Seni, jurnalisme, dan suara rakyat adalah napas
demokrasi. Namun, belakangan ini, napas itu kian tersengal oleh tangan-tangan
yang gemar membungkam. Dari pameran lukisan Yos Suprapto yang dibredel karena
dianggap “mengkritik” mantan presiden, lagu punk yang dipaksa klarifikasi,
hingga jurnalis asing yang dicekal saat hendak meliput aksi #IndonesiaGelap,
kita sedang menyaksikan pola sistematis: pembatasan ruang ekspresi dan
pengerdilan hak sipil atas dalih “stabilitas”. Rezim ini, yang belum genap
sebulan berkuasa, sudah menunjukkan taring otoritariannya. Dan ini baru permulaan.
Yos Suprapto, seniman
yang pamerannya ditutup paksa, bukanlah korban satu-satunya. Pada 20 Februari
kemarin, band punk yang mengkritik polisi dalam lirik lagu mereka dipaksa
"klarifikasi" layaknya terdakwa. . Di Papua,
pembatasan jurnalis telah berlangsung bertahun-tahun. Di Sorong, jurnalis asing
dideportasi hanya karena ingin meliput konflik agraria. Kini, di bawah rezim
baru, skenario serupa diulang: jurnalis asing ditahan saat hendak meliput aksi
#IndonesiaGelap.
Ini bukan sekadar insiden sporadis, melainkan pola
yang terang-benderang. Seni dan jurnalisme selalu menjadi sasaran pertama
rezim yang takut pada kritik. Ketika karya Sukatani dibredel hari ini,
siapa yang bisa menjamin karya Anda besok tidak akan mengalami nasib serupa?
Rezim ini tak hanya membungkam, tapi juga mengarang
narasi. Protes Rempang dituduh “ditunggangi asing”. Perlawanan rakyat Papua
dicap “didikung Australia”. Aksi #IndonesiaGelap dianggap “tak organik” hanya
karena diliput media internasional. Ini adalah playbook basi yang didaur
ulang: stigmatisasi untuk mengalihkan isu dari substansi.
Ironisnya, para buzzer dan pendukung rezim kerap
berasumsi bahwa rakyat turun ke jalan hanya karena “dibayar”. Seolah nurani dan
kejengahan rakyat terhadap ketidakadilan tak pernah ada. Mereka lupa bahwa
kemiskinan, perampasan tanah, dan kekerasan struktural adalah pemicu nyata.
Tapi bagi rezim yang paranoid, semua perlawanan harus dikerdilkan sebagai
“konspirasi”.
Sementara itu, revisi UU TNI yang digodok DPR
periode akhir ini patut diwaspadai. Rancangan revisi itu berpotensi melebarkan
kran militerisasi sektor sipil. Bulog, yang kini sudah dipimpin perwira aktif,
hanyalah puncak gunung es. Jika revisi ini lolos, jabatan-jabatan strategis di
lembaga sipil—mulai dari pangan, energi, hingga logistik—bisa diambil alih TNI.
Padahal, rekam jejak TNI dalam urusan sipil sudah
jelas: gagal total. Proyek food estate di Kalimantan Tengah, yang
digadang-gadang sebagai lumbung pangan nasional, berakhir menjadi lahan
terlantar. Kini, mereka hendak mengurus beras dan program makan gratis? Logika
apa yang dipakai?
Pasal 47 ayat 2 UU TNI memang memperbolehkan
prajurit aktif menduduki jabatan di lembaga terkait pertahanan dan keamanan.
Namun, rezim ini memelintirnya dengan tafsir sepihak: “pangan adalah urusan
pertahanan”. Jika dalih ini diterima, apa bedanya dengan Orde Baru yang
mengkategorikan semua hal sebagai “urusan stabilitas”?
Jika pangan bisa diklaim sebagai sektor pertahanan,
maka logika yang sama bisa dipaksakan untuk air minum, listrik, BBM, hingga
internet. CEO Aqua atau Telkomsel pun suatu hari bisa digantikan jenderal
aktif. Bisa dibayangkan: setiap bendungan atau menara BTS akan diawasi tentara
dengan alasan “strategis”.
Tapi benarkah ini tentang pertahanan? Atau sekadar
akal-akalan untuk menempatkan perwira “non-job” ke posisi mentereng? Daripada
memperpanjang usia jabatan militer, lebih baik batasi rekrutmen atau perpendek
masa pensiun. Tapi rezim ini memilih jalur instan: obral jabatan sipil untuk
TNI.
Di Indonesia, perbedaan ideologi kiri-kanan hanya
bertemu di dua tempat: penjara atau kuburan. Gerakan tani, buruh, atau
lingkungan selalu dihadapkan pada tiga musuh klasik: polisi, tentara, atau
ormas (baca: preman). Organisasi tani seperti HKTI pun sudah lama jadi
“kandang” jenderal. Hasilnya? Nasib petani tetap terpuruk.
Rezim ini mengklaim ingin memajukan pangan, tapi
justru menyerahkan kendali pada pihak yang tak paham akar persoalan. Alih-alih
memperkuat kelembagaan sipil, mereka malah memilih pendekatan militeristik.
Padahal, urusan pangan butuh kebijakan berbasis data, partisipasi petani, dan
transparansi—bukan seragam loreng.
Demokrasi tidak mati dalam sehari. Ia pelan-pelan
dikikis melalui revisi UU bermasalah, normalisasi kekerasan, dan pembisuan
suara kritis. Jika hari ini kita diam, besok mungkin giliran hak kita yang
dicabut.
Pertama, desak DPR menghentikan pembahasan revisi
UU TNI yang sarat kepentingan kotor. Kedua, lawan segala upaya kriminalisasi
kebebasan berekspresi. ketiga, dukung gerakan masyarakat sipil yang konsisten
mengawal ruang demokrasi.
Sejarah membuktikan: rezim otoriter hanya takut
pada satu hal: rakyat yang bersatu dan bersuara lantang. Jangan biarkan Orde (Paling) Baru
mengubur mimpi reformasi.
Di ujung kegelapan, selalu ada nyala. Tapi nyala
itu harus terus dipupuk. Jika hari ini kita membiarkan seni dibungkam, militer
menguasai pangan, dan jurnalis dibungkam, esok kita akan bangun dalam negara
yang asing: tempat kebenaran dianggap makar, dan kekuasaan menggilas nurani.
Selamat datang di Orde (Paling) Baru? Tidak. Mari
katakan: “Cukup!”
Media Ekonomi, 21 Februari 2025
Catatan
Redaksi:
Editorial ini ditulis sebagai respons terhadap tren pengerdilan ruang demokrasi
dan militerisasi sektor sipil yang kian masif. Media Ekonomi mendorong publik
untuk kritis dan aktif mengawal proses revisi UU TNI serta kebijakan lain yang
berpotensi mengancam hak konstitusional warga negara.
Tidak ada komentar: