Dalam gelombang perubahan yang menghantam dunia pendidikan di Indonesia, terdapat sebuah ombak besar yang mendesak perhatian kita: wacana penerapan skema student loan. Rencana ini, yang kini sedang dikaji oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) atas arahan Menteri Keuangan Sri Mulyani, bukanlah sekedar inisiatif finansial biasa. Ini adalah sebuah langkah yang bisa memutuskan nasib ekonomi dan pendidikan generasi mendatang.
Sebagaimana
yang diungkap dalam konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK Kuartal I Tahun
2024, Sri Mulyani dengan tegas menyoroti pengalaman negara lain, khususnya
Amerika Serikat, di mana skema serupa telah menimbulkan 'masalah jangka
panjang'. Fakta ini bukanlah hal baru; kita telah menyaksikan bagaimana student
loan di Amerika telah membengkak menjadi krisis utang pelajar yang mencapai
angka yang mengejutkan: $1.6 triliun. Penelitian dari berbagai sumber, termasuk
studi terbaru oleh Robert H. Scott III dan koleganya, menggambarkan bagaimana
beban utang ini merongrong kebebasan finansial dan pilihan hidup jutaan
individu.
Di
tanah air, skema ini muncul sebagai jawaban atas permasalahan pembiayaan
pendidikan yang semakin kompleks. Namun, ada ironi yang mencolok: solusi yang
ditawarkan bisa jadi bumerang yang pada akhirnya membelenggu kebebasan
finansial mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Kritik pedas pun datang dari berbagai pihak, termasuk dari Amman, Ketua
Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi FEB Universitas Hasanuddin, yang
menegaskan potensi beban berkepanjangan yang ditimbulkan oleh skema ini.
Kita
harus menyadari bahwa dalam setiap kebijakan pendidikan, tersembunyi sebuah
pertarungan antara akses dan kualitas. Menyediakan pendidikan yang terjangkau
adalah kunci, namun tidak boleh dengan mengorbankan kebebasan finansial
mahasiswa. Inisiatif student loan ini menimbulkan pertanyaan kritis:
Apakah kita ingin menciptakan generasi terdidik yang terbebani utang, atau
generasi yang mampu mengembangkan diri dengan fondasi keuangan yang stabil ?
Perdebatan
seputar skema student loan di Indonesia bukanlah tanpa sejarah atau
konteks. Pada dasarnya, skema ini muncul dari kebutuhan mendesak untuk menjawab
masalah pembiayaan pendidikan yang semakin berat. Di satu sisi, biaya
pendidikan tinggi terus meningkat, sementara di sisi lain, akses terhadap
pendidikan berkualitas menjadi semakin sulit bagi sebagian besar masyarakat.
Pemerintah, melalui berbagai program dan inisiatif, telah berusaha memberikan
solusi, namun tetap saja ada celah yang belum terpenuhi.
Mengambil
pelajaran dari negara-negara yang telah menerapkan skema serupa, seperti
Amerika Serikat, kita melihat sebuah narasi yang kompleks. Di satu sisi, student
loan memberi kesempatan bagi jutaan mahasiswa untuk mengakses pendidikan
tinggi. Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan krisis utang yang
mendalam, dengan dampak yang merata pada ekonomi dan kesejahteraan sosial. Di
Amerika, krisis ini tidak hanya mempengaruhi perekonomian, tetapi juga memicu
stres finansial yang signifikan bagi individu, sebagaimana terungkap dalam
studi oleh Sonya L. Britt dan rekan-rekannya.
Di Indonesia,
wacana student loan ini muncul di tengah perubahan sosioekonomi yang
signifikan. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kelas menengah menjanjikan,
namun ketimpangan pendapatan dan akses terhadap pendidikan masih menjadi
tantangan yang serius. Institusi pendidikan tinggi, seperti ITB dengan layanan
pinjaman online-nya, berusaha menawarkan solusi, namun solusi ini membawa
pertanyaan etis dan praktis yang berat.
Situasi ini diperumit dengan realitas bahwa banyak keluarga di Indonesia masih bergantung pada pendapatan yang terbatas. Skema student loan, yang mungkin terdengar menjanjikan sebagai solusi pendanaan pendidikan, juga dapat menjadi beban berkepanjangan yang merugikan keluarga ini. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali tidak hanya skema pinjaman itu sendiri, tetapi juga struktur ekonomi dan pendidikan yang lebih luas yang menyokongnya.
Mengadopsi skema student
loan di Indonesia bukan hanya tentang menyediakan dana pendidikan; ini
tentang mempertaruhkan masa depan finansial generasi muda. Mengambil pelajaran
dari Amerika Serikat, di mana penelitian oleh Robert H. Scott III dan koleganya
mengungkapkan bahwa sekitar 44 juta warga Amerika terikat dalam utang pelajar
sebesar $1.6 triliun, dengan lebih dari 20% mengalami gagal bayar, gambaran
yang muncul adalah salah satu kekhawatiran mendalam. Di Indonesia, skema student
loan berpotensi menciptakan masalah serupa, membelenggu generasi muda
dengan utang yang mungkin tidak mampu mereka bayar, menyebabkan krisis
finansial pribadi dan nasional. Utang pendidikan bukan hanya beban ekonomi; ini
adalah beban psikologis yang merampas ketenangan pikiran dan mengancam masa
depan finansial yang stabil.
Lebih jauh, dampak student
loan terhadap akses pendidikan tidak bisa diabaikan. Sebuah studi oleh
Sonya L. Britt dan rekan-rekannya menemukan bahwa stres finansial akibat utang
pelajar di Amerika berkontribusi pada peningkatan kemungkinan mahasiswa
menghentikan studi mereka. Studi ini, yang melibatkan 2,475 mahasiswa sarjana,
mengungkapkan bahwa mahasiswa dengan utang pelajar tertinggi memiliki
kemungkinan lebih rendah untuk melanjutkan kuliah setahun kemudian. Jika skenario
serupa terjadi di Indonesia, maka kita akan menyaksikan bukan hanya krisis
finansial, tetapi juga krisis pendidikan, di mana utang menjadi penghalang
utama untuk menyelesaikan pendidikan tinggi, terutama bagi mereka yang paling
membutuhkan.
Jika dihadapkan
kenyataan pasar kerja Indonesia, argumentasi terhadap student loan
menjadi semakin kritis. Terdapat ketidakseimbangan mencolok antara jumlah
lulusan sarjana yang terus bertambah dengan kesempatan kerja yang terbatas.
Fakta ini membawa kita pada dilema pahit: banyak mahasiswa yang menanggung
beban utang pendidikan belum tentu menemukan pekerjaan yang cukup untuk
melunasi utang mereka. Ini bukan sekadar ketidakadilan; ini adalah resep untuk bencana
ekonomi dan sosial.
Di Indonesia,
di mana struktur ekonomi dan pasar kerja masih berkembang, lulusan universitas
sering kali menemukan diri mereka terjebak dalam siklus mencari pekerjaan yang
tidak hanya kompetitif tetapi juga sering kali tidak sebanding dengan
kualifikasi mereka. Mengikat mereka dalam utang tanpa jaminan pendapatan
pasca-kuliah bukan hanya tindakan yang sembrono, tetapi juga tidak bertanggung
jawab. Kita harus melihat lebih dari sekadar angka-angka pendaftaran
universitas dan mulai mengevaluasi realitas yang dihadapi lulusan kita: sebuah
dunia di mana gelar sarjana tidak lagi menjamin keamanan finansial.
Mengakui
realitas ini, tanggung jawab moral kita adalah mempertanyakan apakah layak
membiarkan generasi muda terjebak dalam jerat utang, sementara peluang untuk
menyelesaikannya semakin menyempit. Ini bukan hanya tentang pendidikan; ini
tentang masa depan ekonomi kita. Jika generasi muda terbebani dengan utang dan
tanpa akses ke pekerjaan yang layak, ini akan menciptakan generasi yang
tertekan, tidak produktif, dan tidak dapat berkontribusi secara maksimal pada
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, penting bagi kebijakan pendidikan dan
ekonomi untuk bersinergi, memastikan bahwa investasi dalam pendidikan tidak
hanya menghasilkan ijazah, tetapi juga membuka jalan menuju peluang kerja yang
nyata dan berkelanjutan.
Dalam
menganalisis solusi pembiayaan pendidikan, kita harus memandangnya melalui
lensa teori pertumbuhan ekonomi Solow, khususnya konsep diminishing return
dari investasi. Dalam konteks ini, pendidikan bukan lagi sekadar komoditas,
melainkan motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Paradigma yang harus diubah
adalah melihat subsidi pendidikan tidak sebagai beban anggaran yang berat,
tetapi sebagai investasi jangka panjang yang esensial. Mengabaikan pendidikan
berarti membiarkan hambatan terbesar dalam mencapai potensi pertumbuhan ekonomi
yang optimal.
Penanggulangan
masalah biaya pendidikan dengan subsidi harus dilihat dalam konteks yang lebih
luas: investasi dalam kapital manusia. Menurut teori Solow, ada titik di mana
penambahan modal fisik (seperti infrastruktur atau mesin) memberikan hasil yang
semakin menurun dalam pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, investasi dalam
pendidikan—yang meningkatkan kualitas kapital manusia—dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Hal ini berarti bahwa setiap Rupiah yang
diinvestasikan dalam pendidikan tidak hanya membantu individu yang menerima
pendidikan tersebut, tetapi juga secara keseluruhan mendorong peningkatan
produktivitas, inovasi, dan akhirnya pertumbuhan ekonomi negara.
Kita harus
berani untuk memandang pendidikan sebagai investasi dalam pembangunan kapital
manusia, yang merupakan kunci bagi kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia.
Peningkatan subsidi pendidikan, dalam konteks ini, adalah langkah progresif
menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia yang akan membawa manfaat
ekonomi yang berkelanjutan. Pendekatan ini bukan hanya sekadar teori, melainkan
sebuah prinsip yang harus menjadi dasar kebijakan pendidikan. Dengan
memprioritaskan pendidikan dan menempatkannya sebagai investasi strategis, kita
tidak hanya mengurangi beban keuangan bagi mahasiswa, tetapi juga meletakkan
fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.
Pemahaman ini
harus menjadi bintang pandu dalam merumuskan kebijakan pendidikan dan ekonomi,
di mana keberhasilan tidak diukur hanya dengan jumlah lulusan universitas,
tetapi dengan kualitas sumber daya manusia yang mampu berkontribusi secara
signifikan terhadap kemajuan ekonomi dan sosial bangsa.
Oleh karenanya, kita berdiri di persimpangan jalan. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan bukan hanya masa depan pendidikan, tetapi juga nasib ekonomi dan keadilan sosial generasi mendatang. Skema student loan, dengan semua risiko dan ketidakpastiannya, bukanlah jalan yang harus kita tempuh tanpa pertimbangan matang. Sebaliknya, kita harus bergerak menuju model pendanaan pendidikan yang mengedepankan investasi jangka panjang dalam kapital manusia, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang menghindari beban utang bagi generasi muda, tetapi tentang membangun masa depan yang lebih cerah dan adil bagi semua warga Indonesia. Kita harus memilih jalan yang memastikan bahwa pendidikan, sebagai hak dasar setiap individu, menjadi kunci untuk membuka potensi penuh bangsa kita. Saatnya untuk menempatkan pendidikan bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai investasi terpenting dalam masa depan kita. (Arya Fadjar)
Tidak ada komentar: