KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Editorial: Kita Semua Harus Khawatir dengan Kenaikan PPN



Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 adalah kebijakan yang layak kita pertanyakan. Kebijakan ini, yang diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dan memperbaiki tax ratio, tampaknya lebih merupakan langkah praktis jangka pendek dibandingkan solusi yang strategis dan berkelanjutan.


Dalam situasi ekonomi yang masih rapuh, kebijakan ini berisiko besar memperburuk kondisi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Kenaikan tarif PPN akan secara langsung menaikkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya menggerus daya beli masyarakat. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Pajak yang Tak Adil

PPN adalah jenis pajak yang bersifat regresif. Artinya, masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan beban pajak ini lebih berat dibandingkan masyarakat kaya. Kajian LPEM Universitas Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan PPN akan meningkatkan porsi pengeluaran pajak kelompok bawah hingga 0,91% dari pendapatan mereka, dibandingkan kelompok kaya yang hanya meningkat 0,84%.


Ketimpangan ini terjadi karena PPN dikenakan pada konsumsi barang dan jasa tanpa memandang tingkat pendapatan. Beban pajak terbesar justru ditanggung oleh mereka yang seluruh penghasilannya habis untuk kebutuhan pokok. Kenaikan PPN dalam kondisi seperti ini hanya akan memperlebar jurang ketimpangan ekonomi, terutama ketika kelompok kaya memiliki berbagai cara untuk menghindari pajak lain yang lebih progresif, seperti Pajak Penghasilan (PPh).


Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% beberapa tahun lalu seharusnya menjadi bahan evaluasi serius bagi pemerintah. Dampaknya terhadap penerimaan pajak ternyata tidak signifikan. Rendahnya tax ratio Indonesia, yang saat ini berada di kisaran 10%, bukan disebabkan oleh tarif pajak yang kurang tinggi, melainkan oleh lemahnya sistem perpajakan itu sendiri.


Sebagai perbandingan, Malaysia dan Thailand memiliki tarif PPN lebih rendah dari Indonesia, tetapi tax ratio mereka jauh lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa efektivitas pajak tidak hanya bergantung pada tarif, tetapi juga pada efisiensi administrasi, perluasan basis pajak, dan penegakan hukum yang lebih baik.


Pemerintah tampaknya terus mengandalkan PPN sebagai solusi praktis untuk menambah penerimaan negara, mengabaikan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Jika tren ini berlanjut, apakah tarif PPN akan terus dinaikkan menjadi 13% atau bahkan 15% di masa mendatang? Kebijakan seperti ini hanya menunjukkan kegagalan untuk mencari solusi yang lebih berkeadilan dan berjangka panjang.


Akar Masalah yang Belum Diselesaikan

Masalah utama dalam sistem perpajakan Indonesia adalah basis pajak yang terlalu sempit. Sebagian besar pelaku ekonomi berada di sektor informal yang sulit dijangkau oleh pajak. Dengan angka informalitas yang tinggi, tax ratio diperkirakan hanya dapat mencapai 14%, jauh dari target ambisius pemerintah sebesar 23%.


Sayangnya, pemerintah belum menunjukkan langkah konkret untuk memperluas basis pajak. Sektor informal terus tumbuh, terutama setelah gelombang PHK di sektor manufaktur. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan beralih menjadi pedagang kecil atau pengusaha mikro, yang sebenarnya lebih membutuhkan dukungan daripada dikenakan beban pajak tambahan.


Selain itu, tingginya korupsi dan kebocoran anggaran juga menjadi penghalang utama. Tanpa reformasi menyeluruh dalam pengelolaan pajak dan belanja negara, tambahan penerimaan dari kenaikan PPN hanya akan menjadi “lubang anggaran” baru yang tidak memberikan dampak berarti bagi kesejahteraan masyarakat.


Solusi yang Lebih Berkeadilan

Daripada terus menaikkan tarif PPN, pemerintah harus fokus pada reformasi struktural sistem perpajakan. Langkah pertama adalah memperbaiki administrasi perpajakan dengan memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Langkah kedua adalah memperluas basis pajak dengan memberdayakan sektor informal melalui kebijakan yang inklusif dan insentif yang mendukung pertumbuhan mereka.


Pemerintah juga perlu mengeksplorasi kebijakan pajak lain yang lebih adil dan progresif, seperti Pajak Warisan dan Pajak Kekayaan. Pajak-pajak ini menyasar mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar, bukan membebani kelompok masyarakat yang rentan.


Salah satu gagasan menarik yang bisa diadaptasi adalah penerapan pajak penghasilan berbasis konsumsi (consumption-based income tax). Sistem ini memungkinkan pemerintah untuk memungut pajak dari transaksi barang-barang kelas menengah-atas dengan tarif rendah, yang kemudian dihitung sebagai prabayar (prepaid tax) dalam laporan pajak tahunan. Selain lebih progresif, pendekatan ini juga dapat memperluas basis pajak tanpa harus membebani masyarakat kecil.


Kenaikan tarif PPN bukanlah solusi yang tepat untuk meningkatkan penerimaan negara. Kebijakan ini hanya akan memperburuk ketimpangan sosial dan menambah beban hidup masyarakat kecil. Sudah saatnya pemerintah berhenti mencari jalan pintas dan mulai membangun sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, progresif, dan berkelanjutan.


Sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila, keadilan sosial harus menjadi dasar dari setiap kebijakan fiskal. Pajak seharusnya menjadi alat untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat, bukan sumber penderitaan bagi mereka yang sudah hidup dalam keterbatasan. Kenaikan tarif PPN adalah kebijakan yang keliru dan harus segera dievaluasi.

Tidak ada komentar: