KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Mimpi Industrialisasi: Belajar dari Soviet dan Cina



"Without heavy industry, we will not be able to build any industry."


Pernyataan di atas menjadi mantra Uni Soviet dalam usaha membangun perekonomian industrinya. Strategi Soviet, dengan tekad membangun dari pondasi terdalam ekonomi industri, berujung pada kegagalan tragis. Sebaliknya, Cina menempuh jalur berbeda: mereka mulai dari lapisan atas, dari konsumen, untuk kemudian perlahan membangun fondasi. Strategi ini menghasilkan transformasi ekonomi besar-besaran yang kini mendominasi panggung global. Pendekatan ini memberikan dua pilihan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Haruskah kita mengikuti jalan Soviet yang menaruh semua harapan pada sektor hulu, atau memilih pendekatan Cina yang pragmatis dan bertumpu pada sektor hilir yang langsung terhubung dengan pasar konsumen? Jawabannya lebih rumit daripada sekadar memilih salah satu.


Strategi industrialisasi Soviet dimulai dari sektor dasar: baja, petrokimia, dan mesin berat. Ide dasarnya adalah membangun industri dari fondasi untuk menciptakan landasan kokoh bagi pembangunan sektor lainnya. Tetapi dalam praktiknya, hal ini terbentur oleh berbagai kendala. Pertama, industri hulu adalah sektor yang sangat intensif modal. Infrastruktur besar diperlukan, teknologi harus diimpor, dan pelatihan tenaga kerja membutuhkan waktu serta biaya. Kedua, sektor ini sangat tergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dalam banyak kasus tidak dimiliki oleh negara berkembang. Ketiga, pasar untuk produk hulu seperti baja atau bahan kimia sangat kecil dan rentan terhadap fluktuasi harga global. Akibatnya, Soviet gagal menciptakan surplus ekonomi yang cukup untuk menopang pembangunan sektor lainnya. Mereka terjebak dalam siklus investasi tanpa hasil yang jelas, hingga akhirnya ekonomi mereka runtuh.


Sebaliknya, Cina mengambil pendekatan yang lebih pragmatis. Mereka memulai industrialisasinya dari sektor hilir, berfokus pada barang konsumsi seperti mainan, pakaian, dan elektronik murah. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Barang konsumsi memiliki pasar yang besar dan stabil karena langsung memenuhi kebutuhan konsumen. Dibandingkan dengan industri berat atau petrokimia, sektor ini membutuhkan investasi awal yang lebih rendah dan tenaga kerja dengan keterampilan dasar. Inilah mengapa Cina, pada tahap awal, mampu memanfaatkan surplus tenaga kerja yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Barang-barang murah ini tidak hanya memenuhi pasar domestik tetapi juga diekspor, menciptakan arus devisa yang besar. Dengan keuntungan tersebut, Cina perlahan mulai menginvestasikan kembali modal ke sektor yang lebih kompleks, seperti baja, petrokimia, dan teknologi tinggi. Inilah langkah strategis yang memungkinkan mereka mendominasi sektor seperti elektronik melalui Huawei, kendaraan listrik melalui BYD, dan baterai melalui CATL.


Lalu bagaimana dengan Indonesia? Jika kita melihat arah kebijakan yang diambil, Indonesia tampaknya lebih condong pada pendekatan Soviet. Fokus besar pada hilirisasi berbasis komoditas menunjukkan bahwa pemerintah ingin membangun fondasi industri dari sektor hulu. Hilirisasi memang terlihat menarik karena menambah nilai pada ekspor bahan mentah, tetapi ada masalah mendasar yang sering terabaikan. Pertama, hilirisasi berbasis komoditas membutuhkan modal besar. Pembangunan smelter nikel, misalnya, menelan investasi miliaran dolar AS. Industri ini padat modal tetapi minim tenaga kerja, sehingga kontribusinya terhadap penciptaan lapangan kerja sangat terbatas. Kedua, pasar untuk produk hilirisasi komoditas sangat tergantung pada permintaan global, terutama dari Cina. Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap guncangan ekonomi di negara tersebut. Ketiga, kebijakan ini mengorbankan sektor hilir yang sudah ada, seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik. Sektor-sektor ini, yang tumbuh pesat pada 1990-an, kini terpinggirkan karena kurangnya dukungan dan tekanan dari produk impor murah.


Hal ini membawa kita pada dilema besar. Jika fokus terlalu berat pada hilirisasi komoditas, kita mungkin kehilangan potensi besar dari sektor hilir yang mampu menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan nilai tambah. Dalam konteks rantai pasok global, produsen bahan mentah mendapatkan bagian paling kecil dari nilai tambah. Sebagian besar nilai justru diraup oleh sektor hilir, terutama retailer dan merek. Contohnya, lebih dari separuh nilai tambah dalam rantai pasok tekstil berasal dari retail, bukan dari produksi bahan mentah. Kebijakan yang terlalu fokus pada hilirisasi komoditas tanpa mendukung sektor hilir hanya akan meningkatkan risiko ekonomi tanpa memberikan imbal hasil yang memadai. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperbesar ketergantungan ekonomi Indonesia pada fluktuasi harga global dan memperlebar ketimpangan ekonomi domestik.


Indonesia seharusnya mengambil pelajaran dari Cina. Pendekatan pragmatis dengan berfokus pada sektor hilir dapat menjadi strategi yang lebih efektif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memberikan dukungan lebih besar kepada industri tekstil, alas kaki, dan elektronik yang memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah. Selain itu, pengembangan merek dan desain lokal harus menjadi prioritas. Dengan cara ini, Indonesia tidak hanya menjadi produsen barang murah tetapi juga pemain utama di pasar global.


Untuk mendukung strategi ini, diversifikasi pasar menjadi langkah penting. Ketergantungan pada pasar tunggal seperti Cina harus dikurangi dengan membuka akses ke pasar lain, termasuk Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin. Pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan. Ini tidak hanya akan meningkatkan produktivitas tetapi juga menciptakan tenaga kerja yang siap menghadapi tantangan industri masa depan. Selain itu, konsistensi kebijakan sangat penting. Investasi di sektor hilir membutuhkan kepastian jangka panjang, dan pemerintah harus memastikan bahwa insentif yang diberikan stabil dan transparan.


Pada akhirnya, pilihan kebijakan hari ini akan menentukan masa depan Indonesia. Apakah kita akan terjebak dalam jebakan Soviet, atau melangkah maju seperti Cina? Dengan memahami pelajaran dari sejarah dan realitas pasar global, kita dapat memilih jalan yang membawa kita menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif, penciptaan lapangan kerja yang luas, dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Tidak ada komentar: