KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Diskusi Rakyat Anti Perampasan: Melawan Penggusuran Hak Kota Warga Beroanging



Media Ekonomi - Jum’at (2/2/2024), Sore, pukul 16.30 di bawah rimbun awan, kolaborasi antara Perhimpunan Studi dan Advokasi Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia FH-UH (INSERSIUM), Senat Mahasiswa FEB-UH (Sema FEB-UH), dan Pembebasan Kolektif Makassar menggelar Diskusi Rakyat Anti Perampasan (Dirampas) dengan tajuk “Melawan Perampasan Hak Atas Kota Terhadap Warga Beroanging" . Diskusi yang dilaksanakan di Taman Keadilan FH-UH ini membahas perjuangan warga Beroanging dalam menghadapi perampasan ruang hidup.

 

Diskusi diawali dengan pembacaan monolog oleh Naufal dari Bengkel Seni Dewi Keadilan FH-UH. Monolog tersebut merefleksikan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap menyerupai penjajahan terhadap warganya. Penggunaan istilah "penjajah baru" dan deskripsi tentang penggusuran serta tindakan keras oleh aparat pemerintah menggambarkan atmosfer protes dan ketidaksetujuan terhadap langkah-langkah yang diambil oleh negara. “Hidup rakyat, jangan diam, lawan,” tutup Naufal.

 

Diskusi yang dihadiri oleh puluhan orang ini menghadirkan Ian dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar sebagai pemateri. Sebagai pembuka, Ian menceritakan kembali, tepatnya pada tanggal 1 November lalu, saat Dinas Lingkungan Hidup memberikan peringatan kepada warga Beroanging, agar segera pindah dari tempat tinggal mereka dengan alasan akan diadakannya pembangunan pagar di sekitar makam. Terangnya, meskipun terdapat beberapa rumah permanen yang dikawal, banyak bangunan semi permanen yang sudah digusur sebelumnya.


 Menurutnya, situasi dan pemerintah saat ini sangat bercorak pada kapitalisme. Masyarakat yang tidak mampu menghasilkan nilai yang diharapkan dapat dihilangkan, seperti yang terjadi dalam kasus Makassar New Port (MNP) di Tallo. Dari perihal tersebut, masyarakat mengalami proses peralihan profesi yang sebelumnya nelayan menjadi pemulung. Sebagai penutup, Ian mengatakan, “Negara menjadi aktor dalam pelanggaran HAM.”

 

Diskusi ini juga menghadirkan Putra dari Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan sebagai pemateri kedua. Dalam pemaparannya, Putra menyoroti berbagai masalah terkait masyarakat miskin kota di Makassar. Putra juga mengajak agar program-program pemerintah perlu dilihat secara kritis karena dapat melahirkan problem baru yang lebih mendalam. Terkait tata ruang, dalam kasus Warga Beroanging, “ada kendala seperti dua rumah yang tidak terdaftar di Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), meskipun pemiliknya tidak memiliki sertifikat,” ia menekankan bahwa hak asasi manusia harus diutamakan.


Berlanjut pada sesi selanjutnya yaitu sesi menanggapi, Penanggap pertama ada Nurfarah dari Lembaga LeDHaK FH-UH. Dengan berlandaskan pada aspek hukum, ia mengatakan, “Dalam konteks agraria, pemeliharaan tanah terlantar oleh kelompok masyarakat yang mengelolanya dengan baik secara terus-menerus selama 20 tahun dapat mengesampingkan sertifikat sebagai alat bukti.”

Dalam tanggapannya, Nurfarah banyak memberikan gambaran aturan-aturan yang justru dilanggar oleh pemerintah sendiri dan cenderung tidak berkeadilan, “pemerintah tidak boleh menggunakan instrumen hukum untuk melanggengkan penggusuran, dan perlunya mencari solusi yang lebih berkeadilan,” tutup Nur.


 

Lelah membahas aspek-aspek normatif karena pemerintah juga memiliki peran dan menjadi aktor dalam pelanggaran, terlebih pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sesuatu yang dirasakan Naufal dari Lembaga Rakyat Hukum Unhas sebagai penanggap kedua.

Pada UU nomor 23 tahun 2014 tentang batas wewenang kepala daerah, Naufal menyampaikan bahwa penjabat seharusnya tidak membuat program baru seperti yang terjadi di Beroanging. Ia menekankan bahwa tidak ada celah bagi pemerintah untuk lolos dari tanggung jawab hukum, “hukum terkadang tidur namun hukum tak pernah mati, lawan!” tutup Naufal.

 


Sedangkan Ilman, Ketua Senat Mahasiswa FEB-UH (Sema FEB-UH), mengungkapkan keprihatinan terhadap masyarakat marginal yang terpinggirkan. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan, dan situasinya semakin sulit dengan adanya rencana penggusuran rumah mereka.

Ilman menyoroti pertanyaan kritis apakah pemerintah bersedia memberdayakan seluruh masyarakat atau hanya fokus pada mereka yang mengejar estetika semata. Ia menekankan perlunya memenangkan sesuatu bersama-sama, tanpa memandang identitas atau perbedaan ekonomi.

 

“Apakah ada potensi mencampuradukkan wewenang dalam kasus Beroanging?” menjadi satu-satunya pertanyaan yang muncul dalam diskusi tersebut karena keterbatasan waktu.


Menanggapi hal tersebut, Ian mengatakan meski hukum hadir untuk membatasi kekuasaan, pemerintah sudah terlalu mengekspansi kekuasaannya dimana-mana. Abuse of power istilah yang digunakannya. Hak atas tempat tinggal yang layak diakui sebagai hak dasar manusia, namun masyarakat miskin kota cenderung dipinggirkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 


Putra menambahkan bahwa hanya negara yang memiliki senjata sebagai subjek dalam hak asasi manusia (HAM). Warisan kolonial terlihat dalam praktik bahwa jika masyarakat tidak memiliki sertifikat tanah, pemerintah masih dapat mengambil alih tanah tersebut, suatu praktik yang masih berlangsung hingga saat ini.

 

Beralih pada agenda selanjutnya yaitu testimoni dari Warga Beroanging oleh Ibu Wati’. Dengan sederhana, Ibu Wati’ menjelaskan kehidupannya di Beroanging yang sudah ada sejak tahun 1981 dan tak pernah sedikit pun ada teguran. Namun, akhir-akhir ini muncul ketakutan akan kehilangan ruang hidup karena penggusuran.

 

Awan masih rimbun, ditutup dengan nuansa harapan akan keadilan untuk terus melawan perampasan hak atas ruang hidup dengan penampilan akustik oleh Bengkel Seni Dewi Keadilan FH-UH.

 

 

Tidak ada komentar: