KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

HURU HARA : PENGUASA VERSUS KEPENTINGAN RAKYAT

 

HURU HARA : PENGUASA VERSUS KEPENTINGAN RAKYAT

Fitrah Ramadhan 

Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB-UH




Media Ekonomi - Aksi protes secara masif telah membanjiri headline berita di berbagai media massa. Penolakan kenaikan PPN dan harga minyak goreng menjadi salah satu dari banyak tuntutan yang dilayangkan para demonstran di berbagai titik aksi. Kota Makassar salah satunya, para demonstran membanjiri perempatan fly over jalan A.P Pettarani dan jalan Urip Sumoharjo. Aksi protes disampaikan para demonstran lewat orasi yang disampaikan dengan lantang di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.

 

Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang telah babak belur habis-habisan karena dampak pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020, harus menerima kenyataan akan naiknya PPN dan melambungnya harga minyak goreng. Betapa malangnya nasib bangsa ini. Seperti ungkapan “Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga Pula”. Sudah sepantasnya kaum intelektual penyambung lidah rakyat (mahasiswa) melayangkan aksi protes besar-besaran dalam merespon kondisi negeri ini, yang tentu saja, sedang tidak baik-baik saja.

 

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% menjadi salah satu kebijakan pemerintah, dalam hal ini kementerian keuangan, dianggap sebagai kebijakan yang tidak pro pada kepentingan rakyat menurut para demonstran di Kota Makassar. Namun Menteri Keuangan (menkeu) Sri Mulyani memberikan klarifikasi mengenai alasan meningkatnya PPN dengan membandingkan rata-rata PPN negara-negara G20 lainnya yang berkisar 15%. Ditambah beberapa jenis barang, termasuk barang kebutuhan pokok, tidak menjadi sasaran kenaikan PPN ini. Selain itu, memperkuat fondasi APBN menjadi salah satu alasan sebagaimana diungkapkan beberapa ekonom.

 

Sejak wacana kenaikan PPN ini mulai mencuat pada pertengahan tahun 2021 lalu, memang terbilang kontroversial di kalangan ekonom, apalagi pada saat itu kondisi ekonomi masyarakat jauh dari kata pulih akibat dampak pandemi Covid-19. Apalagi wacana kenaikan PPN ketika itu, juga menjadikan sektor pendidikan dan bahan kebutuhan pokok sebagai objek kena pajak. Meski demikian, PPN yang direncanakan pemerintah sebesar 12%, kemudian ditetapkan angka yang lebih ringan yaitu 11%, serta membebaskan barang kebutuhan pokok sebagai objek kena pajak.

 

Nobody loves paying taxes, dalam ilmu ekonomi, pajak menjadi suatu multiplier negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan). Jelas bahwa pajak menurunkan kesejahteraan. Kondisi dimana pemerintah seharusnya mengembalikan gairah masyarakat untuk berbelanja, malah menjadi momen pemerintah untuk memperkuat fondasi APBN atau mengecilkan jurang defisit melalui peningkatan penerimaan pajak. Meminjam istilah menkeu Sri Mulyani, kebijakan yang ditempuhnya memang sangat tidak prudent..

 

***


Panjangnya antrian pembeli minyak goreng murah mulai bertebaran di toko-toko besar, hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Bagaimana tidak, secara tiba-tiba minyak goreng menjadi langka dan harganya membumbung tinggi, bahkan dibanderol seharga diatas Rp 50.000 per 2 liter. Suatu anomali bagi produsen kelapa sawit terbesar di dunia.

 

Jika ditelisik lebih dalam, struktur pasar minyak goreng di Indonesia adalah oligopoli. Segelintir korporasi saja yang menguasai sebagian besar minyak goreng di pasar. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam penelitiannya mengungkap bahwa terdapat 4 perusahaan yang menguasai 46,5% minyak goreng di Indonesia. Dugaan adanya kartel (kerjasama antarperusahaan untuk mengontrol harga) memang besar. Apalagi minyak goreng sebagai salah satu bahan pokok yang telah menopang hajat hidup orang banyak.

 

Dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan (kemendag) dengan Komisi VI DPR yang dilaksanakan 17 Maret lalu, Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, berjanji akan mengungumumkan mafia dibalik permainan harga minyak goreng pada 21 Maret. Namun hingga saat ini pengumuman tersebut belum juga terdengar. Ini adalah suatu kejanggalan. Ada pemburu rente yang menggerogoti kebijakan publik, parasit bagi kepentingan rakyat. Pemanfaatan kekuasaan demi keuntungan segelintir kelompok orang merupakan praktik oligarki. Aksi protes yang baru-baru ini terjadi adalah suatu upaya menagih janji mendag yang hilang dalam pemberitaan. Tumpas mafia minyak goreng!

 

***

Selama 7 tahun Presiden Joko Widodo menduduki tahta tertinggi, kemudian mayoritas kursi parpol di DPR RI, dengan segala kebijakan hingga aturan yang hadir selalu menuai kontroversi. Pada tahun 2019 lalu misalnya, pengesahan Revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja yang dianggap terburu-buru dilakukan pada akhir masa jabatan serta minimnya partisipasi publik dalam proses pembuatannya, UU itu dianggap cacat formil sebab melanggar asas keterbukaan. Kejanggalan itu mengundang protes yang berujung pada aksi demonstrasi besar-besaran di seluruh penjuru negeri ini.

 

Dengan segala permasalahan dan kontroversi yang ada, publik kembali dikejutkan dengan usulan beberapa petinggi parpol dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (marves), Luhut Binsar Pandjaitan, untuk penundaan Pemilu 2024 hingga 3 periode jabatan Jokowi. Hingga wacana tersebut membesar di kalangan publik, menjadi pemantik aksi demonstrasi besar-besaran tahun ini.

 

 Potong bebek angsa, angsa di kuali

 Gagal ngurus bangsa, minta tiga kali

 Bohong ke sana, bohong ke sini.

 HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT INDONESIA!

 

Begitulah plesetan lirik lagu Potong Bebek Angsa dikumandangkan oleh ratusan ribu massa aksi di seluruh penjuru negeri ini. Plesetan tersebut rasanya cukup mewakili kesimpulan tulisan ini.

Tidak ada komentar: