Diskusi pembahasan draft Memorandum of Understanding (MoU) Pers Mahasiswa (Persma) bertajuk “Quo Vadis MoU Penguatan dan Perlindungan Pers Mahasiswa : Pilar atau Ilusi Kebebasan Berekspresi” yang dilaksanakan di Fakultas Vokasi Universitas Hasanuddin (Unhas), Rabu (11/12/2025). Diskusi ini membahas rencana penyusunan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai upaya penguatan dan perlindungan aktivitas jurnalistik mahasiswa di lingkungan kampus.
Diskusi ini menghadirkan Kepala Bidang Humas Universitas Hasanuddin, Ishaq Rahman, S.IP., M.Si. dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar. Dalam diskusi tersebut MoU ini masih berada pada tahap pembahasan dan belum disahkan sebagai kebijakan resmi universitas. Dengan demikian, MoU belum dapat dijadikan dasar perlindungan formal bagi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).
Ishaq menjelaskan bahwa MoU yang dibahas saat ini masih berupa draft pedoman dan belum memiliki kekuatan mengikat. Menurutnya, MoU baru akan berfungsi sebagai pedoman resmi setelah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Rektor atau Peraturan Rektor.
Ia menambahkan bahwa pihak Universitas mendorong agar kesepahaman dalam MoU tidak berhenti pada tataran gagasan, melainkan meningkat menjadi kesepahaman kerja yang konkret dan dapat diterapkan dalam aktivitas jurnalistik mahasiswa.
“Upaya yang saat ini kita lakukan adalah mendorong supaya kesepahaman gagasan ini naik kelas menjadi kesepahaman aktivitas, kesepahaman kerja. Itu nanti yang akan tertuang dalam Peraturan Rektor,”ungkap Ishaq.
Argumen tersebut diperkuat oleh perwakilan LBH Pers Makassar, yang menilai bahwa dalam konteks advokasi, MoU perlu segera diformalisasi agar memiliki daya lindung bagi persma.
“Dalam konteks advokasi, yang bisa didorong adalah agar MoU ini dibentuk secara formal dalam Peraturan Rektor. Dengan begitu, ketika teman-teman memiliki potensi dekriminalisasi seperti yang pernah dialami oleh Reporter Catatan Kaki (CAKA) kampus dapat hadir sebagai pihak
yang memediasi,” ujarnya.
Dalam diskusi ini, tim redaksi Media Ekonomi menilai pembicaraan soal MoU tidak pernah betul-betul sampai pada tahap implementasi. Legalitas LPM Media Ekonomi yang hingga kini masih menghadapi hambatan struktural. LPM Media Ekonomi dinilai beroperasi secara tidak resmi disebabkan ketidakadaan dosen pembimbing yang bersedia.
Tim Redaksi bahkan telah berupaya terkait dosen pembimbing, dan sempat mendapat persetujuan salah satu dosen untuk menjadi dosen pembimbing LPM Media Ekonomi, namun mengundurkan diri tak lama setelah namanya disampaikan ke pihak fakultas.
“Saya sempat mendapatkan satu dosen yang mau. Tapi setelah namanya saya sampaikan ke Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unhas, keesokan harinya dosen tersebut tiba-tiba mengundurkan diri. Sulit untuk mengatakan ini sebagai kebetulan,”ungkap salah satu Tim Redaksi Media Ekonomi pada Jumat (12/12/2025) .
Selain itu, Tim Media Ekonomi juga kerap mendapat tekanan akibat statusnya yang dianggap tidak legal, termasuk pengosongan sekretariat dan ancaman tidak mendapatkan perlindungan.
“Sekretariat kami pernah dikosongkan karena dianggap ilegal. Bahkan saya pernah dipanggil dan diberi tahu bahwa kalau masih punya sekretariat, saya tidak akan dilindungi oleh MoU karena Media Ekonomi dianggap tidak legal di tingkat fakultas,”tuturnya.
Dalam diskusi tersebut, Kepala Bidang Humas Unhas turut menangani relasi antara legalitas dan sikap kritis persma. Ia mengaku kerap mengikuti
pemberitaan Media Ekonomi dan mempertanyakan apakah legalitas justru dapat mempengaruhi independensi pers mahasiswa.
“Saya selalu membaca dan mengikuti Media Ekonomi. Kadang saya berpikir, kalau Media Ekonomi memiliki legalitas dan SK, apakah masih akan sekritis sekarang? Saya justru meragukannya,”tanya Ishaq.
Pernyataan tersebut direspons oleh perwakilan LPM Media Ekonomi. Ia menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada ada atau tidaknya legalitas, melainkan pada legalitas yang kerap dijadikan alat represif.
“Kalau soal legalitas membuat kritis atau tidak, itu bukan masalah utama. Sekarang legalitas justru dijadikan alat untuk merepresi kami. Sebenarnya tanpa legalitas pun, kerja-kerja pers tetap bisa kami jalankan,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Humas kembali menyampaikan argumennya dengan memperkenalkan konsep Carmina Necessaria, yang ia maknai sebagai “senjata makan tuan”.
“Kalau teman-teman tidak punya legalitas dan SK, rektor bisa mencabut apa? Tidak ada. Tapi kalau punya legalitas, lalu kritis, dan legalitas itu dicabut, itu justru bisa menjadi isu nasional,” ujarnya.
Usai diskusi, tim reporter Media Ekonomi wawancara singkat dengan Kepala Bidang Humas Unhas terkait langkah konkret universitas dalam menjamin kebebasan berekspresi di kampus. Ia menyebut bahwa universitas mendorong prinsip keterbukaan informasi sebagai pijakan utama.
“Hal yang kami dorong adalah keterbukaan informasi. Prinsip ini diharapkan bisa dijalankan
oleh semua unit LPM di Unhas, baik di tingkat fakultas maupun unit lainnya. Ada informasi yang terbuka dan ada yang dikecualikan, dan itu sudah ada standarnya,”ujarnya.
Terkait persoalan legalitas LPM Media Ekonomi, pihak Humas menegaskan bahwa hal tersebut berada di bawah kewenangan bidang kemahasiswaan.
“Soal legalitas itu menjadi konsideran bidang kemahasiswaan. Akan lebih tepat jika komentar mengenai legalitas disampaikan langsung oleh pihak kemahasiswaan,” katanya.
Diskusi ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat upaya dialog antara pihak universitas dan persma, persoalan perlindungan dan legalitas persma di lingkungan kampus masih memerlukan kejelasan kebijakan dan tindak lanjut konkret.


Tidak ada komentar: