KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Konservatif Muslim Harus Sadar Bahwa Isu Palestina Bukan Isu Agama

 Oleh : arya fadjar 


Perdebatan tentang Palestina di Indonesia seringkali terjebak pada reduksi yang berbahaya: konflik ini dipersepsikan sebagai pertarungan iman, "umat melawan umat", Islam melawan Yahudi. Narasi semacam itu dipelihara oleh sebagian kalangan konservatif Muslim yang dengan lantang menuding Israel sebagai musuh agama, sambil menempatkan pembelaan terhadap Palestina semata-mata sebagai kewajiban iman. Padahal, kebenarannya lebih telanjang dari itu: isu Palestina bukanlah persoalan agama, melainkan isu kemanusiaan universal, supremasi hukum internasional, dan perjuangan melawan kolonialisme modern yang masih berkelindan hingga hari ini.

Membawa isu ini ke ranah agama bukan hanya simplifikasi naif, tetapi juga menjerumuskan. Ia membuka pintu cherry picking moralitas: bersuara lantang ketika korban kebetulan seiman, tetapi diam membisu ketika korban berasal dari golongan berbeda. Lebih jauh lagi, framing agama justru memainkan kartu yang sama persis dengan yang dimainkan Israel—sebuah ironi yang tragis.

Ketika kalangan konservatif Muslim mereduksi konflik Palestina menjadi pertarungan Islam versus Yahudi, mereka tanpa sadar telah masuk ke dalam perangkap narasi yang justru dikonstruksi dan dipelihara oleh Israel sendiri. Sejak awal pendiriannya, Israel memang dibangun atas fondasi teologis yang kental: gagasan "tanah yang dijanjikan", konsep Eretz Yisrael, dan proyek Zionisme yang mengklaim hak biblika atas wilayah Palestina. Theodor Herzl, bapak Zionisme modern, mungkin memulai gerakannya dengan nada sekuler-nasionalis, tetapi dalam praktiknya, narasi keagamaan menjadi instrumen legitimasi yang sangat ampuh.

Lebih lanjut, Israel telah secara konsisten menggunakan tuduhan "ekstremisme Islam" sebagai senjata propaganda untuk mendelegitimasi perlawanan Palestina. Setiap aksi perlawanan, baik yang dilakukan oleh Hamas, Islamic Jihad, maupun warga sipil yang melempar batu, dibingkai sebagai "terorisme Islamis". Dalam logika ini, Israel bukan penjajah, melainkan korban—korban dari kebencian agama, korban dari jihad global, korban dari fundamentalisme. Maka, ketika konservatif Muslim justru menyeruakkan narasi "Islam versus Yahudi", mereka secara tidak sengaja memperkuat propaganda Israel tersebut. Mereka memberikan amunisi bagi Israel untuk berkata: "Lihat, ini memang perang agama. Mereka membenci kami karena kami Yahudi."

Padahal, realitas di lapangan jauh lebih kompleks. Perlawanan Palestina bukanlah monopoli kelompok Islamis. Selama puluhan tahun, gerakan pembebasan Palestina dipimpin oleh berbagai faksi: dari Fatah yang sekuler-nasionalis, Front Pembebasan Palestina yang Marxis, hingga Partai Komunis Palestina. George Habash, salah satu pendiri Front Pembebasan Rakyat Palestina (PFLP), adalah seorang Kristen Ortodoks. Hanan Ashrawi, juru bicara delegasi Palestina dalam negosiasi Madrid 1991, juga Kristen. Bahkan di dalam komunitas Yahudi internasional sendiri, ada ribuan aktivis yang menentang pendudukan Israel atas Palestina—organisasi seperti Jewish Voice for Peace dan IfNotNow secara vokal mengecam kebijakan apartheid Israel.

Ini membuktikan bahwa isu Palestina, dalam esensinya, adalah isu kolonialisme, bukan konflik teologis. Dengan mereduksinya menjadi pertarungan agama, kita kehilangan perspektif historis dan struktural yang justru menjadi jantung persoalan.

Ironi lain yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Israel sendiri telah membangun sistem politik yang berbasis diskriminasi agama dan etnis. Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi (Jewish Nation-State Law) yang disahkan Knesset pada Juli 2018 secara eksplisit menyatakan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri di Israel adalah eksklusif bagi rakyat Yahudi. Bahasa Arab, yang sebelumnya diakui sebagai bahasa resmi, diturunkan statusnya. Pembangunan permukiman Yahudi dinyatakan sebagai "nilai nasional" yang harus didorong

Ini adalah apartheid dalam bentuknya yang paling telanjang. Human Rights Watch dalam laporannya tahun 2021 berjudul A Threshold Crossed menegaskan bahwa tindakan Israel terhadap Palestina telah memenuhi definisi hukum internasional tentang apartheid dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Amnesty International, pada 2022, merilis laporan serupa yang menyebut Israel menjalankan sistem "penindasan dan dominasi" terhadap rakyat Palestina. B'Tselem, organisasi hak asasi manusia Israel sendiri, pada 2021 menyatakan bahwa Israel adalah "rezim apartheid" yang mengontrol seluruh wilayah dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania.

Jadi, ketika Israel menggunakan agama sebagai legitimasi pendudukan, dan ketika konservatif Muslim merespons dengan menjadikan agama pula sebagai basis solidaritas, maka yang terjadi adalah sirkus teologis tanpa akhir. Kedua belah pihak mengaburkan persoalan sesungguhnya: bahwa ada rakyat yang dirampas tanahnya, diusir dari rumahnya, dibunuh dengan impunitas, dan dipenjara tanpa pengadilan. Ini bukan soal Allah versus Yahweh. Ini soal hukum dan kemanusiaan.

Mari kembali pada fondasi yang lebih kokoh: hukum internasional. Resolusi 181 Majelis Umum PBB tahun 1947 mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara. Rencana itu tidak pernah terealisasi secara adil. Sebaliknya, pada 1948 terjadi Nakba—"bencana"—di mana lebih dari 750.000 warga Palestina diusir atau melarikan diri dari rumah mereka. Lebih dari 500 desa Palestina dihancurkan. Ini bukan sekadar narasi, ini fakta yang didokumentasikan oleh sejarawan Israel sendiri, seperti Benny Morris dan Ilan Pappe.

Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 (1967) dan 338 (1973) menegaskan prinsip inadmissibility of the acquisition of territory by war: tidak sah suatu negara merebut dan menguasai wilayah melalui kekuatan militer. Israel, dalam Perang Enam Hari 1967, menduduki Tepi Barat, Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai. Hingga kini, pendudukan atas Tepi Barat dan blokade atas Gaza terus berlangsung, melanggar hukum internasional secara terang-terangan.

Mahkamah Internasional (ICJ) dalam opini hukumnya tahun 2004 menyatakan bahwa pembangunan tembok pemisah di Tepi Barat adalah ilegal. Tembok itu tidak dibangun di sepanjang garis perbatasan 1967, tetapi menjorok jauh ke dalam wilayah Palestina, memotong akses petani ke ladang mereka, memisahkan keluarga, dan mengisolasi komunitas. ICJ memerintahkan Israel untuk menghentikan pembangunan dan membongkar tembok yang telah ada, serta memberikan kompensasi kepada Palestina. Israel mengabaikan putusan itu. Konvensi Jenewa Keempat 1949, yang mengatur perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata, secara tegas melarang kekuatan pendudukan untuk memindahkan penduduknya sendiri ke wilayah yang diduduki (Pasal 49). Namun, Israel telah membangun lebih dari 130 permukiman di Tepi Barat, dihuni oleh sekitar 700.000 pemukim Yahudi. Permukiman ini dilindungi oleh tentara Israel, sementara warga Palestina di sekitarnya hidup di bawah hukum militer, tanpa hak yang sama.

Ini adalah pelanggaran sistematis. Ini adalah kolonialisme. Dan ini harus dilawan bukan karena pelakunya Yahudi atau korbannya Muslim, tetapi karena melanggar prinsip-prinsip paling mendasar dari tatanan internasional pasca-Perang Dunia II.

Menjadikan Palestina sebagai isu agama juga membuka pintu bagi eksploitasi politik identitas yang berbahaya. Timur Tengah telah menjadi laboratorium bagi bagaimana rivalitas sektarian— Sunni versus Syiah, Arab versus Persia—dimanipulasi oleh kekuatan regional dan global untuk memicu perang proksi. Suriah, Irak, Yaman, Libya—semua adalah contoh bagaimana konflik yang sebenarnya berbasis kekuasaan dan sumber daya dikemas dalam retorika agama.

Menjadikan Palestina sebagai isu agama juga membuka pintu bagi eksploitasi politik identitas yang berbahaya. Timur Tengah telah menjadi laboratorium bagi bagaimana rivalitas sektarian— Sunni versus Syiah, Arab versus Persia—dimanipulasi oleh kekuatan regional dan global untuk memicu perang proksi. Suriah, Irak, Yaman, Libya—semua adalah contoh bagaimana konflik yang sebenarnya berbasis kekuasaan dan sumber daya dikemas dalam retorika agama.

Ketika Palestina dibingkai sebagai isu agama, risiko yang sama mengintai. Negara-negara seperti Iran menggunakan retorika pro-Palestina sebagai alat legitimasi politik domestik dan proyeksi kekuatan regional, sementara rezim-rezim Arab konservatif diam-diam menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords. Rakyat Palestina menjadi pion dalam catur geopolitik yang sama sekali tidak peduli pada nasib mereka yang sesungguhnya.

Di sisi lain spektrum, kita juga harus mencermati peran konservatif Kristen, khususnya di Amerika Serikat, yang secara vokal dan terbuka mendukung Israel berdasarkan penafsiran apokaliptik terhadap kitab suci mereka. Gerakan Kristen Evangelikal, yang berpengaruh besar dalam politik Amerika, percaya bahwa berdirinya negara Israel adalah penggenapan nubuatan yang akan mengantarkan pada kedatangan kedua Yesus Kristus. Dalam pandangan mereka, mendukung Israel adalah kewajiban teologis.

Akibatnya, perlawanan Palestina—apapun bentuknya—otomatis dicap sebagai terorisme. Tidak ada ruang untuk membedakan antara perlawanan sipil dengan kekerasan militer, antara demonstrasi dengan serangan bersenjata. Semua disamakan. Pemuda Palestina yang melempar batu ke tank Israel disebut teroris. Organisasi bantuan kemanusiaan yang menyalurkan makanan ke Gaza dicurigai sebagai pendukung Hamas. Ini adalah pola yang sangat familiar dalam sejarah kolonialisme. Penjajah selalu melabeli perlawanan sebagai "kriminalitas", "terorisme", atau "pemberontakan". Belanda menyebut pejuang kemerdekaan Indonesia sebagai extremisten—ekstremis. Inggris menyebut mereka yang melawan di Kenya sebagai Mau Mau, kelompok "biadab" dan "barbar". Prancis menyebut FLN Aljazair sebagai teroris.

Jika kita mengadopsi perspektif penjajah, maka Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan ribuan pemuda yang bertempur pada 1945-1949 adalah teroris. Mereka melawan otoritas yang sah secara de jure (Belanda masih diakui secara internasional saat itu), mereka menggunakan kekerasan, mereka melakukan sabotase. Tapi kita tidak menyebut mereka teroris. Kita menyebut mereka pahlawan. Mengapa? Karena mereka melawan penjajahan. Karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa.

Logika yang sama harus diterapkan pada Palestina. Perlawanan terhadap pendudukan adalah hak yang dijamin oleh hukum internasional. Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 secara eksplisit mengakui hak rakyat untuk berjuang melawan "pendudukan kolonial dan rezim rasis". Tentu saja, hukum humaniter tetap mengatur cara perlawanan itu dilakukan—warga sipil harus dilindungi, proporsionalitas harus dijaga. Tapi hak untuk melawan itu sendiri tidak bisa dibantah.

Pada akhirnya, pembelaan terhadap Palestina adalah soal konsistensi moral. Kita hanya layak disebut pembela kemanusiaan bila kita berani mengecam penindasan di manapun ia terjadi, tanpa peduli siapa pelaku dan siapa korban. Membela Palestina harus berarti juga membela Ukraina yang diserang Rusia, Bosnia yang dibantai dalam genosida Srebrenica, Rohingya yang diusir dari Myanmar, Uighur yang ditahan dalam kamp konsentrasi di Xinjiang.

Solidaritas yang dibangun atas dasar eksklusivitas identitas adalah solidaritas yang pincang. Ia bukan nurani, tetapi fanatisme yang dibalut jargon kemanusiaan. Konservatif Muslim yang diam ketika Rusia menghancurkan kota-kota Ukraina, memaksa jutaan warga sipil mengungsi, dan menculik ribuan anak-anak Ukraina untuk "dieducasi ulang" di Rusia, namun lantang berteriak soal Gaza, sedang mempertontonkan standar ganda yang memalukan.

Kemanusiaan justru diuji ketika kita mampu mengasihani mereka yang berbeda dari kita—iman, warna kulit, maupun etnis. Itulah prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal HAM 1948: semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak. Tidak ada klaim keagamaan, tidak ada alasan teologis, yang dapat mengurangi hak itu.

Sebagai bangsa yang lahir dari perlawanan terhadap kolonialisme, Indonesia seharusnya lebih arif membaca isu Palestina. Bung Karno dengan tegas menolak penjajahan dalam segala bentuk. Dalam pidato di Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955, ia menyatakan: "Kolonialisme bukanlah sekadar sistem ekonomi, tetapi juga sistem yang menghancurkan martabat manusia." Ia tidak membedakan penjajahan berdasarkan agama penjajah atau yang dijajah. Yang ia tentang adalah prinsip kemerdekaan itu sendiri.

Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit menyatakan: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Perhatikan frasa "segala bangsa". Tidak ada catatan kaki, tidak ada asterisk, tidak ada klausul "kecuali". Segala bangsa. Termasuk Palestina. Termasuk Ukraina. Termasuk siapapun yang masih hidup di bawah pendudukan.

Maka dukungan Indonesia terhadap Palestina semestinya ditempatkan dalam bingkai antikolonialisme dan supremasi hukum internasional, bukan dalam narasi sempit sektarian. Dengan begitu, posisi moral kita tidak akan goyah ketika harus mengecam pelanggaran lain—apapun agama pelaku dan korbannya.

Jika Palestina ingin mendapatkan dukungan global yang luas dan berkelanjutan, ia harus dibingkai dalam bahasa yang dipahami oleh seluruh umat manusia: kemanusiaan dan keadilan. Ketika Nelson Mandela melawan apartheid di Afrika Selatan, ia tidak meminta dukungan hanya dari orang kulit hitam. Ia merangkul seluruh dunia—putih, hitam, Kristen, Muslim, Yahudi—dengan bahasa yang sederhana: apartheid adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Hasilnya, rezim apartheid runtuh bukan hanya karena perlawanan internal, tetapi karena isolasi internasional yang luas.

Palestina bisa belajar dari model itu. Dan konservatif Muslim di Indonesia perlu memahami bahwa dengan mereduksi isu ini menjadi pertarungan agama, mereka justru mempersempit ruang solidaritas, memperkuat propaganda Israel, dan menjerumuskan diri pada inkonsistensi moral yang memalukan.

Palestina adalah tragedi kolonialisme abad modern. Ia harus dibela bukan karena korbannya Muslim, melainkan karena mereka manusia. Karena mereka dirampas haknya untuk hidup merdeka di tanah mereka sendiri. Karena hukum internasional dilanggar setiap hari tanpa konsekuensi. Karena kita, sebagai bangsa yang pernah dijajah, tahu persis bagaimana rasanya kehilangan tanah air.

Mereka yang berpikir bahwa solidaritas hanya berlaku bagi "umat sendiri" perlu bercermin: bukankah kemanusiaan sejati justru lahir ketika kita mengasihi yang berbeda? Bukankah ujian moral tertinggi adalah ketika kita membela yang lemah, bahkan ketika mereka bukan bagian dari kelompok kita? 

Ù†َ اِﻟ 'Ù®َِِّّﱯ ï·º -َstﺎلَ: »Ù±ï»ŸØ±َّاﺣِﻤُونَ Ù®.ﺮَْﺣَﻤُﻬُﻢُ Ù±ï»Ÿïº®َّﺣْﻤَٰـﻦُ، ٱرْﺣَﻤُوا ﻣَﻦْ  =Ú¡ِ ?Ù‰ ٱﻷَرْضِ Ù®.ﺮَْﺣَﻤْﻜُﻢْ ï»£َﻦْ  =Ú¡ِ ?Ù‰ ٱﻟﺴَّﻤَﺎءِ«

 

“Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Pengasih. Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya Dia yang di langit akan menyayangi kalian.” (HR. al-Tirmiżī, hasan á¹£aḥīḥ)


Tidak ada komentar: