HURU HARA : PENGUASA VERSUS KEPENTINGAN RAKYAT
Fitrah Ramadhan
Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB-UH
Media Ekonomi - Aksi protes secara masif telah
membanjiri headline berita di
berbagai media massa. Penolakan kenaikan PPN dan harga minyak goreng menjadi
salah satu dari banyak tuntutan yang dilayangkan para demonstran di berbagai
titik aksi. Kota Makassar salah satunya, para demonstran membanjiri perempatan fly over jalan A.P Pettarani dan jalan
Urip Sumoharjo. Aksi protes disampaikan para demonstran lewat orasi yang
disampaikan dengan lantang di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia
yang telah babak belur habis-habisan karena dampak pandemi Covid-19 sejak awal
tahun 2020, harus menerima kenyataan akan naiknya PPN dan melambungnya harga
minyak goreng. Betapa malangnya nasib bangsa ini. Seperti ungkapan “Sudah
Jatuh, Tertimpa Tangga
Pula”. Sudah sepantasnya kaum intelektual penyambung lidah rakyat
(mahasiswa) melayangkan aksi protes besar-besaran dalam merespon kondisi negeri
ini, yang tentu saja, sedang tidak baik-baik saja.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dari 10% menjadi 11% menjadi salah satu kebijakan pemerintah, dalam hal ini
kementerian keuangan, dianggap sebagai kebijakan yang tidak pro pada
kepentingan rakyat menurut para demonstran di Kota Makassar. Namun Menteri
Keuangan (menkeu) Sri Mulyani memberikan klarifikasi mengenai alasan
meningkatnya PPN dengan membandingkan rata-rata PPN negara-negara G20 lainnya
yang berkisar 15%. Ditambah beberapa jenis barang, termasuk barang kebutuhan
pokok, tidak menjadi sasaran kenaikan PPN ini. Selain itu, memperkuat fondasi
APBN menjadi salah satu alasan sebagaimana diungkapkan beberapa ekonom.
Sejak wacana kenaikan PPN ini mulai
mencuat pada pertengahan tahun 2021 lalu, memang terbilang kontroversial di
kalangan ekonom, apalagi pada saat itu kondisi ekonomi masyarakat jauh dari
kata pulih akibat dampak pandemi Covid-19. Apalagi wacana kenaikan PPN ketika
itu, juga menjadikan sektor pendidikan dan bahan kebutuhan pokok sebagai objek
kena pajak. Meski demikian, PPN yang direncanakan pemerintah sebesar 12%,
kemudian ditetapkan angka yang lebih ringan yaitu 11%, serta membebaskan barang
kebutuhan pokok sebagai objek kena pajak.
Nobody
loves paying taxes, dalam ilmu ekonomi, pajak menjadi
suatu multiplier negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan). Jelas bahwa pajak menurunkan
kesejahteraan. Kondisi dimana pemerintah seharusnya mengembalikan gairah
masyarakat untuk berbelanja, malah menjadi momen pemerintah untuk memperkuat
fondasi APBN atau mengecilkan jurang defisit melalui peningkatan penerimaan
pajak. Meminjam istilah menkeu Sri Mulyani, kebijakan yang ditempuhnya memang sangat
tidak prudent..
***
Panjangnya antrian pembeli minyak goreng murah mulai bertebaran di toko-toko besar, hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Bagaimana tidak, secara tiba-tiba minyak goreng menjadi langka dan harganya membumbung tinggi, bahkan dibanderol seharga diatas Rp 50.000 per 2 liter. Suatu anomali bagi produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Jika ditelisik lebih dalam, struktur
pasar minyak goreng di Indonesia adalah oligopoli. Segelintir korporasi saja
yang menguasai sebagian besar minyak goreng di pasar. Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) dalam penelitiannya mengungkap bahwa terdapat 4
perusahaan yang menguasai 46,5% minyak goreng di Indonesia. Dugaan adanya
kartel (kerjasama antarperusahaan untuk mengontrol harga) memang besar. Apalagi
minyak goreng sebagai salah satu bahan pokok yang telah menopang hajat hidup
orang banyak.
Dalam rapat kerja Kementerian
Perdagangan (kemendag) dengan Komisi VI DPR yang dilaksanakan 17 Maret lalu,
Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, berjanji akan mengungumumkan mafia
dibalik permainan harga minyak goreng pada 21 Maret. Namun hingga saat ini
pengumuman tersebut belum juga terdengar. Ini adalah suatu kejanggalan. Ada
pemburu rente yang menggerogoti kebijakan publik, parasit bagi kepentingan
rakyat. Pemanfaatan kekuasaan demi keuntungan segelintir kelompok orang
merupakan praktik oligarki. Aksi protes yang baru-baru ini terjadi adalah suatu
upaya menagih janji mendag yang hilang dalam pemberitaan. Tumpas mafia minyak
goreng!
***
Selama 7 tahun Presiden Joko Widodo menduduki
tahta tertinggi, kemudian mayoritas kursi parpol di DPR RI, dengan segala
kebijakan hingga aturan yang hadir selalu menuai kontroversi. Pada tahun 2019
lalu misalnya, pengesahan Revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja yang dianggap
terburu-buru dilakukan pada akhir masa jabatan serta minimnya partisipasi
publik dalam proses pembuatannya, UU itu dianggap cacat formil sebab melanggar
asas keterbukaan. Kejanggalan itu mengundang protes yang berujung pada aksi
demonstrasi besar-besaran di seluruh penjuru negeri ini.
Dengan segala permasalahan dan
kontroversi yang ada, publik kembali dikejutkan dengan usulan beberapa petinggi
parpol dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (marves), Luhut
Binsar Pandjaitan, untuk penundaan Pemilu 2024 hingga 3 periode jabatan Jokowi.
Hingga wacana tersebut membesar di kalangan publik, menjadi pemantik aksi
demonstrasi besar-besaran tahun ini.
Potong bebek angsa, angsa di kuali
Gagal
ngurus bangsa, minta tiga kali
Bohong
ke sana, bohong ke sini.
HIDUP
MAHASISWA! HIDUP RAKYAT INDONESIA!
Begitulah plesetan lirik lagu Potong Bebek Angsa dikumandangkan oleh ratusan
ribu massa aksi di seluruh penjuru negeri ini. Plesetan tersebut rasanya cukup mewakili kesimpulan tulisan ini.
Tidak ada komentar: