KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Cermin Kemunduran Demokrasi


Tanggal 20 Oktober 2025 menandai satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Dalam kurun waktu tersebut, publik telah menyaksikan munculnya berbagai permasalahan yang hadir di berbagai sektor, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik. Alih-alih menunjukkan arah perbaikan, perjalanan satu tahun ini justru memperlihatkan tanda-tanda kemunduran demokrasi dan menguatnya praktik militerisme dalam kehidupan bernegara.

Kekerasan oleh aparat militer dan kepolisian dilaporkan meningkat di berbagai daerah. Berbagai kasus pelanggaran terhadap masyarakat sipil, termasuk terhadap pegiat hak asasi manusia, memperlihatkan gejala meluasnya kultur kekerasan yang tidak terkendali. Negara tampak lebih memilih pendekatan represif ketimbang dialog dalam menghadapi protes publik yang muncul akibat krisis ekonomi dan sosial yang berkepanjangan.

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa prinsip-prinsip demokrasi yang telah dibangun pascareformasi mulai tergerus. Masuknya paham militeristik dalam ruang sipil menjadi ancaman serius bagi kebebasan berekspresi dan partisipasi politik masyarakat. Impunitas aparat yang seolah dibiarkan turut memperkuat kesan bahwa hukum telah kehilangan daya tegaknya di hadapan kekuasaan.

Watak militeristik yang menonjol dalam pemerintahan saat ini mengingatkan publik pada luka lama Orde Baru, yakni ketika negara menundukkan rakyat melalui panas peluru dan pukulan pentung aparat kepolisian. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia berpotensi mundur jauh dari cita-cita reformasi yang menempatkan hak asasi manusia, supremasi hukum, dan keadilan sosial sebagai fondasi utamanya.

Di tengah krisis ekonomi dan politik yang dihadapi masyarakat, Prabowo kemudian sibuk melakukan politik bagi kue terhadap beberapa kerabat dan juga bagi orang-orang yang ada di dekatnya. Misalnya saja, tunjangan DPR yang naik secara gila-gilaan di tengah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemangku kebijakan publik, kemudian berujung pada meluapnya amarah masyarakat sipil.

Eskalasi demonstrasi di berbagai daerah pada bulan Agustus hingga September kemudian direspons dengan sangat buruk oleh rezim militer Prabowo, dengan penangkapan dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh aparat militer dan kepolisian. Dikutip dari Tempo, tercatat jumlah orang yang telah ditangkap per tanggal 8 September 2025 mencapai 5.444 orang pascademonstrasi pada akhir Agustus 2025 kemarin. Ini merupakan kasus penangkapan terparah semenjak pascareformasi 26 tahun yang lalu.

Hari ini seolah masyarakat sipil telah ditundukkan di bawah popor senjata tentara dan kepolisian. Impunitas lembaga kepolisian pada kasus kematian Affan dan kriminalisasi demonstran yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan adanya indikasi kuat dari ambisi militer untuk menundukkan sipil di bawah kaki mereka, dengan pengabaian kekerasan yang dilakukan oleh kedua instansi ini.

Dengan sikap penuh defensif, Prabowo sendiri melabeli masyarakat yang melakukan demonstrasi dengan menyebutnya sebagai tindakan yang mengarah kepada makar dan terorisme. “Kita tidak dapat memungkiri bahwa sudah mulai kelihatan gejala adanya tindakan-tindakan di luar hukum, bahkan melawan hukum. Ada yang mengarah kepada makar dan terorisme,” ucap Prabowo pada konferensi pers yang dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2025.

Di Makassar sendiri dapat kita saksikan bagaimana paham dan tindakan dari militerisme setahun belakangan ini terlihat. Misalnya saja, ketika aksi di bulan Agustus dan September, para aparat kepolisian sama sekali tidak terlihat di lokasi demonstrasi seperti biasanya. Namun malah militerlah yang dikerahkan untuk melakukan tugas dari kepolisian itu sendiri. Nampak seperti militer ingin coba memperlihatkan sejauh mana kekuatan mereka ketika situasi negara yang sedang tidak stabil dapat mereka gunakan untuk menekan gelombang amarah masyarakat sipil.

Pascademonstrasi di bulan Agustus dan September, jumlah tahanan politik yang ditangkap di Makassar telah mencapai 53 orang, di mana 11 orang di antaranya masih di bawah umur. Mereka ditangkap dengan berbagai tuduhan, mulai dari perusakan hingga provokasi.

Sebagaimana dikutip dari Viva.co.id, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Didik Supranoto menyampaikan bahwa jumlah tersangka yang terlibat kini bertambah. “Sampai dengan saat ini, sudah ada penambahan jumlah tersangka. Jadi, sekarang total tersangka ada 53 tersangka, terdiri dari 43 dewasa dan 11 anak,” ujar Didik saat konferensi pers di Mapolrestabes Makassar, Selasa (16/9/2025).

Tak hanya persoalan penangkapan saja, namun berbagai bentuk kekerasan juga dialami oleh para tahanan selama berada di dalam penjara. Sebagaimana laporan dari Tim Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR), beberapa tahanan politik pascademonstrasi 29 Agustus 2025 mendapatkan kekerasan, mulai dari pemukulan pada daerah wajah, ditendang dan diinjak, hingga dipukul menggunakan stick baseball pada bagian paha dan kaki.

Kampus sebagai laboratorium tempat reproduksi ilmu pengetahuan pun juga tak lepas dari cengkeraman militerisme. Di Unhas sendiri, jejak militerisme bukan lagi hal baru. Pintu militerisme untuk masuk ke dalam kampus sebenarnya semakin terbuka luas melalui Peraturan Rektor Unhas Nomor 14/UN4.1/2023. Setahun terakhir, Unhas semakin menunjukkan keharmonisannya. Kegiatan pengenalan kehidupan kampus mahasiswa baru turut menggandeng militer di dalamnya, di mana kampus menghadirkan Panglima Kodam Hasanuddin dan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan pada kegiatan tersebut. Tak berhenti di situ, kampus seolah berniat melibatkan mahasiswa pada program-program dengan corak militerisme dengan menyusupkannya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran yang bernarasi bela negara dan ketahanan ideologi yang kemudian dapat dipergunakan untuk menunjang pemenuhan SKS mahasiswa.

Keterlibatan Unhas dalam menjalankan program-program rezim militer Prabowo–Gibran juga terlihat pada kampus yang turut andil dalam proyek Makanan Bergizi Gratis (MBG), yaitu suatu program yang lahir dari janji politik Prabowo ketika kampanye. Hal ini ditandai dengan hadirnya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi Nasional (SPPG) di dalam asrama mahasiswa yang nantinya akan menampung produksi harian hingga 7.000 porsi per hari. Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar bagi birokrasi kampus yang nampaknya semakin tunduk di bawah kepentingan elit dan rezim militer.

Unhas sebagai lembaga pendidikan tinggi pada akhirnya gagal membaca atau menganalisis kecacatan program MBG secara epistemik. Alih-alih mengkritik atau menolak adanya program ini, Unhas malah semakin membuka lebar pintunya agar kampus dijadikan sebagai laboratorium percobaan pada proyek tersebut.

Hari ini dapat kita simpulkan, pengaruh militerisme telah masuk dan semakin menguat di bawah pemerintahan rezim Prabowo. Hal ini akan terus-menerus menggerus demokrasi yang ada di negara ini. Jika tidak dibendung di bawah supremasi sipil, maka tidak mustahil masyarakat sipil nantinya tidak dapat meneriakkan demokrasi selain demokrasi yang sesuai dengan moncong senjata tentara. Karena sejatinya, peluru panas tidak pernah mengenal sesuatu bernama kebebasan; ia selalunya dikenal dengan sesuatu bernama kematian.


Tidak ada komentar: