KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

PROBLEMA LEGALISASI GANJA DI INDONESIA


PROBLEMA LEGALISASI GANJA DI INDONESIA






    Media Ekonomi - Berjuta tahun bumi kita hidup dengan bermacam jenis manusia dari generasi ke generasi. Ada yang membuat kebaikan dan membuat bumi senang, ada pula yang angkuh berjalan mendongakkan kepala juga lupa diri bahwa pada akhirnya semua akan menyatu kembali dengan bumi. Apa yang kita perbuat untuk merawat bumi harusnya merupakan suatu hal lumrah yang kita pikirkan sebagai ‘anaknya’. Sama halnya dengan menyayangi, merawat serta berbagi kasih terhadap sesama makhluk yang bernyawa. Melakukan aktivitas mutualisme agar harapan terciptanya keseimbangan alam dapat terealisasikan dengan apik.

    Di suatu sore ketika orang orang pulang dari aktivitas mereka, saya bangun dari tidur siang dan melihat gadget yang terselip di bawah bantal, lalu melihat apa saja yang trending pada saat itu. Dari beberapa berita dan informasi di dunia maya tersebut, pandangan saya tercuri dengan salah satu cover postingan yang didalamnya terdapat ejaan besar bertuliskan ‘MUSA’. Saya membaca sedikit caption tentang ini dengan beberapa komenan warganet didalamnya. Dari yang saya rangkum di postingan tersebut bahwa ada beberapa kelompok di Indonesia menyuarakan tentang legalisasi penggunaan narkotika kelas satu yaitu tanaman ganja untuk penelitian dan pengobatan dengan salah satu pengalaman dari seorang ibu yang mempunyai anak pengidap penyakit cerebral palcy, dan hal ini merupakan suatu hal tabu bagi saya juga mungkin kebanyakan masyarakat di Indonesia. Kasus kasus seperti inilah membuat saya membiarkannya masuk kedalam relung penasaran dalam diri saya. Mengapa sesuatu yang dianggap sangat berbahaya bagi penggunanya, sampai memasuki tahap kelas narkoba tingkat tertinggi di Indonesia, justru mampu membantu dunia paramedis dengan pengobatan alternatifnya untuk penyakit penyakit tertentu seperti di atas tadi.


    Sama halnya seperti kasus Fidelis yang istrinya mengidap penyakit Syringomyelia. Fidelis memutuskan untuk mengekstraksi ganja secara otodidak. Penyakit langka yang diidap sang istri membuat tubuhnya begitu lemah sehingga operasi dinilai mustahil. Setelah menggunakan ganja, kondisi Yeni yang memprihatinkan perlahan membaik. Dari yang tadinya agak lamban dalam berinteraksi, perlahan mulai lancar. Namun semua proses itu berhenti oleh karena penangkapan Fidelis atas tuduhan kepemilikan ganja yang sudah diatur dalam UU narkotika. Fidelis tahu bahwa perbuatannya salah, tapi ekstrak ganja yang dia racik tersebut mampu memperbaiki kondisi penyakit istrinya. Kendati itu, hukum tetaplah hukum, Fidelis pun ditahan. Semenjak ditahan, kondisi kesehatan sang istri kembali anjlok. Bahkan usai 32 hari Fidelis ditahan, sang istri meninggal dunia.[1]


    Nasi pun menjadi bubur. Tidak ada satupun yang bisa disalahkan kecuali hukum dan perikemanusiaan di negara kita yang dibiarkan luntur begitu saja. Setelah mendengar cerita tadi, saya sangat terpukul dan menganggap bahwa ini terdengar seperti ‘hukum diatas nyawa’. Gonggongan perlindungan HAM yang sering di lontarkan oleh pihak pemerintahan kita terhadap negara negara timur tengah, itu justru menjadi bumerang kepada rakyatnya sendiri.


                                                                                *


    Dari yang saya baca dan tonton tentang pemanfaatan atau penggunaan ganja di berbagai platform, banyak sekali orang orang menanggapi ini dengan berbagai sudut pandang dan alasan mereka. Pro kontra selalu bersinggungan di tiap komentar. Namun yang saya teliti kebanyakan dari mereka yang tidak setuju terhadap pergerakan ini hanya berdiskusi di kulit luar nya saja. Mereka seperti tidak mau mendalami tentang riset atau pengalaman pengguna terdahulu. Komentar seperti ‘apa sih, orang kaya gini masi dipercaya, padahal sudah kita tau ganja itu banyak mudhorotnya’ atau ‘alah, dalih mereka aja biar bisa nyimeng bebas dan gak ditangkap polisi’ membuat saya sedikit emosi terhadap kebodohan tertulis yang tidak berdasar dan kurangnya budaya literasi serta mencari informasi aktual. Sangat disayangkan orang orang seperti ini yang membiarkan perbuatan mereka digerakkan oleh hasrat mengintimidasi suatu kelompok justru menjadi bom waktu terhadap mereka sendiri. Jadi saya menulis ini untuk mencoba membuat pemahaman tentang tanaman ganja kepada masyarakat Indonesia bahwa tidak semua yang kita lihat dari luar itu menyamai dengan yang kita lihat dari dalam.


    Dikutip oleh DR. Widya Murni Mars, pendiri Jakarta Anti Aging Clinic “Thailand melegalkan ganja medis setelah mempertimbangkan semua manfaat dan mudharat ganja, ternyata lebih banyak manfaat jika di kelola dengan benar”. Pernyataan tersebut beliau utarakan ketika ia mempresentasikan manfaat ganja untuk medis di talkshow ROSI, Kompas TV. Beliau disana melakukan edukasi terkait pemanfaatan ganja yang didalamnya mencakup jenis, manfaat, efek samping, dan legalisasinya di berbagai negara. Saya sempat terkejut ketika beliau memaparkan tentang Hemp (salah satu jenis tanaman ganja) dengan Tetrahidrokanabinol (THC) kurang dari 0,3% yang artinya tidak dapat membuat penggunanya merasakan high walaupun di konsumsi dengan lintingan. Ganja ini merupakan jenis yang biasa digunakan hanya  untuk kebutuhan pengobatan alternatif oleh paramedis di luar negeri seperti Thailand, Australia, Kanada, Denmark, UK, dsb. Adapun negara dengan tahap terakhir pelegalannya seperti Malaysia akan menyusul sesuai dengan waktu perubahaan konstitusi UU Narkotika disana.


    Di sisi lain, perekonomian mengenai hasil bumi tanaman ganja ini sangat mumpuni dan bisa dibilang  lumayan menimbulkan prospek untung yang besar dalam perindustriannya. Beberapa negara juga sudah melakukan bisnis secara masif kepada para petani yang expert soal budi daya ganja ini. Seperti halnya di Thailand yang baru baru ini mereka melegalkan penggunaan dan penanaman ganja dengan izin dari pemerintah setempat. ini Nilai industri ganja medis di Thailand diperkirakan hampir menyentuh angka US$660 juta (8,5 triliun rupiah) pada 2024 nanti. Sedangkan di belahan bumi barat, Kolombia telah menempatkan diri sebagai kandidat eksporter ganja terbesar di dunia, dengan proyeksi nilai ekspor mencapai US$17.7 milyar (251 triliun rupiah), dan menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 100.000 orang.[2]  Angka ini sungguh sangat dibutuhkan oleh para pencari kerja yang saat ini mereka kesulitan untuk mencari tempat penghasilan. Bahkan jika kita lihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang. Adapun dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta orang. Kemudian, sekitar 30,4 juta orang atau 91% berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun. Kondisi ini kian diperparah dengan penurunan jumlah regenerasi petani muda. Dalam data yang sama, dari periode 2017 ke 2018, penurunan jumlah petani muda mencapai 415.789 orang.[3] Para petani ini sebagian besar pasti mempunyai dasar yang kokoh tentang persoalan budidaya lahan dan tanaman di lebih dari satu jenis, apalagi jika mereka mengetahui keuntungan dari bisnis yang dihasilkan oleh ganja ini.


    Semua persoalan tentang ganja ini juga tidak luput dari beberapa public figure yang menyuarakan hak haknya kepada pemerintah mengenai peninjauan kembali ganja medis untuk di manfaatkan di Indonesia. Dukungan mereka ini semata tidak untuk menarik perhatian publik terkait hal yang tabu ini, namun mereka sadar akan kegunaan di masa depan terkait ciptaan yang dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang ini. Dari beberapa pengalaman  yang membuat mereka berpikir bahwa pihak aparat serta kepemerintahan harus terbuka terhadap kasus ini. Mulai dari mengekstrak daun ganja menjadi minyak ganja untuk obat terapi cerebral palsy, memproduksi bumbu dan bahan makanan, bahkan sampai kenapa banyak juga yang menjadikannya rokok (lintingan) untuk dihirup, ini merupakan suatu kasus nyata yang gamblang di mata tertutup kita. Beberapa artis seperti Jeff Smith, Anji, Dwi Sasono, Jefri Nichol, bahkan yang pekerjaan setiap harinya kelihatan bahagia seperti Nunung dan Fico pun juga memerlukan suatu barang dianggapnya sangat membantunya untuk mengurangi beban walaupun hanya bersifat sementara, namun ini memang sangat berarti baginya. Ujung ujungnya kita masuk lagi ke bagaimana perlakuan semua orang terdekat mereka sehingga kenapa para pengguna ini justru lebih memilih hal yang mungkin dianggapan mereka sendiri tidak seharusnya dikonsumsi.


    Balik lagi kepada alasan orang orang ini menggunakan ganja. Mulai dari membantu pengidap insomnia, ADHD/ADD (yang mengalami kesulitan untuk fokus dalam mengerjakan tugas atau pekerjaan), mengobati dan mengurangi depresi, dsb. Berikut tadi merupakan penggunaan jenis ganja medis yang sudah ditakar dan diracik oleh beberapa organisasi yang fokus terhadap pengelolaan tanaman ini. Baiklah pasti banyak dibenak kalian yang baru membaca ini dan menunggu sesi dimana saya memaparkan efek samping dari tanaman ini. Sebenarnya semua yang saya jelaskan tadi itu tidak hanya mengerucut kepada penggunaan ganja sebagai rokok saja, tapi ke semua cara pengolahannya. Secara menyeluruh efek buruk ganja terhadap tubuh manusia ini dapat di rangkum seperti halusinasi, penurunan daya ingat, penurunan daya fungsi otak, dan peningkatan resiko depresi. Beberapa contoh tadi itu merupakan efek penggunaan tanpa prosedur yang sering diketahui awam dan itulah sampai situ sajalah pemikiran mereka yang tidak setuju akan hal ini.


    Terlebih lagi ketika kita melihat berita di tv maupun media sosial lainnya yang memajang para pengguna dan barang buktinya lalu dipaksa untuk meminta maaf kepada publik, bak seorang pembunuh berantai dengan pisau berdarah digenggamannya. Perlakuan ini tidak sepatutnya dilakukan oleh aparat negara kepada masyarakat yang permintaan maaf atau tidaknya hak itu pada dasarnya dimiliki oleh si pelaku. Sangat beda perlakuannya ketika yang tertangkap basah adalah orang orang berpakaian rapih dan berdasi.


    Jadi apa lagi sebenarnya sesuatu yang menutup mata mereka sehingga tidak mau menerima bukti atau fakta empiris terhadap pasien pasien terdahulu yang menggunakan tanaman ini untuk kebutuhan pengobatan?, atau memang kita yang terlalu hanya ingin berada di zona aman dan nyaman? Semua kembali pada kepedulian kita, pun juga kesadaran pemerintah terhadap para pengidap penyakit yang alternatifnya hanya bisa disembuhkan oleh tanaman tersebut. [Oja]


 



[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170731142646-12-231457/kisah-fidelis-antara-cinta-ganja-dan-ancaman-penjara

[2] https://data.alinea.id/jumlah-petani-di-indonesia-b2cCd9Bp9c#:~:text=Badan%20Pusat%20Statistik%20(BPS)%20mencatat,dengan%202%2C7%20juta%20orang.

[3] https://lgn.or.id/wp-content/themes/lgn/assets/files//Rekomendasi-Perubahan-Kebijakan-untuk-Penelitian-Ganja-Medis-220121.pdf 

Tidak ada komentar: