Opini: Indonesia Sepatutnya Waspada Perangkap BRICS
Menteri Luar Negeri Sugiono baru-baru ini menyampaikan ketertarikan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS pada KTT kelompok tersebut di Kazan, Rusia. Sebagai negara dengan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia melihat pentingnya terlibat dalam berbagai forum global untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang, khususnya negara-negara Global Selatan. BRICS – yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan – merupakan salah satu kelompok internasional yang bertujuan memperjuangkan tatanan dunia yang lebih adil bagi negara-negara di luar Barat.
Namun, keanggotaan BRICS bagi Indonesia tidaklah sesederhana memperluas partisipasi internasional semata. Beberapa faktor perlu dipertimbangkan, termasuk kepentingan strategis kelompok ini yang terkait erat dengan politik internasional Rusia, relevansi BRICS bagi ekonomi Indonesia, serta posisi Indonesia dalam sistem keuangan global.
BRICS sering dianggap sebagai perimbangan terhadap pengaruh Barat dalam ekonomi dan politik dunia. Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyampaikan bahwa BRICS adalah bagian dari "perjuangan peradaban" dalam melawan dominasi aturan-aturan yang dianggap "dipaksakan oleh Barat." Dalam beberapa kesempatan, ia menyebut bahwa upaya Barat untuk memaksakan aturan tertentu hanya menghambat perkembangan negara-negara Global Selatan.
Namun, BRICS juga digunakan Rusia untuk mempertahankan citranya di hadapan negara-negara berkembang di tengah sanksi internasional akibat invasi ke Ukraina. Narasi Rusia ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dijunjung Indonesia, seperti penghormatan terhadap kedaulatan negara lain dan integritas wilayah. Pada tahun 2022, Indonesia bersama mayoritas anggota PBB mengutuk invasi Rusia. Oleh karena itu, keterlibatan Indonesia dalam BRICS mungkin akan membawa dilema tersendiri, terutama ketika narasi Rusia seolah-olah mewakili suara seluruh anggota BRICS, padahal tidak semua anggotanya memiliki sikap yang sama terhadap konflik tersebut.
BRICS memiliki tujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan mendorong kerja sama di antara negara-negara berkembang. Namun, hingga saat ini, kerangka ekonomi yang dihasilkan oleh BRICS belum terlihat konkret. Satu-satunya inisiatif ekonomi utama adalah pembentukan Bank Pembangunan Baru (NDB) pada tahun 2013, tetapi bank ini belum menghasilkan komitmen investasi besar bagi Indonesia. Pada tahun 2020, BRICS mengalokasikan $15 miliar untuk pemulihan ekonomi akibat COVID-19, tetapi kontribusi ini bersifat terbatas dan kurang menunjukkan relevansi jangka panjang bagi ekonomi Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia telah mendapatkan manfaat ekonomi yang signifikan melalui kerja sama bilateral dengan negara-negara BRICS. Misalnya, investasi melalui inisiatif Belt and Road Initiative dari China telah mengalir ke Indonesia dengan nilai lebih dari $7 miliar, mencakup pengembangan infrastruktur dan industri mineral. Kerja sama-kerja sama bilateral ini menunjukkan bahwa Indonesia mungkin lebih diuntungkan dengan tetap fokus pada perjanjian bilateral yang spesifik daripada bergabung dalam kerangka besar seperti BRICS, yang manfaatnya masih belum pasti.
Salah satu ambisi BRICS adalah mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, atau dedolarisasi, dengan menggunakan mata uang masing-masing negara anggota dalam perdagangan internasional. Bagi Indonesia, upaya ini sejalan dengan kebijakan yang telah dilakukan secara independen. Indonesia telah membuat perjanjian penggunaan mata uang lokal dengan China, Jepang, Thailand, dan Malaysia, serta mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan regional. Beberapa bank Indonesia bahkan telah bergabung dengan China International Payment System (CIPS), sistem pembayaran alternatif dari China.
Namun, langkah dedolarisasi di BRICS masih sangat terbatas. Walaupun Rusia secara retorik mendukung dedolarisasi, pada kenyataannya, dolar AS dan euro masih digunakan secara luas di bank-bank Rusia. Hal ini menunjukkan bahwa dedolarisasi di BRICS belum mencapai tahap operasional yang mendukung tujuan Indonesia. Oleh karena itu, dari sisi ini, BRICS mungkin tidak memberikan tambahan yang signifikan bagi agenda ekonomi Indonesia.
Jika tujuan Indonesia adalah memperkuat kepemimpinan di Global Selatan, ada alternatif lain yang lebih sesuai, seperti Gerakan Non-Blok (NAM). Gerakan ini memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang tanpa memihak blok manapun, sehingga bisa dianggap lebih sesuai dengan prinsip kebijakan luar negeri bebas-aktif Indonesia. Selain itu, NAM memiliki keanggotaan yang lebih luas dibandingkan BRICS, dan tidak terikat pada kepentingan geopolitik negara besar tertentu.
Indonesia dapat mempertimbangkan untuk memperkuat perannya di NAM dan organisasi internasional lainnya yang lebih representatif, daripada bergabung dengan BRICS yang secara politik berada dalam bayang-bayang Rusia dan China. Dengan cara ini, Indonesia bisa lebih bebas memperjuangkan agenda globalnya tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi, seperti kedaulatan nasional dan hak menentukan nasib sendiri.
Penulis : Arya Fadjar
Tidak ada komentar: