KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Islam Rahmatan Lil Alamin: Tersesat di Tengah Rezim Destruktif?

 


“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, tetapi berdoalah kepada-Nya dengan penuh harap dan takut. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raf: 56)

Agama bukan sekadar hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya, melainkan juga hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya dan dengan alam tempat tinggalnya. Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga relasi harmonis antara manusia dan alam semesta. Ironisnya, belakangan ini alam tidak lagi dipandang sebagai ekosistem yang hidup, melainkan sekadar sumber keuntungan bagi manusia.

Dalam sebuah acara talkshow di televisi pada Sabtu, 14/Juni/2025, masyarakat dikejutkan oleh pernyataan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU), KH Ulil Abshar. Ia menyatakan, “Mengapa Anda begitu peduli untuk mengembalikan ekosistem yang awal?”

Pernyataan ini dilontarkan sebagai tindak terhadap pembicara dari Greenpeace yang mengkritik eksploitasi alam di Raja Ampat. Padahal, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, menegaskan pentingnya menjaga lingkungan demi kemaslahatan dan rahmat di bumi. Hal ini ditegaskan dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an, dimana menjaga kelestarian ciptaan Allah termasuk ibadah yang di cintai dan mendatangkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pernyataan ini menjadi kontradiktif, terutama karena disampaikan oleh tokoh penting dari Nahdatul Ulama (NU), organisasi yang juga menerbitkan artikel di situs resmi nuonline.or.id yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan. Artikel tersebut menyatakan, “Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah menegaskan kepada umatnya untuk senantiasa menjaga lingkungan untuk kemaslahatan dan rahmat di bumi.” Kontradiksi ini menunjukkan betapa tumpulnya suara tokoh agama ketika berhadapan dengan kekuasaan dan kekayaan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia sebanyak 245.775.401 jiwa atau sekitar 87,2% dari total penduduk menghadapi realitas pahit. Umat Islam kerap terlihat apatis terhadap rezim penguasa yang destruktif. Kerusakan alam, seperti penambangan di berbagai daerah. Konflik agraria di Pulau Lae-Lae, hingga eksploitasi di Raja Ampat yang sedang hangat diperbincangkan menjadi bukti nyata. Sebagai umat Islam, kita patut merenung dimana peran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin di tengah kerusakan ini.

Sejak dulu, ulama dikenal sebagai pihak yang lantang menentang penguasa zalim. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011; hasan menurut Al-Hafizh Abu Thahir).

Namun, kini banyak tokoh agama dan Institusi keagamaan di Indonesia terkesan bisu menghadapi permasalahan umat. Mereka sibuk membahas surga dan neraka atau berlomba menjadi institusi keagamaan terbaik, tanpa peduli pada realitas kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat akibatnya. Padahal, nurani dan akal sehat saja sudah cukup untuk menolak perusakan alam, tanpa harus menunggu dalil agama. Banyak umat Islam hari ini rajin mengikuti kajian rutin, mempelajari Al-Qur’an dan hadis, namun jarang yang berani bersuara lantang menghadapi kezaliman, baik di tingkat pemerintahan maupun di lingkungan kecil seperti kampus.

Apakah ini mencerminkan Islam yang menggaungkan kekuasaan tertinggi hanya milik Allah? Mengapa umat justru tunduk pada kezaliman? Para kiai dan ustaz seharusnya berhenti membahas surga dan neraka ketika umat sedang kehilangan ruang hidup akibat keserakahan penguasa. Menjaga kelestarian alam sebagai titipan Tuhan jauh lebih mendesak daripada wacana akhirat semata.

Boleh jadi surga dan neraka adalah tujuan akhir, tetapi bagaimana dengan tempat tinggal kita saat ini? Apakah umat Islam boleh abai hanya karena dunia dianggap fana? Bukankah Islam sebagai rahmatan lil alamin mencakup kehidupan hewan, tumbuhan, dan ekosistem? Mengapa kita diam ketika rezim penguasa jelas-jelas merusak alam dan menindas manusia di dalamnya?

Banyaknya partai politik berlabel “Islam” atau pesantren yang bermunculan belakangan ini tidak mencerminkan keberpihakan umat Islam terhadap permasalahan bangsa. Mereka cenderung mengurung diri pada pembahasan akhirat dan menghindari isu politik atau pemerintahan. Padahal, Islam tidak pernah terpisah dari urusan negara. Banyak dalil yang mengatur bagaimana seorang pemimpin harus bersikap. Dikotomi ini hanya menjadikan Islam tampak konservatif, yang pada akhirnya menyebabkan degradasi moral dan sosial umat.

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Bukan pasrah dengan dalih takdir, tetapi percaya bahwa perubahan hanya terjadi melalui usaha. Sepanjang sejarah, tokoh-tokoh besar Islam telah melawan kezaliman penguasa. Umat Islam hari ini pun mampu melakukan hal serupa, mulai dari menyuarakan kebenaran. Sekecil apa pun perlawanan terhadap penguasa zalim, itu tetap perlawanan. Dan siapa tahu, dari langkah kecil ini, perubahan besar akan tercipta di masa depan.


Muh. Khofid Nailul

Tidak ada komentar: