KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Opini : Runtuhnya Kelas Menengah Kita


Oleh : Arya Fadjar


Anda bisa bayangkan keseharian kelas menengah di negeri ini, yang setiap harinya, bukan hanya di Makassar, namun di seluruh pelosok Indonesia, harus menghadapi kemacetan jalan yang seakan tak pernah berakhir, berpanas-panasan di tengah hiruk-pikuk kota, dihantui ketakutan akan terlambat ke kantor, dan dilanda kejenuhan oleh tugas-tugas yang tak kunjung usai. Semua itu kemudian berakhir dalam masa tua yang tak begitu gemilang, hanya bertumpu pada pensiunan yang tak seberapa. Bila direnungkan, ini adalah gambaran hidup yang mengerikan.


Mungkin ada yang tak setuju, mungkin pula ada yang merasa bahwa ini adalah gambaran yang berlebihan. Namun, beginilah adanya bagi kelas menengah bawah di kota-kota kita, yang praktis tak memiliki banyak pilihan dalam hidupnya. Semua yang disebutkan di atas hanyalah rutinitas yang harus dijalani, sebab mereka sedang berjuang, hanya untuk bertahan hidup.


Kelas menengah bawah di negara kita, harus diakui, hidup tanpa kebebasan, tanpa "Freedom to Achieve" untuk memilih gaya hidup yang lain, kecuali yang ada di depan mata. Instrumen perlindungan sosial yang ada pun jauh dari memadai. Pemerintah seringkali menganggap mereka tidak berhak menerima bantuan sosial karena tidak termasuk dalam kategori miskin. Mereka juga sering kali tak memiliki akses terhadap beasiswa seperti Bidik Misi untuk menunjang pendidikan mereka, terutama di tengah biaya pendidikan yang terus meroket dan kecenderungan neoliberalisasi pendidikan yang kian nyata.


Mereka harus membayar BPJS sendiri karena tidak termasuk dalam penerima bantuan iuran. Fokus kebijakan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia, sering kali hanya tertuju pada kelompok miskin. Kelas menengah nyaris terabaikan dalam perhatian kebijakan, sehingga banyak dari mereka akhirnya mengalami penurunan kelas, jatuh ke kategori pendapatan yang lebih rendah.


Fenomena penurunan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia kini menjadi perbincangan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis datanya pada Agustus lalu. Angka-angka ini, yang tercetak dengan rapi dalam laporan BPS, membawa kita pada kenyataan pahit: proporsi kelas menengah pada 2024 turun menjadi 47,85 juta jiwa, melorot drastis dibandingkan masa prapandemi COVID-19 pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Inilah potret sebuah negara yang tak hanya sedang berjuang melawan pandemi, tetapi juga mencoba menjaga keseimbangan di tengah badai ekonomi yang tak kunjung reda.


Di sisi lain, jumlah kelas menengah rentan, atau yang sering disebut aspiring middle class, justru meningkat, dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024. Kenaikan ini bagaikan simbol harapan yang rapuh—kelompok yang berdiri di tepi jurang, satu langkah saja bisa membuat mereka jatuh ke dalam kemiskinan. Dan memang, angka kemiskinan juga menunjukkan kenaikan, meski tipis, menjadi 25,22 juta jiwa, dibandingkan 25,14 juta jiwa pada 2019. Ini mungkin hanya sepersekian persen, tapi di balik angka-angka itu, ada jutaan cerita tentang perjuangan, ketidakpastian, dan masa depan yang tak lagi terlihat jelas.


Data GDP riil dan GDP per kapita riil kita ini, sayangnya, tak jauh beda dari cermin buram yang memantulkan betapa suramnya nasib kelas menengah dan betapa sulitnya mencari pekerjaan yang layak di negeri ini. Sebelum krisis melanda, ekonomi kita tumbuh sekitar 5% per tahun. Itu angka yang cukup baik, cukup untuk menyerap tenaga kerja yang bertambah setiap tahun, sekitar 1-2%. Namun, ketika COVID datang, semua itu runtuh. Pertumbuhan ekonomi ambruk, dan tiba-tiba saja, banyak faktor produksi—modal dan tenaga kerja—yang menjadi nganggur, tak tahu arah, seperti perahu yang kehilangan haluan.


Setelah badai krisis berlalu, ekonomi perlahan bangkit lagi, pertumbuhan kembali positif, dan proses pemulihan pun dimulai. Namun, pemulihan itu punya banyak rupa. Ada yang cepat, di mana ekonomi bisa bangkit kembali, mencapai tingkat aktivitas seperti sedia kala, kapasitas produksi dan tenaga kerja kembali bekerja sebagaimana mestinya, seakan-akan tak pernah ada krisis. Bagi mereka yang di-PHK karena COVID, ada harapan untuk bisa bekerja kembali, sementara angkatan kerja yang baru (hasil dari pertumbuhan alamiah) pun seharusnya bisa terserap. Pada gambaran ini, kita berharap ekonomi bisa kembali atau setidaknya mendekati garis tren merah, yaitu tren dengan rata-rata pertumbuhan sebelum krisis. China, AS, dan Vietnam adalah contoh negara yang masuk kategori ini. 






Tanda-tandanya terlihat pada suatu periode (kuartal) di mana pertumbuhan ekonomi mengalami rebound yang cukup tinggi.


Tapi, ada juga pemulihan yang lambat, tertatih-tatih. Ekonomi mungkin tak sepenuhnya pulih, tak sepenuhnya mencapai potensinya. Investasi tak kunjung kembali, pola konsumsi berubah, dan kebijakan pemerintah kadang tak mendukung pemulihan yang cepat. Akibatnya, ekonomi tetap berjalan di bawah kapasitasnya, pengangguran tak kunjung turun, dan kelas menengah yang sudah berjuang susah payah malah semakin terjepit, makin jauh dari bayangan hidup yang lebih baik.


Indonesia adalah contoh pemulihan yang kedua. Ini adalah pemulihan yang tak diiringi dengan rebound yang memadai sehingga aktivitas ekonomi masih jauh dari kondisi potensialnya. Banyak faktor produksi yang tetap menganggur, termasuk tenaga kerja. Mereka yang kehilangan pekerjaan tak hanya menganggur, tapi juga, jika pun bekerja, seringkali dengan kualitas pekerjaan yang jauh lebih buruk dibandingkan sebelum COVID. Data tentang meningkatnya informalitas pekerjaan mendukung hal ini. Sampai saat ini, persentase pekerjaan informal hampir belum bergerak dari angka tahun 2020, mencerminkan kondisi yang belum juga membaik.





Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang telah kembali ke angka 5%, tetapi berbeda dari klaim yang sering disampaikan oleh pemerintah dan para jubirnya, ini tidak berarti bahwa ekonomi telah pulih atau baik-baik saja. Aktivitas ekonomi kita belum mendekati tren pra-COVID—garis merah yang seharusnya kita kejar.


Dua kondisi ini saling memperparah keadaan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang positif di angka 5%, namun, kedua, pertumbuhan upah riil yang belum juga pulih dan kembali ke level pra-COVID, malah menunjukkan pertumbuhan negatif.




Karena PDB adalah gabungan dari pendapatan pemilik modal (capital) dan tenaga kerja (labor), maka ketika data menunjukkan upah riil menurun, bisa dipastikan bahwa pendapatan modal (capital income) tumbuh lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi itu sendiri.


Profit atau pendapatan modal merupakan sumber utama pendapatan para elit, sementara upah atau gaji adalah sumber pendapatan mayoritas rakyat, termasuk kelas menengah. Jadi, ketika profit tumbuh dan upah riil justru merosot, jelas terlihat bagaimana kesenjangan semakin menganga, dan kelas menengah semakin terjepit dalam situasi yang kian sulit.


Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Hipotesis awal saya mengenai tergerusnya kelas menengah di negeri ini barangkali bisa kita temukan di kebijakan sosial kita saat COVID melanda. Bantuan sosial yang kita gelontorkan, dengan segala keterbatasan fiskal, sepenuhnya difokuskan pada kelompok miskin dan rentan miskin—dan itu memang bisa dimaklumi. Ketika ruang fiskal terbatas, wajar bila mereka yang paling lemah mendapat prioritas. Namun, ada hal lain yang terlewat, kelas menengah. Mereka yang mungkin tak terlihat di permukaan, tapi di belakang layar, merekalah yang menopang perekonomian.


Inilah yang menjelaskan dua hal yang tampak bertentangan: di satu sisi, tingkat kemiskinan kita terus menurun. Angka statistik menunjukkan perbaikan di sana. Tapi di sisi lain, proporsi kelas menengah kita malah menurun. Harusnya, kalau ekonomi tumbuh, kemiskinan turun dan kelas menengah bertambah. Namun yang terjadi, kelas menengah kita justru semakin tertekan, dan ini membawa dampak jangka panjang. Kelas menengah inilah yang selama ini menjadi penggerak daya beli, konsumen utama produk-produk non-makanan, seperti kendaraan, barang tahan lama, dan jasa hiburan. Ketika mereka tergerus, permintaan terhadap barang-barang tersebut ikut anjlok. Padahal, sebagian besar ekonomi kita bergantung pada permintaan ini.


Kalau dilihat dari sisi rumah tangga, dampaknya jelas. Namun, dari sisi usaha, dampaknya juga tak kalah berat. Sebagian besar kelas menengah bekerja di sektor formal, sekaligus menjadi konsumen terbesar sektor ini. Ketika kelas menengah melemah, sektor formal pun goyah. Dalam teori makro, kebijakan fiskal sebagai alat pengelola permintaan atau automatic stabilizer menjadi kurang efektif. Stimulus permintaan yang kita harapkan tidak cukup besar atau tidak cukup tepat sasaran untuk kelompok yang paling berperan dalam menjaga permintaan agregat.


Akibatnya, yang kita lihat sekarang adalah hysteresis atau efek luka ekonomi yang mendalam. Ini yang sudah diingatkan para ekonom saat pandemi COVID-19 melanda, dan sekarang kita sedang menyaksikan itu terjadi. Kondisi seperti ini kerap terjadi ketika perekonomian menghadapi resesi, tetapi stimulus yang diberikan terlalu kecil. Contohnya, krisis keuangan global 2008 di Amerika Serikat—masalahnya serupa. Stimulus fiskal yang diberikan saat itu terlalu kecil, dan hasilnya adalah hysteresis. Grafik trennya mirip dengan yang kita hadapi sekarang.




Maka tak heran, ketika resesi COVID-19 melanda, Amerika Serikat berani memberikan stimulus fiskal besar-besaran, hingga mencapai 5 triliun dolar AS. Mereka belajar dari kesalahan masa lalu agar tidak mengulang hysteresis. Sayangnya, perekonomian kita kini berada dalam situasi yang serupa dengan Amerika Serikat pasca krisis 2008, di mana scarring effect mulai dirasakan.


Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa kita tidak menggelontorkan stimulus fiskal yang lebih besar ketika COVID melanda? Kita tahu bahwa stimulus fiskal kita sebenarnya sudah cukup besar jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, meskipun jelas masih jauh jika dibandingkan dengan negara maju yang memiliki ruang fiskal lebih luas. Namun, masalahnya mungkin terletak pada satu hal: stimulus tersebut tampaknya belum cukup besar, atau mungkin kurang tepat sasaran, atau mungkin juga realisasinya tidak sesuai dengan rencana awal. Mungkin, ini adalah kombinasi dari semua faktor itu.


Satu hal yang perlu kita pahami adalah bahwa stimulus fiskal tidak datang tanpa biaya. Dalam pelajaran ekonomi dasar, kita diajarkan prinsip bahwa there is no such thing as free lunch—tidak ada makan siang yang gratis. Selama pandemi, pendapatan negara merosot drastis, sementara pengeluaran melonjak tak terkendali. Satu-satunya solusi saat itu adalah menambah utang. Namun, di sinilah dilema muncul. Jika kita memberikan stimulus yang lebih besar, tentu defisit anggaran akan semakin melebar. Kita terikat oleh undang-undang yang menetapkan batas defisit fiskal maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan rasio utang terhadap PDB maksimal 60%.


Apakah kita terlalu berhati-hati dalam situasi ini? Mungkin. Bisa jadi, kita seharusnya lebih berani untuk mengeluarkan lebih banyak, bahkan jika itu berarti menambah utang. Tetapi pertanyaannya, apakah kita siap untuk menghadapi konsekuensinya? Menambah utang lebih banyak berarti beban fiskal di masa depan akan semakin berat, dan itu akan menjadi warisan bagi generasi mendatang.







 

Tidak ada komentar: