat manusia. Tawaran kemajuan, seolah
menjebak manusia pada pencapaian kesempurnaan yang justru melampaui
keterbatasan manusiawinya. Menciptakan alam maya tanpa “garis pinggir”. Ini
ditandai dengan fleksibilitas, multi-pilihan, perubahan tiada henti, dan
kebaruan yang terus terganti. Perburuan kita akan ikon-ikon “kemandirian dan
harapan kesempurnaan tanpa batas” ini, barangkali, justru akan menjadi alat
“bunuh diri” paling efektif dalam sejarah manusia (Peter L.Berger, 1973).
Saatnya,
redefinisi pembangunan dan kemajuan yang mengisyaratkan: fleksibilitas,
perubahan, dan kesempurnaan, dipertanyakan kembali. Jangan sampai, di ujung
jalan, kita hanya bersua
“ketidakberumahan” (Peter L.Berger, The Homeless Mind, Modernization and
Conciousness, 1992).