KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

"Nasib Pedagang Pentol Kampus di tengah Ekonomi Kian Menyusut"


Sejak pandemi mulai masuk ke Indonesia Maret 2020 lalu, dampaknya sudah menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia. Tentu salah satu sektor yang paling terdampak adalah perekonomoian yaitu pengiat usaha menengah kecil dan mikro (UMKM). Banyaknya pembatasan yang diberlakukan, membuat mobilisasi massa terhambat. Hal itu membuat jalur perekonomian terputus. Tercatat sudah berapa kali pemerintah memberlakukan pembatasan.  Dengan berbagai istilah operasional yang silih berganti diberlakukan. Baru-baru ini pemerintah mengumumkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM untuk menekan penyebaran virus corona yang kembali meningkat berapa minggu terakhir. PPKM ini diberlakukan di daerah Jawa – Bali sejak 3 Juli hingga 20 juli 2021. Melalui kebijakan ini, pemerintah menargetkan penurunan penambahan kasus.

Pedagang pentol Kampus UNHAS 
Foto : Alvyan

Kebijakan pembatasan seperti ini Mengurangi mobilitas masyarakat yang bekerja di sektor informal. Berbeda dengan pegawai kantoran dimana selama masa pandemi masih bisa melakukan pekerjaannya meskipun harus bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Lantas bagaimana dengan para pedagang yang notabenenya menggantungkan penghidupannya lewat berdagang ?. PPKM darurat Menurut Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) akan kembali menjatuhkan UMKM yang kini tengah berjuang untuk bertahan, seharusnya kesehatan dan ekonomi berjalan seiringan, (2021, Juli 2) dilansir dari BBC.Com Indonesia. Pedagang kaki lima, penjual asongan, pedagang di pasar-pasar rakyat bahkan tukang foto copy yang konsumen utamanya adalah siswa atau mahasiswa harus gigit jari karena pembatasan ini. 

Pedagang Pentol Kampus UNHAS 
Foto : Alvyan
 

 Arifin seorang penjual pentol di Kampus Universitas Hasanuddin adalah salah satu dari banyaknya masyarakat yang merasakan dampak dari pandemi ini. Pria asal Solo, Jawa Tengah ini sangat merasakan bagaimana pandemi benar-benar mempengaruhi perekonomian masyarakat. Bagaimana tidak, mahasiswa yang biasanya merupakan konsumen utamanya harus belajar dari rumah. Masa-masa sulit diawal pandemi sudah dilaluinya bersama keluarga. “Maret hingga agustus itu tidak jualan sama sekali,mas” ungkap pria 35 tahun ini. Keadaan tersebut memaksa  Arifin untuk menggunakan tabungan untuk bertahan selama tidak berdagang pentolan di kampus.

Situasi kian pelik, ketika tidak adanya pemasukan tetapi anaknya harus tetap membayar uang sekolah. “iyaa Mas, harus tetap bayar uang sekolah, apalagi anak saya itu sekolah di pesantren yang bukan sekolah negeri”, ungkapnya. Kondisi keuangan keluarganya bisa dikatakan sangat buruk pada medio maret hingga agustus. “harus mulai dari nol lagi, Mas untuk cari uangnya”, tutur Arifin. Meskipun Arifin sudah kembali aktif berjualan sejak awal September, tapi pemasukan yang didapatkan tidaklah sama. Jika pada kondisi normalnya dia biasa mendapatkan pemasukan minimal 800 ribu/hari, pada situasi sekarang, mendapatkan setengahnya-pun dirasa sulit. Ini tentu diakibatkan karena masih minimnya aktivitas mahasiswa di kampus. “Kalau dulu biasanya bawa sekitar 15 kilogram untuk jualan Mas, kalau sekarang yah sekitar 7 kilogram-lah, itupun dibagi dua dengan istri dirumah yang juga jualan dirumah”, jelas  Arifin.

Kondisi seperti ini merupakan hal baru yang dirasakan  Arifin. Beliau yang sudah berjualan sejak tahun 2008 betul-betul merasa kaget dengan apa yang terjadi di situasi sekarang ini. Dahulu, Arifin masih bisa menanti senja sambil menjajakan dagangannya, kni momen itu telah sirna. Demi keselamatan bersama tentu kita harus mengindahkan anjuran pemerintah. Menjalankan protokol kesehatan adalah harga mati jika ingin penyebaran virus corona bisa dikendalikan hingga berakhirnya pandemi ini. “Harapannya semoga pandemi ini segera berakhir. Dan mahasiswa bisa masuk kampus lagi, mas, jadi pendapatan bisa normal lagi”, tutur Mas Arifin dibarengi tawa kecil. [](Vian)




Tidak ada komentar: