KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Kita butuh me-reset kepolisian


Dalam tradisi ilmu hukum, Max Weber telah menegaskan bahwa negara adalah pemegang monopoli kekerasan yang sah (legitimate monopoly of violence). Konsepsi ini bukan sekadar konstruksi teoretis, melainkan fondasi eksistensial negara modern. Artinya, hanya aparat negara yang berwenang menggunakan kekerasan, itupun dalam batas hukum yang ketat dan demi kepentingan umum. Di Indonesia, kewenangan sakral ini salah satunya dipercayakan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun, apa yang terjadi bila aparat yang diberi monopoli justru menggunakan atau bahkan meniadakan kekerasan secara sewenang-wenang? Jawabannya sederhana namun menghancurkan: negara kehilangan legitimasi.

Namun, di tanah air, tesis itu sering kali menjelma menjadi ironi. Polisi—yang di atas kertas diproyeksikan sebagai pelindung, pengayom, sekaligus penegak hukum—kerap tampil dalam wujud yang jauh berbeda dari kerangka normatifnya. Bukan sekali dua kali, kekerasan negara hadir bukan dalam rupa law enforcement, melainkan law avoidance. Bukan demi tegaknya ketertiban, melainkan demi mengukuhkan kepentingan korporatis. Pada titik itulah, monopoli kekerasan yang seharusnya menjadi sumber legitimasi justru terperosok menjadi sumber delegitimasi.

Rakyat, dengan kebijaksanaan jalanannya, guyonanannya di sosial media, tidak membutuhkan treatise hukum atau kuliah kriminologi untuk menamai keadaan itu. Mereka menciptakan istilah yang lebih hidup, lebih menggigit, lebih telanjang: Parcok atau partai coklat. Julukan itu merupakan ekspresi kesadaran kolektif. Ia lahir bukan dari ruang seminar, melainkan dari persinggungan harian dengan polisi-polisi yang lebih sering menampilkan arogansi ketimbang pengabdian, bonis itu lahir dari pengalaman.

Itu terjadi akibat ada jurang yang lebar antara mandat konstitusional dan praksis keseharian. Ketika warga menyebut “parcok”, yang terucap bukan sekadar ejekan, melainkan tuduhan. Tuduhan bahwa aparat yang semestinya menjadi instrumen negara telah berubah menjadi entitas tersendiri, seakan-akan menjadi partai politik dengan kepentingannya sendiri, lengkap dengan militansi, solidaritas internal, dan—yang paling berbahaya—impunitas.

Demonstrasi yang berlangsung dari 25 Agustus hingga 2 September 2024 menjadi laboratorium empiris yang sempurna untuk membedah patologi sistem kepolisian Indonesia. Sepuluh nyawa melayang, lima di antaranya di Makassar. Saya hadir, menyaksikan langsung pada 29 Agustus, ketika mahasiswa memblokade Jalan Perintis Kemerdekaan. Lalu lintas lumpuh seketika, dan memang itu tujuannya: sebuah disruptive , memang nda bisa orang bersopan-sopan kalau kita semua lihat video brimob melindas sopir ojol.

Akan tetapi, saya masih bisa melihat dengan mata kepala sendiri: aparat kepolisian absen. Negara tidak hadir dalam bentuk seragam coklat, justru pada saat paling genting, ketika keberadaannya mutlak diperlukan. Jangan salah, di titik lokasi saya berdiri, situasi relatif cepat mereda. Tetapi di sekitar fly over, di kawasan kantor pemerintahan, intensitas justru meninggi: lemparan batu, pembakaran, penjarahan, dan akhirnya, nyawa yang melayang.

Apa artinya? Sederhana: ketiadaan polisi bukan menenangkan keadaan, melainkan memantik chaos. Tidak ada barikade, tidak ada upaya preventif, tidak ada kehadiran simbol negara. Kekosongan itu segera diisi dengan anarki. Maka DPRD kota dan provinsi pun terbakar. Itulah harga dari absennya polisi.

Saya mafhum, akan ada yang menimpali dengan ejekan: “loh, kok cari polisi, katanya polisi jahat?” Saya jujur bingung. Sejak kapan aparat penegak hukum boleh membawa perasaan terhadap umpatan rakyat? Bahwa benar, banyak polisi brengsek—itu tidak perlu dibantah. Tetapi kebrengsekan itu tidak otomatis membenarkan ketidakhadiran mereka. Tugas konstitusional tidak mengenal mood. Polisi itu wajib hadir. Ia bukan pilihan. Ia bukan sukarela. Ia mandat.

Dalam konteks ini, saya teringat pada peringatan tajam Muchtar Lubis: membela impunitas hanyalah ciri stomme hond, anjing dungu yang patuh tanpa berpikir. Dalam konteks hari ini, siapa lagi yang lebih pas disebut stomme hond selain mereka yang terus membela parcok dengan alasan emosional: karena ayahnya polisi, pacarnya polisi, pamannya polisi. Emosi pribadi dijadikan tameng untuk menutup mata terhadap fakta. Fakta bahwa sepuluh orang mati. Fakta bahwa polisi absen. Fakta bahwa kerusuhan dibiarkan. Fakta bahwa institusi ini lebih sering melindungi dirinya sendiri daripada melindungi rakyat.

Metode pengamanan boleh rusak, manajemen lapangan boleh amburadul, integritas personal boleh bobrok—tapi itu semua tidak pernah memberi hak untuk absen. Tanpa polisi, kita jatuh ke dalam hukum rimba. Dan itu sudah kita saksikan sendiri: pembakaran, penjarahan, korban berjatuhan. Apa bedanya negara dengan gerombolan kalau penegak hukumnya memilih menghilang?

Apakah ini sekadar kelalaian? Salah perhitungan taktis? Saya tidak percaya. Terlalu banyak kebetulan untuk disebut kebetulan. Justru yang tercium adalah aroma politik. Absen itu tidak lagi tampak sebagai blunder, melainkan sebagai detournement de pouvoir—penyalahgunaan kewenangan, dengan cara membiarkan kewajiban hukum tidak dijalankan. Polisi tidak diberi hak mogok kerja. Kritik publik, betapapun keras, tidak pernah bisa menjadi dalih untuk meninggalkan tugas.

Itulah yang membuat saya semakin yakin: ini bukan semata negligence, tetapi negligence by design. Kelalaian yang disengaja. Sebuah taktik kotor. Dan kalau sudah begitu, kata yang tepat memang hanya satu: pengkhianatan. Pengkhianatan terhadap undang-undang, terhadap konstitusi, terhadap rakyat.

Dan sekali lagi, saya tidak segan menyebutnya dengan bahasa yang paling telanjang: polisi boleh pintar, boleh gagah, boleh bersenjata, tetapi ketika absen di saat rakyat mati, mereka tidak hanya brengsek—mereka menjelma musuh dari hukum itu sendiri.

Mengapa impunitas kepolisian bisa mengakar sedemikian dalam? Analisis struktural mengidentifikasi tiga faktor fundamental:

Pertama: Monopoli Penyidikan sebagai Conflict of Interest Bawaan

Dalam sistem hukum acara pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam KUHAP, penyidik adalah polisi. Konstruksi normatif ini menciptakan inherent conflict of interest yang tak terhindarkan: ketika polisi menjadi pelaku tindak pidana, ia sekaligus menjadi wasit dan pemain dalam pertandingan yang sama. Teori menyebut kondisi ini sebagai pelanggaran terhadap prinsip nemo judex in causa sua—tak seorang pun boleh menjadi hakim dalam perkaranya sendiri.

Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola di mana wasit adalah pemain dari salah satu tim. Seberapa fair pertandingan itu? Seberapa dapat dipercayanya hasil akhirnya? Inilah gambaran sistem penyidikan kriminal yang kita miliki ketika polisi menjadi tersangka.

Kedua: Esprit de Corps yang Bermetamorfosis Menjadi Solidaritas Buta

Esprit de corps, dalam konteks positifnya, adalah semangat kebersamaan yang memperkuat moral dan kinerja institusional. Namun dalam praktik kepolisian Indonesia, konsep yang mulia ini telah bermetamorfosis menjadi solidaritas buta (blind solidarity) yang destruktif. Polisi yang bersalah tetap dibela, bukan karena ia benar dari perspektif hukum, tetapi karena ia "satu seragam".

Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep Hannah Arendt tentang banality of evil—banalitas kejahatan yang lahir dari ketaatan buta terhadap sistem, tanpa refleksi moral yang memadai. Ketika solidaritas korps mengalahkan komitmen pada keadilan, institusi penegak hukum berubah menjadi geng berseragam.

Ketiga: Absennya Mekanisme Pengawasan Eksternal yang Efektif

Indonesia memiliki berbagai lembaga pengawasan: Ombudsman, Komnas HAM, LPSK, dan lain-lain. Namun tidak satu pun dari lembaga-lembaga ini yang memiliki kewenangan memaksa (coercive power). Mereka bisa mengeluarkan rekomendasi, membuat laporan, bahkan mengadakan konferensi pers yang keras. Tetapi ketika polisi memilih mengabaikan, tidak ada mekanisme hukum yang bisa memaksanya tunduk.

Dalam praktik, rekomendasi lembaga-lembaga pengawasan ini lebih sering berakhir di laci ketimbang di pengadilan. Mereka seperti hakim tanpa palu, jaksa tanpa dakwaan, pengacara tanpa klien yang mau mendengar.

Di negara-negara demokratis yang matang, masalah ini sudah lama dikoreksi. Inggris memiliki Independent Office for Police Conduct dengan kewenangan penuh untuk menyidik dan menuntut polisi yang melanggar hukum. Australia memiliki Law Enforcement Conduct Commission yang independen dari kepolisian. Amerika Serikat, meskipun dengan berbagai kelemahannya, memiliki sistem federal oversight yang bisa mengintervensi ketika kepolisian lokal gagal menegakkan akuntabilitas.

Di Indonesia? Kita masih percaya bahwa serigala bisa menjaga kandang domba.

Perlukah Kita Memiliki Polisi?

Pertanyaan ini mungkin terdengar radikal, bahkan anarkis. Tetapi dalam konteks kegagalan sistemik yang kita hadapi, pertanyaan ini menjadi relevan secara filosofis maupun praktis.

Apakah kita memerlukan institusi penegak hukum? Tentu saja. Tidak ada negara modern yang bisa berfungsi tanpa law enforcement. Hobbes, Locke, dan Rousseau—meski dengan perspektif berbeda—sepakat bahwa otoritas adalah prasyarat peradaban.

Tetapi apakah kita memerlukan parcok dalam bentuknya yang sekarang? Apakah kita memerlukan institusi yang lebih sibuk menjaga citra daripada menegakkan hukum? Apakah kita memerlukan seragam coklat yang gagah di jalan raya tetapi tiarap ketika rakyat membutuhkan? Apakah kita memerlukan polisi yang lebih takut pada kritik publik daripada pada Undang-Undang?

Jawabannya tegas: TIDAK.

Kita tidak memerlukan polisi yang berperilaku seperti preman berseragam. Kita tidak memerlukan aparat yang menggunakan kewenangan negara untuk kepentingan korporat atau politik tertentu. Kita tidak memerlukan institusi yang menjadi beban anggaran publik tetapi tidak memberikan public goods yang sepadan.

Yang kita perlukan adalah transformasi fundamental—bukan sekadar reformasi kosmetik, tetapi perombakan struktural yang mengembalikan polisi pada fungsi konstitusionalnya.


Oleh Arya Fadjar

Tidak ada komentar: