RUU
T-PKS : PENGESAHAN DAN TANGGAPAN AKTIVIS
Ilustrasi : ilariaurbinati.com
Media Ekonomi – Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) mengumumkan pengesahan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang Undang resmi lewat rapat paripurna,
Selasa (12/04/2022) yang sudah diperjuangkan oleh rakyat lewat berbagai elemen dari
komite dan lembaga.
Banyaknya polemik yang terjadi sejak enam tahun lalu akhirnya telah usai lewat pengesahan yang dilakukan oleh pemerintah sekarang. Semua fraksi dari berbagai elemen Partai Politik menyetujui usulan UU ini untuk diusaikan perhelatannya sejak lama. Namun Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih dalam pendiriannya untuk menolak adanya UU yang menurut mereka di dalam rancangan tersebut tidak memasukkan tindak pidana kesusilaan secara komprehensif yang meliputi kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan dalam seksual.
Dilansir lewat website resmi DPR RI, www.dpr.go.id, Sebelumnya, PKS juga telah
mengusulkan di dalam RUU TPKS harus disesuaikan dengan RKUHP, terutama
berkaitan dengan norma larangan perzinaan dan penyimpangan seksual. Pengaturan
Tindak Pidana Perzinaan dapat diperluas dan diperjelas cakupan aturan perzinaan
yang telah diatur dalam pasal 284 KUHP. Dengan menambahkan keterangan bahwa
perzinaan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, yang telah terikat
pernikahan ataupun tidak. Mereka juga menyinggung
UU tentang pemaksaan kehamilan yang didalamnya terdapat poin bahwa situasi
ketika perempuan dipaksa dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan, untuk
melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini misalnya dialami
oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali
melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk menggunakan
kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur jarak kehamilannya.
Mereka menganggap bahwa ujung-ujungnya poin ini mengacu kepada tindak aborsi
yang artinya secara langsung membunuh manusia yang masih dalam kandungan. Partai itu juga mempermasalahkan naskah
akademik RUU yang menjelaskan mengenai kekerasan seksual atas dasar pilihan
orientasi seksual berbeda. Mereka juga keberatan dengan pasal mengenai
pemaksaan aborsi dan pemaksaan perkawinan.
Dari
hasil wawancara personal narasumber dengan Rara yang merupakan salah satu
anggota Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Universitas Hasanddin, Dia
menjelaskan secara rinci tentang apa itu RUU TPKS, apa saja isi didalamnya, dan
bagaimana tanggapan Dia dan Komitenya tentang berita baru-baru ini tentang
disahkannya RUU TPKS lewat rembukan DPR serta anggotanya.
APA
SAJA SEBENARNYA YANG DISUARAKAN OLEH ANDA DAN KOMITE SAMPAI HARUS MENUNTUT
PEMERINTAH MENGESAHAKAN RUU TPKS? APA YANG SEBENARNYA TERJADI?
Kilas
balik dari semua pemasalahan di atas tadi, sebenarnya apa itu RUU TPKS?, kenapa
banyak komite atau organsasi anti kekerasan seksual di Indonesia sangat
mengawal ketat RUU ini untuk di sah kan di DPR?. Berikut merupakan tanggapan
terkait dari Rara yang dikutip.
“Sebelum
menjadi UU TPKS, sebutan awalnya adalah RUU PKS yang kemudian menjadi RUU TPKS.
RUU PKS digagas oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2012 dan diusulkan sejak
tahun 2016, itupun juga masih sering dihalang-halangi. Tentu ini adalah sebuah
kemajuan bagi sebuah negara yang landasan hukumnya masih abu-abu dalam
melindungi korban pelecehan dan kekerasan seksual, tidak berpihak atau tidak
berperspektif korban sama sekali. Kita tidak bisa mengatakan mereka yang
melaporkan kasusnya sebagai representasi penuh dalam menunjukkan keadaan
sebenarnya dalam kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia karena
kasus pelecehan dan kekerasan seksual ini adalah fenomena gunung es, perbedaan
data resmi yang ada dengan jumlah sebenarnya di lapangan sangat jomplang
perbedaannya.
Jika membahas kasus yang menjadi alasan dari lahirnya UU TPKS sebenarnya banyak, tidak usah jauh-jauh, beberapa orang sering bercerita kepada saya mengenai pelecehan yang mereka alami tanpa sadar jika sebenarnya yang mereka alami ini termasuk pelecehan seksual dan tidak jarang juga mereka ragu untuk menyebut apa yang mereka alami ini pelecehan atau bukan. Sekadar mendefinisikan saja masih sulit, belum lagi ketika korban melaporkan kasusnya tidak jarang mereka malah kena "victim blaming" dan dimintai bukti. Bisa juga kita mengambil contoh lain, misalnya pada aksi besar-besaran kemarin saya masih melihat dan mendengar jokes seksis yang dilontarkan oleh salah seorang massa aksi yang bisa saja menurutnya itu hanya guyonan semata. Kembali melihat sejarah negara kita, Ita Martadinata seorang perempuan keturunan Tionghoa-Indonesia menjadi saksi sekaligus penyintas dari mass rape yang terjadi pada tahun 1998 dibunuh sebelum dia memberikan kesaksian kepada UN dan parahnya sampai sekarang pun kita tidak tahu siapa dalang dibalik pembunuhan tersebut. Dari sini kita sudah bisa menebak bagaimana polanya.
Di kampus sendiri bagaimana? Biasanya hanya sampai pada level "bisikan-bisikan di kantin" dan sekalipun ada yang ingin melapor juga bingung ke mana, hal inilah yang melandasi lahirnya Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas. Kampus yang seharusnya menjadi tempat bagi mahasiswa untuk menimba ilmu pengetahuan justru menjadi lubang buaya, menjadi tempat yang keamanannya diragukan. Sederhananya, teman-teman KAKS ini hanya sekumpulan anak muda yang lelah dengan diabaikannya dan dianggap tidak pentingnya permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di kampus. (Fitra P. Maulida [Rara], April 13, 2022)”
APA
SAJA ISI DALAM RUU TPKS INI
“Ada
beberapa pasal yang difokuskan oleh narasumber yaitu dalam UU TPKS ini.
Misalnya, pada Bab I Pasal 1 berbunyi, "Hak Korban adalah hak atas
Penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan dan
dinikmati oleh Korban, dengan tujuan mengubah kondisi Korban yang lebih baik,
bermartabat dan sejahtera, yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan Korban
yang multidimensi, berkelanjutan dan partisipatif." Lebih lanjut mengenai
hal tersebut, Hak Korban atas perlindungan juga diatur dalam Pasal 69. Menurutnya
ini sangat berarti karena KUHP sama sekali tidak menyinggung soal perlindungan
korban maka tidak jarang dalam mengawal kasus, terlalu fokus dalam penyelesaian
kasus saja tanpa melibatkan perlindungan korban.
Salah
satu perlindungan korban yang diatur dalam Pasal 69 adalah "Perlindungan
dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya
kekerasan." Perlu diketahui bahwa saat korban telah melaporkan kasusnya,
akan banyak kemungkinan yang bisa mengancam keamanan bahkan nyawa korban.
Korban biasanya diteror baik itu melalui media sosial ataupun secara langsung
oleh pelaku dan tidak tanggung-tanggung pihak yang mendukung pelaku juga
ikut-ikutan mengintimidasi korban seperti contoh kasus yang sudah pernah saya
sebutkan, Ita Martadinata yang dibunuh sebelum memberikan kesaksiannya pada
UN. Dalam pasal tersebut juga dibahas
mengenai perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan,
atau politik. Ini penting karena korban biasanya ragu untuk melaporkan kasusnya
karena besar kemungkinan dipecat dari tempat kerja apalagi jika pelaku punya
power yang besar bahkan tidak jarang diintimidasi atau diancam untuk
dikeluarkan dan dipermalukan di tempat kerjanya (Fitra P. Maulida [Rara], April
13, 2022)”.
Diluar
itu, Rara juga mengatakan bahwa diaturnya Kekerasasan Gender Berbasis Online
(KBGO) dalam UU TPKS dengan menggunakan terma Kekerasan Seksual Berbasis
Elektronik (KBSE) pada pasal 14 ayat 1 juga menjadi salah satu yang menjadi hal
baru. Hukum-hukum sebelumnya masih belum responsif terhadap korban KBGO karena
tidak jarang korban malah ditetapkan sebagai tersangka dengan menggunakan UU
karet seperti UU ITE, direduksi menjadi kasus pencemaran nama baik.
BAGAIMANA
TANGGAPAN RARA DAN KOMITE ANTI KEKERASAN SEKSUAL DI UNIVERSITAS HASANUDDIN
PERIHAL BERITA BARU-BARU INI TENTANG DI SAHKANNYA RUU TPKS? APAKAH PERJUANGAN
SAUDARI CUKUP UNTUK DI SAH KANNYA RUU INI ATAU ADA KELANJUTAN VISI DI KEMUDIAN
HARI?
“Pada
saat menerima kabar bahwa RUU TPKS ini telah disahkan menjadi UU TPKS, nasehat
Angela Davis bergeming di kepala saya, "You have to act as if it were
possible to radically transform the world. And you have to do it all the
time." Pengesahan RUU TPKS tidak hanya mempermudah bagi teman-teman dalam
mendampingi dan mengawal kasus pelecehan dan kekerasan seksual saja (ada
pegangan yang jelas) tapi pengesahan ini juga berarti negara mengakui
penderitaan yang dialami oleh korban dan siap memberikan pemulihan dan
perlindungan kepada mereka. Trauma yang dialami tidak bisa langsung selesai
begitu saja ketika kasusnya selesai, itupun juga kalau memang berhasil
diselesaikan. Trauma tersebut bisa sampai bertahun-tahun lamanya. Bisa
dibayangkan bagaimana keadaaan korban dengan kasus pelecehan dan kekerasan
seksual yang selama ini diabaikan dan dianggap tidak urgent? Selain Pasal 69
yang mengatur perlindungan, ada juga pasal 70 yang mengatur mengenai apa saja
hak pemulihan korban. Khalayak sering terlalu fokus pada penyelesaian kasus
tanpa melibatkan komponen penting; pemulihan korban. Melalui Pasal 70 ini akan
menjadi landasan bagi para pendamping kasus untuk menuntut adanya penyediaan
layanan dan pemantauan kesehatan baik itu dari sisi fisik maupun psikologis
bahhkan bagi teman disabilitas juga telah diatur mengenai aksesibiltasnya
mereka. Mengapa? Karena pasal 70 ini bisa membantu korban yang mengalami
hambatan dalam mengakses layanan kesehatan karena terkendala dari segi biaya.
Disahkannya
RUU TPKS menjadi UU TPKS ini memang patut dirayakan namun hal tersebut tidak
serta membuat kita lupa bahwa perjalanan masih amat sangat panjang, ini baru
awal dari perjalanan panjang. Hanya ada 9 jenis kekerasan seksual yang dihimpun
dalam bab II pasal 4 ayat 1, yakni: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan
seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan strerilisasi; pemaksaan
perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual;
kekerasan seksual berbasis elektronik. Secara umum, UU TPKS ini juga menghimpun
kasus child porn dalam 9 jenis kekerasan seksual tersebut. Jika kita perhatikan
baik-baik RUU TPKS ini masih banyak kekurangan, masih perlu pengawalan lebih
lanjut karena misalnya untuk pembahasan pemerkosaan, pemaksaan aborsi, dan hak
kelompok disabilitas ini belum diatur secara jelas padahal sebelum disahkannya,
pemerkosaan dan pemaksaan aborsi ini diatur dalam RUU TPKS Pasal 15 dan 16
karena sudah dianggap terhimpun dalam KUHP dan UU Kesehatan. Selain itu, hak
disabilitas sebelumnya diatur dalam beberapa pasal justru dipinggirkan misalnya
Badan Legislasi DPR RI mengatakan bahwa keterangan kelompok disabilitas ini
memiliki kesamaan nilai dengan non-disabilitas. Hal tersebut tentunya akan
menghambat pendampingan kasus pemerkosaan, pemaksaan aborsi, dan yang melibatkan
kelompok disabilitas. (Fitra P. Maulida [Rara], April 13, 2022)”.
Berikut
tadi merupakan beberapa pernyataan yang tuturkan langsung oleh saudari Rara
melalui personal chat via WA. Sebelumnya, jurnalis ingin secara langsung melakukan
wawancara dengan narasumber terkait berita tersebut, namun terjadi satu dan
lain hal, sehingga wawancara tidak bisa dilakukan secara langsung. [Oja]
Tidak ada komentar: