KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

OPINI : Gelapnya Rezim Omon-Omon


 

 

Oleh: Arya Fadjar



Program efisiensi ala Prabowo Subianto, yang digaungkan sebagai langkah penghematan demi kesejahteraan rakyat, justru menuai pembangkangan di kalangan birokrat dan pejabat. Resistensi ini bukan tanpa alasan. Ada lima faktor utama yang menjadi akar masalah: legitimasi kekuasaan yang rendah, efisiensi yang tebang pilih, skala prioritas yang kacau, ketiadaan teladan dari pemimpin, dan kredibilitas yang dipertanyakan.

 

 

Pertama, legitimasi kekuasaan Prabowo diragukan karena kualitas Pilpres 2024 yang buruk. Proses demokrasi yang tidak sehat menciptakan pemerintahan yang lemah secara moral dan politik. Kedua, program efisiensi yang diusung terkesan tebang pilih. Alih-alih memangkas anggaran yang tidak produktif, justru sektor-sektor vital yang menjadi korban. Ketiga, skala prioritas yang kacau membuat program ini terlihat seperti kebijakan yang tidak terarah. Keempat, Prabowo sendiri tidak memberikan teladan yang baik. Kabinetnya yang gemuk dan boros justru menjadi contoh buruk bagi birokrasi. Kelima, kredibilitas Prabowo dalam memberantas korupsi dipertanyakan. Bagaimana bisa program efisiensi berjalan jika korupsi masih merajalela?

 

 

Di antara para pejabat yang membangkang, tentu ada para pemburu rente, makelar pengadaan, dan lintah darat yang selama ini menghisap uang rakyat. Namun, resistensi ini juga mencerminkan ketidakpercayaan terhadap integritas pemimpin. Di Amerika Serikat, pemangkasan anggaran ala Trump bahkan menyasar Pentagon, lembaga yang selama ini dianggap sakral. Namun, di Indonesia, justru "alat gebuk" seperti TNI dan Polri yang tidak tersentuh. Ini menunjukkan bahwa program efisiensi Prabowo lebih bersifat politis daripada substantif.

 

 

Bagi yang masih percaya bahwa program efisiensi ini adalah cara Prabowo mencegah korupsi dan inefisiensi, ada baiknya menyimak fakta-fakta berikut. Pertama, Prabowo sendiri pernah mengusulkan agar koruptor dimaafkan asalkan uangnya dikembalikan. Kedua, anggaran untuk DPR, TNI, Polri, Kejagung, dan KPK tidak dipangkas. Apakah ini berarti lembaga-lembaga tersebut bebas dari korupsi?

 

 

Dalam konteks ini, kita teringat pada novel Animal Farm karya George Orwell. Di sana, para babi berkuasa atas hewan-hewan lain di Peternakan Manor. Agar hewan-hewan itu tunduk, para babi menggunakan anjing-anjing sebagai centeng. Demi efisiensi, jatah makanan hewan dikurangi, kecuali untuk para babi dan anjing. Situasi ini mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia. Prabowo, seperti para babi di Animal Farm, tidak memiliki integritas dan posisi moral untuk bicara tentang efisiensi. Kabinetnya yang gemuk dan penuh dengan jabatan-jabatan tidak jelas menunjukkan bahwa program efisiensi ini hanyalah ilusi.

 

 

Narasi "penghematan demi rakyat" semakin tidak nyambung dengan tindakan nyata. Alih-alih memanfaatkan atau meningkatkan SDM yang ada, pemerintah justru menambah beban anggaran dengan mengangkat orang-orang seperti Deddy Corbuzier, yang tidak jelas kontribusinya bagi negara. Program makan gratis, yang dianggarkan sebesar 70 triliun, seolah menjadi tameng untuk menutupi alokasi dana terbesar untuk Danantara, yang mencapai 325 triliun.


Danantara adalah lembaga yang nantinya berfungsi sebagai badan pengelola investasi yang mengemban tanggung jawab besar dalam mengelola modal dan aset yang dimiliki negara. Dalam pidatonya di acara World Government Summit, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa aset yang akan dikelola Danantara tidak main-main, yakni sekitar 900 miliar dolar AS. Jika dikonversi, nilai tersebut setara dengan Rp 14.647,5 triliun.

 

 

Kekhawatiran terbesar adalah Danantara ini memiliki ambisi seperti Temasek, tapi nasibnya bisa seperti 1MDB, skandal korupsi terbesar di Malaysia. Skandal 1MDB terungkap pada tahun 2015 ketika investigasi oleh beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Singapura, dan Swiss, mengungkap bahwa terdapat dana yang dikelola 1MDB yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi sejumlah pejabat tinggi Malaysia dan kroninya. Kerugian yang ditimbulkan mencapai $4,5 miliar atau setara dengan sekitar Rp 70 triliun.

 

 

Trik semacam ini bukan hal baru. Jokowi pernah menggunakan narasi "Cipta Kerja" untuk meloloskan UU yang memperkuat oligarki dan konglomerasi. Alih-alih menciptakan lapangan kerja, UU ini justru memicu gelombang PHK besar-besaran. Kini, dengan Danantara, kita dihadapkan pada potensi "kapitalisme terpimpin" yang berujung pada "fraud terpimpin". Danantara, yang dibiayai oleh aset negara, dikawal oleh mantan presiden, dan kebal dari audit BPK dan KPK, berpotensi menjadi skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.

 

 

Danantara adalah perampokan negara yang dilegalkan. Megaproyek ini dibiayai oleh aset negara, sementara mantan presiden menjadi pengawasnya. Ini bukan lagi sekadar dinasti politik, melainkan kartel pemerintahan yang kebal hukum dan minim pengawasan. Jika Danantara gagal, yang akan menanggung dampaknya adalah ekonomi nasional secara keseluruhan. Sentralisasi aset seperti ini penuh risiko, apalagi tanpa mekanisme oversight yang jelas.

 

 

Dengan kewenangan dan privilege hukum yang istimewa, Danantara berpotensi menjadi skandal keuangan terbesar setelah BLBI, bahkan menyaingi kasus 1MDB di Malaysia. Aparat dan pemerintahan yang korup hanya akan memperburuk situasi.

 

 

Kita sebagai rakyat harus sadar bahwa musuh terbesar kita bukan lagi rezim yang buruk, melainkan "kartel kekuasaan" yang menggunakan legitimasi negara untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Mereka memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang terus dibodohi oleh narasi-narasi kosong.

 

 

Efisiensi ala Prabowo bukanlah solusi, melainkan ilusi kekuasaan yang hanya akan memperdalam ketimpangan dan korupsi. Sudah saatnya kita bangkit dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin kita. Jika tidak, kita hanya akan menjadi hewan-hewan di Peternakan Manor, yang terus dikorbankan demi kepentingan segelintir babi dan anjing.

 

 

Tidak ada komentar: