Editorial: Demi Kampus yang Aman, Pecat Firman Saleh!
Universitas Hasanuddin kembali diuji keseriusannya dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Firman Saleh, dosen Fakultas Ilmu Budaya yang terbukti melakukan pelecehan, hanya dijatuhi sanksi pencopotan jabatan dan skorsing dua semester. Keputusan ini jelas tidak mencerminkan sikap tegas yang diharapkan publik, terlebih dalam memastikan keamanan perempuan di lingkungan kampus.
Kasus ini bermula dari laporan kekerasan seksual pada 25 September 2024. Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Hasanuddin bergerak mengumpulkan bukti, termasuk rekaman kamera pengawas yang menguatkan laporan korban. Awalnya, pelaku membantah tuduhan, tetapi bukti tersebut membuatnya tidak berkutik. Rektor Universitas Hasanuddin, Jamaluddin Jompa, kemudian mengeluarkan dua surat keputusan. Surat pertama, tertanggal 8 November 2024, mencopot pelaku dari jabatan Ketua Gugus Penjaminan Mutu. Surat kedua, tertanggal 12 November 2024, menjatuhkan sanksi skorsing selama dua semester. Meski demikian, langkah ini dianggap jauh dari memadai, mengingat beratnya pelanggaran yang dilakukan dan dampak psikologis yang dirasakan korban.
Pelecehan seksual bukan sekadar pelanggaran etika; ini adalah ancaman nyata terhadap keamanan dan martabat seluruh civitas akademika. Sanksi ringan ini menunjukkan lemahnya keberpihakan Universitas terhadap korban serta ketidaktegasan dalam menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan seksual. Alih-alih menunjukkan empati dan komitmen terhadap keadilan, Satgas PPKS malah bersikap defensif di media sosial, tampak lebih sibuk mempertahankan citra institusi. Korban bahkan mengaku disudutkan oleh tudingan halusinasi yang dilontarkan seorang dosen saat pemanggilan kedua oleh Satgas.
Ironi semakin terlihat dalam dialog publik pada 22 November 2024. Ketua Satgas PPKS, Farida Patittingi, menyebut bahwa pemberian sanksi kepada pelaku adalah sanksi berat. Pernyataan ini langsung dibantah mahasiswa yang merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021. Aturan tersebut jelas mengklasifikasikan skorsing sebagai sanksi administratif sedang, berbeda dengan sanksi berat yang mencakup pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik. Inkonsistensi ini semakin menegaskan lemahnya pengawalan kasus ini dan memperburuk skeptisisme publik terhadap Satgas PPKS.
Seluruh sivitas akademika Universitas Hasanuddin seharusnya mendukung tuntutan transparansi dalam penanganan kasus ini. Publik berhak mengetahui isi rekomendasi sanksi yang diajukan Satgas kepada rektorat. Kejelasan ini penting tidak hanya untuk menjaga kredibilitas institusi, tetapi juga untuk mengembalikan marwah Satgas PPKS sebagai garda terdepan melawan kekerasan seksual di kampus.
Universitas lain dapat menjadi pelajaran. Di Universitas Indonesia, Satgas PPKS memilih mundur karena kecewa terhadap minimnya komitmen rektorat dalam menangani kasus serupa. Sikap tegas tersebut seharusnya menjadi cermin bagi Satgas PPKS Unhas, yang justru semakin kehilangan kepercayaan publik. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa Universitas Hasanuddin tidak mengambil langkah lebih berani untuk memberi keadilan kepada korban?
Jika Universitas Hasanuddin serius melindungi mahasiswa dan membangun rasa aman, maka langkah tegas tak bisa ditawar. Pecat Firman Saleh tanpa kompromi. Hanya melalui tindakan nyata seperti ini, universitas dapat memperbaiki citra, memastikan ruang akademik bebas dari kekerasan seksual, dan membangun kembali kepercayaan publik.
keren medkom, lanjutkan!
BalasHapus