KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Menakar Proteksionisme Trump dan Dampaknya bagi Indonesia



Ketika Milton Friedman, ekonom peraih Nobel dari University of Chicago, mengatakan bahwa inflasi adalah "penyakit yang berbahaya bagi masyarakat," ia sebenarnya tengah memperingatkan kita. Seperti penyakit yang perlahan namun pasti menggerogoti tubuh, inflasi merusak daya beli, menggerus tabungan, dan pada akhirnya menimbulkan keresahan sosial yang meluas. Amerika Serikat adalah contoh nyata: sejak 2021, inflasi naik tajam, bahkan mencapai 8 persen pada 2023, dan beban ini masih dirasakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia, di mana kenaikan harga BBM sering kali membawa tekanan politik yang signifikan bagi pemerintah.


Ketidakpuasan ini menciptakan peluang bagi figur-figur populis seperti Donald Trump, yang berhasil membingkai inflasi sebagai bukti kegagalan pemerintah dan menarik dukungan publik. Namun, jika Trump kembali berkuasa, dampak kebijakannya bisa melampaui perbatasan AS, terutama melalui kebijakan proteksionismenya yang agresif.


Proteksionisme Trump: Ancaman Perdagangan dan Pemicu Inflasi Global

Salah satu janji Trump adalah memperketat tarif bea masuk barang impor. Trump bahkan menyebut tarif sebagai “kata paling indah dalam kamus”—dan ia serius tentang hal itu. Rencana penerapan bea masuk sebesar 10-20 persen untuk semua barang yang masuk ke AS, serta tarif lebih tinggi untuk produk tertentu dari China dan Meksiko, dapat memicu eskalasi perang dagang. Langkah ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan mengacaukan rantai pasok internasional.


Namun, ada ironi besar di sini: kebijakan proteksionisme yang dimaksudkan untuk mengatasi inflasi justru berpotensi memperparah inflasi di AS. Mengapa? Karena separuh lebih dari impor AS terdiri dari barang modal dan kebutuhan industri, yang penting bagi rantai produksi domestik. Beban tarif akan menaikkan biaya produksi, sehingga inflasi malah bisa meningkat. The Federal Reserve (The Fed) pun akan semakin sulit menurunkan suku bunga, karena inflasi yang terus bertahan di level tinggi. Ini tentu berdampak pada nilai tukar dolar yang bisa menguat, menekan berbagai mata uang negara lain, termasuk rupiah.


Dampak Langsung bagi Indonesia: Ekspor dan Diversifikasi Pasar

Indonesia mungkin lebih terlindungi dari dampak penurunan ekspor ke AS dibanding negara-negara seperti Singapura dan Vietnam, yang memiliki ketergantungan ekspor yang lebih tinggi terhadap produk domestik bruto (PDB). Meski demikian, Indonesia harus tetap waspada. Ada korelasi yang kuat antara ekspor China ke AS dengan ekspor nonmigas Indonesia ke China. Eskalasi perang dagang antara China dan AS bisa berakibat pada berkurangnya ekspor Indonesia ke China, yang saat ini merupakan mitra dagang utama.


Selain itu, dengan penerapan tarif baru oleh AS, ekspor Indonesia juga bisa terancam. Untuk mengantisipasi ini, Indonesia perlu memperluas pasar ekspornya ke negara-negara lain di Asia dan dunia. Di sisi lain, China mungkin akan mengalihkan sebagian besar ekspornya yang terhambat masuk ke AS ke negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia. Ini memberi tantangan sekaligus peluang: Indonesia perlu bersiap dengan kebijakan safeguard untuk melindungi industri dalam negeri dari potensi lonjakan barang murah yang masuk.


Perlambatan ekspor jelas akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Untuk menghadapi situasi ini, Indonesia harus menyiapkan kebijakan kontrasiklus fiskal dan moneter. Namun, ruang untuk menurunkan suku bunga cukup terbatas jika The Fed tidak menurunkan suku bunganya karena masih tingginya inflasi akibat proteksionisme AS. Jika Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga sementara The Fed tetap mempertahankan suku bunga tinggi, maka rupiah bisa tertekan, melemah terhadap dolar AS, dan ini bisa mengganggu stabilitas ekonomi.


Dalam konteks fiskal, Indonesia perlu meningkatkan kualitas belanja negara. Dengan menjaga defisit anggaran di bawah tiga persen, pemerintah harus memastikan bahwa setiap anggaran yang dikeluarkan memberikan efek pengganda yang besar bagi perekonomian. Anggaran ini perlu dialokasikan pada sektor-sektor yang mendukung kesejahteraan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.


Memanfaatkan Kesempatan Relokasi Produksi Global

Ketegangan perdagangan antara AS dan China sebenarnya membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi langsung asing (FDI), khususnya di sektor manufaktur yang berorientasi ekspor. Banyak perusahaan yang mulai merelokasi basis produksi mereka dari China ke Asia Tenggara untuk menghindari tarif AS. Bagi Indonesia, ini merupakan kesempatan emas untuk memperkuat sektor industri dengan investasi yang menghasilkan devisa dan memperbaiki neraca perdagangan tanpa tekanan besar pada stabilitas rupiah.


Namun, untuk menarik investasi ini, Indonesia perlu memperbaiki iklim usaha dan investasi. Ini bisa dilakukan dengan mengurangi kendala birokrasi, mempercepat perizinan, serta memberikan kepastian hukum yang lebih baik. Jika momentum ini dimanfaatkan dengan baik, investasi di sektor riil bisa menjadi salah satu kunci pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah tantangan global.


Kembalinya Trump ke Gedung Putih memang membawa serangkaian tantangan baru, seperti peningkatan proteksionisme, ketidakpastian kebijakan moneter, dan mundurnya komitmen AS terhadap perubahan iklim. Namun, situasi ini juga menawarkan peluang bagi Indonesia untuk menjadi mitra dagang yang lebih signifikan bagi negara-negara yang terdampak oleh proteksionisme AS.


Dalam situasi ekonomi global yang penuh tantangan ini, Indonesia perlu bergerak cepat. Di satu sisi, kita harus berupaya menjaga stabilitas dalam negeri dengan kebijakan yang bijak dan berfokus pada pertumbuhan inklusif. Di sisi lain, kita perlu agresif menarik peluang investasi dan meningkatkan daya saing di pasar internasional. Di bawah tekanan ekonomi global, ketahanan ekonomi Indonesia bergantung pada kemampuan kita memanfaatkan momentum dan menjadikan tantangan sebagai peluang.

Tidak ada komentar: