Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Hasanuddin, Farida Patittingi, harus segera menyadari bahwa ia telah gagal menjalankan tugasnya. Kepemimpinannya tak hanya mengecewakan, tetapi juga mencoreng misi utama Satgas PPKS sebagai garda terdepan dalam perlindungan korban kekerasan seksual. Jika Farida dan jajaran Satgas PPKS masih memiliki rasa hormat terhadap jabatan mereka, langkah terbaik yang bisa diambil adalah mundur. Universitas Hasanuddin membutuhkan Satgas yang benar-benar peduli pada korban, bukan yang permisif terhadap pelaku, apalagi ketika pelaku adalah pejabat kampus.
Dikeluarkannya rekomendasi pemecatan terhadap pelaku kekerasan seksual, Firman Saleh, oleh Satgas PPKS kepada rektor menunjukkan bahwa langkah ini sudah bisa diambil sejak awal. Namun, Satgas baru bertindak setelah kampus dipenuhi huru-hara demonstrasi dan isu tersebut mencuat ke publik, menjadi viral dan merusak reputasi alma mater di dunia maya.
Bukti nyata kegagalan Satgas PPKS terlihat pada perilaku salah satu anggotanya, QM, yang kini menjadi sorotan publik. Dalam percakapan yang beredar di media sosial, QM tidak hanya menunjukkan sikap abai terhadap kepentingan korban, tetapi juga menyalahkan korban karena berani mengungkap kasus pelecehan ke ranah publik. Sikap arogan ini semakin mencederai rasa keadilan, mengabaikan trauma yang dialami korban, dan mereduksi masalah serius ini seolah cukup diselesaikan dengan solusi psikologis semata.
Yang paling ironis, QM menyatakan bahwa pelaku, Firman Saleh, "lebih tersiksa" dengan sanksi skorsing dua semester dibandingkan korban yang harus menanggung trauma psikologis dan tekanan sosial. Pernyataan ini bukan hanya absurd, tetapi juga mencerminkan hilangnya empati. Logika dangkal ini semakin menegaskan betapa jauh Satgas PPKS dari tugas mulia mereka: melindungi korban dan menegakkan keadilan.
Korban yang melaporkan kasus pelecehan seksual juga mengungkapkan pengalaman intimidasi selama proses pelaporan ke Satgas PPKS. Dalam salah satu pertemuan, korban dihadapkan dengan pernyataan merendahkan seperti, "Anda berhalusinasi" dan "Anda perempuan tidak baik." Bahkan, pelaku yang baru saja pulang umrah disebut "tidak mungkin melakukan pelecehan." Tuduhan lain, termasuk narasi kehamilan di luar nikah, menjadi bentuk kekerasan kedua yang menambah luka korban.
Ironisnya, ini bukan kasus tunggal. Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), seorang kepala departemen dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap empat mahasiswi antara 2023 dan 2024. Meski laporan sudah diajukan sejak Juni 2024, hingga kini tidak ada tindakan tegas. Pelaku masih aktif mengajar, sementara korban terus menanggung trauma.
Universitas Hasanuddin kini menghadapi krisis moral. Lambannya penanganan kasus dan ketiadaan sanksi tegas menciptakan budaya impunitas yang meresahkan. Pesan yang tersirat jelas: pelaku kekerasan seksual dapat lolos dari konsekuensi selama mereka memiliki relasi kuasa. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi sivitas akademika, kini justru menjadi ladang subur bagi predator seksual.
Sikap permisif terhadap pelaku ini sangat berbahaya. Ia memberikan sinyal bahwa kekerasan seksual bukanlah kejahatan serius, melainkan pelanggaran administratif yang bisa diselesaikan dengan sanksi ringan. Narasi semacam ini membunuh harapan korban untuk mendapatkan keadilan dan mencoreng nama baik institusi. Saatnya untuk reformasi total Satgas PPKS, agar universitas ini bisa kembali menjadi tempat yang aman dan berkeadilan bagi semua.
Satgas PPKS Universitas Hasanuddin dalam bentuknya saat ini tidak lagi layak dipercaya. Farida Patittingi, sebagai pemimpin, memikul tanggung jawab penuh atas kegagalan ini. Jika ia tidak mundur, kepercayaan publik terhadap Satgas PPKS akan runtuh sepenuhnya. Reformasi total adalah satu-satunya jalan untuk memulihkan martabat lembaga ini. Langkah pertama adalah pembentukan Satgas baru yang beranggotakan individu-individu dengan integritas dan keberanian dalam memperjuangkan keadilan.
Hanya dengan perubahan nyata, kampus dapat kembali menjadi ruang aman yang menghormati martabat setiap anggotanya. Jika Satgas PPKS terus seperti ini, mereka tidak hanya memalukan, tetapi juga menjadi bagian dari masalah yang seharusnya mereka selesaikan.
Kami menyerukan kepada seluruh Civitas Acaedmica Universitas Hasanuddin dan masyarakat luas untuk tidak tinggal diam menghadapi krisis ini. Sudah saatnya kita bersuara lantang melawan budaya impunitas dan ketidakpedulian yang mengakar di institusi ini. Tunjukkan keberanian untuk menuntut keadilan, bukan hanya bagi para korban, tetapi juga demi menjaga integritas dan martabat kampus sebagai ruang pembelajaran yang aman dan inklusif.
Kita tidak bisa menoleransi ketidakadilan ini lebih lama lagi. Perubahan hanya akan terjadi jika kita bersatu, berdiri teguh, dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin kampus. Perjuangkan keadilan sekarang, atau kita akan terus hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan yang menodai masa depan kita semua.
Tidak ada komentar: