KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Editorial : Buruknya Gaya Komunikasi Pimpinan Fakultas



Pimpinan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin kini berada di bawah sorotan tajam akibat serangkaian peristiwa yang mengungkap lemahnya komunikasi antara birokrasi dan lembaga mahasiswa. Isu ini tidak hanya sekadar soal teknis, tetapi menyentuh inti dari bagaimana sebuah institusi pendidikan seharusnya berfungsi—dengan transparansi, profesionalisme, dan keterbukaan.


Rentetan peristiwa belakangan ini sayangnya menunjukkan hal yang sebaliknya. Pada 29 Mei 2024, dalam sebuah pertemuan di Gedung Rektorat yang membahas berbagai persoalan kampus, Rahman Kadir menjadi pusat perhatian ketika salah satu mahasiswa FEB secara langsung bertanya kepada rektor mengenai dugaan praktik pungutan liar di yudisium FEB.


Rahman Kadir membantah keterlibatannya, dengan menyatakan bahwa praktik tersebut telah dihentikan sejak dua tahun lalu. Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak menyetujui pungutan tersebut, karena yang menandatangani keputusan itu adalah Wakil Dekan II (WD II), bukan dirinya sebagai Dekan. Dalam pengakuannya yang terang-terangan, Rahman Kadir menyatakan bahwa praktik tersebut memang tergolong pungli.


Dekan seolah cuci tangan dan mengkambinghitamkan WD II, padahal dalam surat edaran yudisium berbayar tersebut WD II mewakili Dekan. Lebih lanjut, ketika dilakukan tim jurnalis media ekonomi melakukan pengecekan, praktik pungli tersebut ternyata masih berlangsung hingga yudisium periode Juli tahun ini. Pada periode tersebut, mahasiswa hanya diminta untuk memberikan surat persetujuan sumbangan, sebuah cara untuk memastikan praktik ini tetap berjalan lancar.


Beberapa hari setelah pertemuan di Gedung Rektorat, Mursalim Nohong, Wakil Dekan Kemahasiswaan, mendatangi beberapa pengurus lembaga di Student Center lantai dua untuk membahas hasil pertemuan tersebut. Mursalim menyatakan bahwa praktik yang dilakukan sebelumnya bukanlah pungli, karena, menurutnya, didasarkan pada hukum dan aturan yang berlaku. Pernyataan ini justru menimbulkan kebingungan di kalangan mahasiswa yang hadir, karena bertolak belakang dengan apa yang sebelumnya disampaikan oleh Dekan.


Namun, yang membuat situasi semakin tidak elok adalah ketika Mursalim menantang salah satu mahasiswa yang bertanya dalam pertemuan di Gedung Rektorat dengan mengatakan, “Mauko baku tes?” karena menganggapnya rewa’. Pernyataan semacam ini tentu tidak pantas diucapkan oleh seorang Wakil Dekan kepada mahasiswanya.


Puncak dari serangkaian permasalahan ini terjadi pada 10 juni 2024. Beberapa perwakilan lembaga menginisiasi untuk bertemu dengan Dekan untuk menyampaikan undangan dialog terbuka. Namun, tawaran dialog terbuka ini ditolak mentah-mentah, dan pertemuan tersebut berubah menjadi diskusi tertutup di ruangan Dekanat. Dalam pertemuan ini, Dekan sempat mengumpat salah satu perwakilan lembaga dengan bahasa yang tidak sopan, yang jelas melanggar kode etik dosen. Sikapnya yang frontal dan emosional sangat jauh dari harapan seorang pemimpin fakultas.


Cara Rahman Kadir menjawab pertanyaan mahasiswa seharusnya menjadi alarm peringatan bagi rektorat bahwa komunikasi interseksional antar kedua pihak sangat buruk. Namun, tampaknya Dekan FEB tersebut masih lolos dari konsekuensi atas tindakannya, dan hingga tulisan ini dibuat, belum ada permintaan maaf dari Dekan atas ucapannya tersebut.


Kemudian, pada 6 Agustus, terjadi pembongkaran sekretariat lembaga mahasiswa tanpa adanya koordinasi sebelumnya dari pihak Dekanat. Sekretariat yang penuh dengan barang berharga dibongkar secara tiba-tiba, sekat antar lembaga dicabut, dan barang-barang berserakan di mana-mana. Ketika salah satu pengurus mencoba menghubungi Mursalim Nohong melalui WhatsApp, jawabannya terkesan ketus: "Konfirmasi ke siapa? Siapa yang harus konfirmasi?" Seolah-olah melupakan bahwa sekretariat adalah hak lembaga fakultas. Tindakan ini menegaskan perlunya Wakil Dekan I, Mursalim Nohong, untuk mengevaluasi kembali pendekatan komunikasinya yang buruk.


Yang paling baru adalah ketika beberapa lembaga mahasiswa, termasuk senat, tidak dilibatkan oleh panitia PKKMB dalam rangkaian kegiatan atas permintaan Mursalim Nohong. Alasannya adalah bahwa pengurus masih dalam masa transisi dan tidak memiliki Surat Keterangan Kepengurusan (SK). Padahal, lembaga senat sudah memiliki SK kepengurusan. Beberapa pengurus lembaga mencurigai bahwa ini adalah intrik Mursalim untuk menjauhkan lembaga mahasiswa dari mahasiswa baru, dengan alasan yang sebenarnya bisa dijawab jika Mursalim berkomunikasi dengan pengurus lembaga.


Apa yang dilakukan oleh pimpinan fakultas, dengan sengaja memilih gaya komunikasi yang penuh jarak dan kekerasan kata, seharusnya menjadi renungan yang mendalam ke depannya. Pasalnya, gaya komunikasi semacam ini hanya akan merugikan mahasiswa, terutama mereka yang tergabung dalam lembaga mahasiswa, yang seharusnya didengar dan diberdayakan, bukan diabaikan.

1 komentar: