Di suatu sore ketika orang orang
pulang dari aktivitas mereka, saya bangun dari tidur siang dan melihat gadget
yang terselip di bawah bantal, lalu melihat apa saja yang trending pada
saat itu. Dari beberapa berita dan informasi di dunia maya tersebut, pandangan
saya tercuri dengan salah satu cover postingan yang didalamnya terdapat ejaan
besar bertuliskan ‘MUSA’. Saya membaca sedikit caption tentang ini dengan
beberapa komenan warganet didalamnya. Dari yang saya rangkum di postingan
tersebut bahwa ada beberapa kelompok di Indonesia menyuarakan tentang
legalisasi penggunaan narkotika kelas satu yaitu tanaman ganja untuk penelitian
dan pengobatan dengan salah satu pengalaman dari seorang ibu yang mempunyai
anak pengidap penyakit cerebral palcy, dan hal ini merupakan suatu hal
tabu bagi saya juga mungkin kebanyakan masyarakat di Indonesia. Kasus kasus
seperti inilah membuat saya membiarkannya masuk kedalam relung penasaran dalam diri
saya. Mengapa sesuatu yang dianggap sangat berbahaya bagi penggunanya, sampai
memasuki tahap kelas narkoba tingkat tertinggi di Indonesia, justru mampu
membantu dunia paramedis dengan pengobatan alternatifnya untuk penyakit
penyakit tertentu seperti di atas tadi.
Sama halnya seperti kasus Fidelis
yang istrinya mengidap penyakit Syringomyelia. Fidelis memutuskan untuk
mengekstraksi ganja secara otodidak. Penyakit langka yang diidap sang istri
membuat tubuhnya begitu lemah sehingga operasi dinilai mustahil. Setelah
menggunakan ganja, kondisi Yeni yang memprihatinkan perlahan membaik. Dari yang
tadinya agak lamban dalam berinteraksi, perlahan mulai lancar. Namun semua
proses itu berhenti oleh karena penangkapan Fidelis atas tuduhan kepemilikan
ganja yang sudah diatur dalam UU narkotika. Fidelis tahu bahwa perbuatannya
salah, tapi ekstrak ganja yang dia racik tersebut mampu memperbaiki kondisi
penyakit istrinya. Kendati itu, hukum tetaplah hukum, Fidelis pun ditahan.
Semenjak ditahan, kondisi kesehatan sang istri kembali anjlok. Bahkan usai 32
hari Fidelis ditahan, sang istri meninggal dunia.[1]
Nasi pun menjadi bubur. Tidak ada
satupun yang bisa disalahkan kecuali hukum dan perikemanusiaan di negara kita
yang dibiarkan luntur begitu saja. Setelah mendengar cerita tadi, saya
sangat terpukul dan menganggap bahwa ini terdengar seperti ‘hukum diatas nyawa’.
Gonggongan perlindungan HAM yang sering di lontarkan oleh pihak pemerintahan
kita terhadap negara negara timur tengah, itu justru menjadi bumerang kepada
rakyatnya sendiri.
*
Dari yang saya baca dan tonton
tentang pemanfaatan atau penggunaan ganja di berbagai platform, banyak sekali
orang orang menanggapi ini dengan berbagai sudut pandang dan alasan mereka. Pro
kontra selalu bersinggungan di tiap komentar. Namun yang saya teliti kebanyakan
dari mereka yang tidak setuju terhadap pergerakan ini hanya berdiskusi di kulit
luar nya saja. Mereka seperti tidak mau mendalami tentang riset atau pengalaman
pengguna terdahulu. Komentar seperti ‘apa sih, orang kaya gini masi dipercaya,
padahal sudah kita tau ganja itu banyak mudhorotnya’ atau ‘alah, dalih mereka
aja biar bisa nyimeng bebas dan gak ditangkap polisi’ membuat saya sedikit
emosi terhadap kebodohan tertulis yang tidak berdasar dan kurangnya budaya
literasi serta mencari informasi aktual. Sangat disayangkan orang orang seperti
ini yang membiarkan perbuatan mereka digerakkan oleh hasrat mengintimidasi
suatu kelompok justru menjadi bom waktu terhadap mereka sendiri. Jadi saya menulis
ini untuk mencoba membuat pemahaman tentang tanaman ganja kepada masyarakat
Indonesia bahwa tidak semua yang kita lihat dari luar itu menyamai dengan yang
kita lihat dari dalam.
Dikutip oleh DR. Widya Murni
Mars, pendiri Jakarta Anti Aging Clinic “Thailand melegalkan ganja medis
setelah mempertimbangkan semua manfaat dan mudharat ganja, ternyata lebih
banyak manfaat jika di kelola dengan benar”. Pernyataan tersebut beliau
utarakan ketika ia mempresentasikan manfaat ganja untuk medis di talkshow ROSI,
Kompas TV. Beliau disana melakukan edukasi terkait pemanfaatan ganja yang
didalamnya mencakup jenis, manfaat, efek samping, dan legalisasinya di berbagai
negara. Saya sempat terkejut ketika beliau memaparkan tentang Hemp (salah satu
jenis tanaman ganja) dengan Tetrahidrokanabinol (THC) kurang dari 0,3% yang
artinya tidak dapat membuat penggunanya merasakan high walaupun di konsumsi dengan lintingan. Ganja ini merupakan
jenis yang biasa digunakan hanya untuk
kebutuhan pengobatan alternatif oleh paramedis di luar negeri seperti Thailand, Australia,
Kanada, Denmark, UK, dsb. Adapun negara dengan tahap terakhir pelegalannya
seperti Malaysia akan menyusul sesuai dengan waktu perubahaan konstitusi UU
Narkotika disana.
Di sisi lain, perekonomian
mengenai hasil bumi tanaman ganja ini sangat mumpuni dan bisa dibilang lumayan menimbulkan prospek untung yang besar
dalam perindustriannya. Beberapa negara juga sudah melakukan bisnis secara
masif kepada para petani yang expert
soal budi daya ganja ini. Seperti halnya di Thailand yang baru baru ini mereka
melegalkan penggunaan dan penanaman ganja dengan izin dari pemerintah setempat.
ini Nilai industri ganja medis di Thailand diperkirakan hampir menyentuh angka
US$660 juta (8,5 triliun rupiah) pada 2024 nanti. Sedangkan di belahan bumi
barat, Kolombia telah menempatkan diri sebagai kandidat eksporter ganja
terbesar di dunia, dengan proyeksi nilai ekspor mencapai US$17.7 milyar (251
triliun rupiah), dan menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 100.000 orang.[2] Angka ini
sungguh sangat dibutuhkan oleh para pencari kerja yang saat ini mereka
kesulitan untuk mencari tempat penghasilan. Bahkan jika kita lihat data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta
orang. Adapun dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39
tahun hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta orang. Kemudian, sekitar 30,4 juta
orang atau 91% berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60
tahun. Kondisi ini kian diperparah dengan penurunan jumlah regenerasi petani
muda. Dalam data yang sama, dari periode 2017 ke 2018, penurunan jumlah petani
muda mencapai 415.789 orang.[3] Para petani ini
sebagian besar pasti mempunyai dasar yang kokoh tentang persoalan budidaya
lahan dan tanaman di lebih dari satu jenis, apalagi jika mereka mengetahui
keuntungan dari bisnis yang dihasilkan oleh ganja ini.
Semua persoalan tentang ganja ini
juga tidak luput dari beberapa public figure yang menyuarakan hak haknya kepada
pemerintah mengenai peninjauan kembali ganja medis untuk di manfaatkan di
Indonesia. Dukungan mereka ini semata tidak untuk menarik perhatian publik
terkait hal yang tabu ini, namun mereka sadar akan kegunaan di masa depan
terkait ciptaan yang dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang ini. Dari
beberapa pengalaman yang membuat mereka berpikir bahwa pihak aparat
serta kepemerintahan harus terbuka terhadap kasus ini. Mulai dari mengekstrak
daun ganja menjadi minyak ganja untuk obat terapi cerebral palsy, memproduksi bumbu
dan bahan makanan, bahkan sampai kenapa banyak juga yang menjadikannya rokok
(lintingan) untuk dihirup, ini merupakan suatu kasus nyata yang gamblang di
mata tertutup kita. Beberapa artis seperti Jeff Smith, Anji, Dwi Sasono, Jefri
Nichol, bahkan yang pekerjaan setiap harinya kelihatan bahagia seperti Nunung dan Fico pun juga memerlukan suatu barang dianggapnya sangat membantunya untuk mengurangi beban
walaupun hanya bersifat sementara, namun ini memang sangat berarti baginya.
Ujung ujungnya kita masuk lagi ke bagaimana perlakuan semua orang terdekat
mereka sehingga kenapa para pengguna ini justru lebih memilih hal yang mungkin
dianggapan mereka sendiri tidak seharusnya dikonsumsi.
Balik lagi kepada alasan orang
orang ini menggunakan ganja. Mulai dari membantu pengidap
insomnia, ADHD/ADD (yang mengalami kesulitan untuk fokus dalam mengerjakan tugas atau
pekerjaan), mengobati dan mengurangi depresi, dsb. Berikut tadi merupakan
penggunaan jenis ganja medis yang sudah ditakar dan diracik oleh beberapa organisasi yang fokus terhadap pengelolaan tanaman ini. Baiklah pasti banyak
dibenak kalian yang baru membaca ini dan menunggu sesi dimana saya memaparkan efek
samping dari tanaman ini. Sebenarnya semua yang saya jelaskan tadi itu tidak
hanya mengerucut kepada penggunaan ganja sebagai rokok saja, tapi ke semua cara
pengolahannya. Secara menyeluruh efek buruk ganja terhadap tubuh manusia ini
dapat di rangkum seperti halusinasi, penurunan daya ingat, penurunan daya
fungsi otak, dan peningkatan resiko depresi. Beberapa contoh tadi itu merupakan
efek penggunaan tanpa prosedur yang sering diketahui awam dan itulah sampai
situ sajalah pemikiran mereka yang tidak setuju akan hal ini.
Terlebih lagi ketika kita melihat
berita di tv maupun media sosial lainnya yang memajang para pengguna dan barang
buktinya lalu dipaksa untuk meminta maaf kepada publik, bak seorang pembunuh
berantai dengan pisau berdarah digenggamannya. Perlakuan ini tidak sepatutnya
dilakukan oleh aparat negara kepada masyarakat yang permintaan maaf atau
tidaknya hak itu pada dasarnya dimiliki oleh si pelaku. Sangat beda
perlakuannya ketika yang tertangkap basah adalah orang orang berpakaian rapih
dan berdasi.
Jadi apa lagi sebenarnya sesuatu
yang menutup mata mereka sehingga tidak mau menerima bukti atau fakta empiris
terhadap pasien pasien terdahulu yang menggunakan tanaman ini untuk kebutuhan
pengobatan?, atau memang kita yang terlalu hanya ingin berada di zona aman dan
nyaman? Semua kembali pada kepedulian kita, pun juga kesadaran pemerintah terhadap
para pengidap penyakit yang alternatifnya hanya bisa disembuhkan oleh tanaman
tersebut.
[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170731142646-12-231457/kisah-fidelis-antara-cinta-ganja-dan-ancaman-penjara
[2] https://data.alinea.id/jumlah-petani-di-indonesia-b2cCd9Bp9c#:~:text=Badan%20Pusat%20Statistik%20(BPS)%20mencatat,dengan%202%2C7%20juta%20orang.
[3] https://lgn.or.id/wp-content/themes/lgn/assets/files//Rekomendasi-Perubahan-Kebijakan-untuk-Penelitian-Ganja-Medis-220121.pdf
Tidak ada komentar: