Pihak kampus menyebut langkah ini sebagai upaya mencari sumber pendapatan alternatif, sesuai dengan statusnya sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).
“Ini adalah strategi untuk meningkatkan pendapatan kampus tanpa menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT),” ujar Kepala Humas Unhas, Ishaq Rahman, dikutip dari IDN Times Sulsel (18/04/2025).
Secara konseptual, keputusan ini bisa dibaca sebagai bentuk diversifikasi pendapatan. Alih-alih bergantung pada satu sumber yakni UKT, institusi mulai memperluas basis pendanaan untuk mengurangi risiko fiskal.
Namun, masalah tersebut tidak sesederhana itu. Faktanya, UKT di Unhas masih tinggi. Belum terlihat adanya pengaruh nyata terhadap penurunan beban biaya mahasiswa. Di titik inilah pertanyaan kritis muncul: apakah akuisisi bank ini betul-betul demi kepentingan pendidikan, atau hanya strategi ekspansi manajerial dalam balutan jargon “inovasi”?
Kampus adalah investasi publik dengan eksternalitas yang besar. Produktivitas tenaga kerja, mobilitas sosial, hingga pengurangan ketimpangan adalah contohnya. Maka, pendekatan yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas atau sarana kapitalisasi aset perlu ditinjau ulang.
Dalam pendekatan neoliberal yang memengaruhi banyak kebijakan pendidikan tinggi sejak era 1990-an, otonomi kampus sering diartikan sebagai kebebasan institusi untuk mencari dana sendiri, membentuk unit usaha, hingga seperti sekarang mendirikan bank. “Ketika kampus lebih sibuk membangun bank daripada membenahi kualitas layanan akademik, maka kita mulai kehilangan arah dari cita-cita pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar salah satu aktivis pendidikan yang enggan disebutkan namanya.
Mahasiswa pun makin diposisikan sebagai konsumen. Public Choice Theory, menyatakan kebijakan akuisisi bank bisa saja lebih mencerminkan kepentingan manajemen atau elite kampus daripada kepentingan sivitas akademika secara luas. Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi mahasiswa dalam proses ini, maka langkah ini justru bisa menimbulkan apa yang disebut sebagai institutional capture di mana institusi publik melayani kepentingan internal, bukan publik.
Kampus bukan korporasi. Mahasiswa bukan pelanggan. Jika pendidikan tinggi terus diarahkan pada model profit-maximizing entity, maka nilai-nilai keilmuan akan tergusur oleh logika laba.
Unhas mungkin sedang mengambil langkah "berani", tapi pertanyaannya bukan hanya soal “bisa atau tidak”, melainkan: untuk siapa?
Tidak ada komentar: