KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Opini : Dilarang Diskusi, Boleh Pungli




Mengarungi lautan diskusi adalah kegemaran saya. Di setiap percikan ombaknya, pembelajaran yang tak ternilai selalu menunggu di ujung pandangan. Setiap topik yang diperbincangkan, ibarat jendela yang membuka pemikiran mendalam, menambah wawasan, dan mengasah kepekaan terhadap berbagai sudut pandang. Meski ada yang sulit dipahami, tetaplah bermanfaat. Di tengah keberagaman pikiran ini, satu hal yang pasti: ketidaksepakatan tidak boleh meredam diskusi, apalagi sampai datang untuk membubarkan secara paksa.



Pertama, kita harus ingat, kita tidak punya kuasa atas pikiran orang lain. Setiap individu memiliki hak untuk berpendapat. Membatasi atau melarang diskusi hanya karena tidak sejalan dengan pemikiran kita adalah tindakan seorang tiran, mencuri hak orang untuk bersuara dan berpartisipasi dalam proses berpikir yang merdeka.



Kedua, pelarangan diskusi hanya menimbulkan ketidakpuasan dan kegelisahan. Pikiran-pikiran resah itu akan terus mencari jalan keluar, dan berpotensi meledak menjadi konflik atau ketegangan yang lebih besar di masa depan. Tetapi, mungkin itulah yang mereka inginkan. Sebuah ledakan yang bisa mereka manfaatkan untuk lebih mengontrol.



Ketiga, menggunakan kekuasaan untuk memadamkan diskusi hanya menimbulkan ketakutan dan intimidasi. Bukan membuka jalan bagi diskusi terbuka dan produktif, melainkan menumbuhkan sikap otoriter yang bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan berpendapat. Dan, ironisnya, mereka menamai diri mereka 'pemimpin', sementara mereka takut pada suara yang berbeda.



Menghentikan diskusi adalah tindakan seorang pemimpin yang lemah, seorang pengecut yang tidak tahan diuji oleh pemikiran yang berbeda. Seharusnya, tugas pemimpin adalah memfasilitasi dialog inklusif, mendukung kebebasan berpendapat, dan mendorong pertukaran ide yang bermanfaat bagi kemajuan masyarakat.



Mungkin para pemimpin itu akan mengatakan, "Saya tidak melarang kalian berdiskusi, tapi kalau mau berdiskusi harus minta izin dulu." Saya bilang itu cara licik untuk membunuh demokrasi, akal bulus untuk membatasi pembicaraan, menumpulkan daya kritis. Sekarang, jika saya ingin membahas isu ketenagakerjaan dan mengundang aliansi buruh, Anda sebagai pemimpin yang tak suka mungkin tak akan mengizinkan adanya diskusi tersebut. Jadi dengan kata lain, kita hanya boleh membicarakan dan berdiskusi dengan isu dan pembicara yang hanya disenangi pimpinan; tidak boleh jika tidak disenangi. "Boleh berdiskusi kalau saya suka diskusimu." Aturan seperti inilah yang menjadi preseden menular. Awalnya diskusi yang dibatasi, kemudian organisasi mungkin akan dibatasi, lalu bisa jadi kita dilarang berdiskusi sama sekali. Hal-hal ini tak pantas dimaklumi.



Namun, ada yang lebih memprihatinkan dari pelarangan diskusi: manipulasi aturan untuk mengamankan kepentingan pribadi. Mereka yang berkuasa merasa senang ketika bawahannya tidak berani berdiskusi, karena ini memungkinkan aturan mereka tidak dipertanyakan. Contohnya, bayangkan satu kampus diluar sana (kampus imajinasi), ada aturan yang mengharuskan mahasiswa membayar biaya yudisium tambahan yang seharusnya ditanggung oleh iuran UKT. Pemimpinnya menyusun prosedur yang kemudian ditandatangani bawahan, sehingga jika ada masalah, dia bisa menyangkal keterlibatannya. "Saya tidak pernah tanda tangan, yang tanda tangan WD II," begitu mungkin dalih yang akan mereka katakan.



Namun, kenyataannya, orang-orang yang gemar berdiskusi adalah mereka yang gelisah dengan ketidakadilan, seperti praktik pungli yang dilakukan. Mereka yang dibungkam akan melakukan pergerakan menuju perubahan, dan puncak dari diskusi adalah ketika perubahan itu terjadi. Pimpinan yang membiarkan praktik pungli akan dihadapkan pada mereka yang dilarang berdiskusi, dan ini adalah ancaman nyata bagi eksistensi kepemimpinan mereka.



Mari kita bayangkan lagi: sebuah kampus (Imanjinasi tentunya) di mana pembicaraan bebas dilarang, tetapi pungli diizinkan untuk berkembang. Sebuah dunia di mana gagasan-gagasan baru dipadamkan, tetapi biaya tambahan seenaknya saja diterapkan. Bagaimana mahasiswa bisa belajar dengan baik dalam lingkungan seperti itu? Apakah ini yang kita inginkan sebagai masyarakat yang menghargai pendidikan dan keadilan?



Kesimpulannya, ketika diskusi dilarang, pungli bisa bersemangat. Mari kita memilih untuk membuka pintu bagi pertukaran ide dan mencegah praktik yang merusak ini. Masyarakat yang cerdas dan beradab dibangun di atas diskusi yang bebas dan keadilan yang merata, bukan diktat dan pungli yang merugikan. 



Tidak ada komentar: