KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Resensi Album "Kurun" oleh Kota & Kenangan

 


Resensi Album, Kota dan Ingatan  

KURUN”



Perkembangan musik di Indonesia memang sangat pesat, dilihat dari jenis musik yang sangat beragam dan begitu kompleks, menciptakan persaingan tersendiri di industri musik tanah air. Tak heran jika grup musik berlomba lomba merilis album dengan berbagai jenis genre.

Kota biasanya identik dengan sesuatu, baik itu yang digambarkan secara umum seperti misalnya Bogor kota hujan atau Bandung kota kembang misalnya. Namun ada juga yang memaknai sebuah kota dengan alasan personal, seperti apa yang tertulis di lagu Kla Project – “Jogjakarta”, atau pun satu album penuh yang mengulas kota Surabaya di album Silampukau. Hal-hal tentang kota itu kemudian dimaknai dengan cukup gamblang oleh sebuah band bernama Kota & Ingatan asal jogja. Menariknya, band ini menuliskan  rentetan kisah-kisah yang mereka alami dalam bentuk lagu, dengan sudut pandang yang menarik.

Dari rekam jejak karya yang mereka torehkan, terhitung sekitar dua tahun paska merilis catatan berturut-turut lewat lagu “Alur” pada tahun 2016, dan “Peluru” setahun setelahnya, Kota & Ingatan kembali merilis catatan teranyar mereka berjudul “Memoar” di paruh akhir 2018. Dan merampungkannya menjadi sebuah album bernama “Kurun”.

Jauh dari hingar bingar popularitas mainstream. Kota dan Ingatan dalam albumnya mencoba untuk mengingatkan kita berbagai isu sosial yang terjadi. Kurun dikerjakan dalam waktu tiga tahun yang dituangkan kedalam musik dari catatan peristiwa dan beragam konflik yang terjadi di kota Jogja pada tahun 2016 hingga 2018. Album ini memantik percakapan yang cukup luas, karena rentetan peristiwa yang ia ceritakan terjadi menahun dan masih relevan hingga hari ini.

Mengusung 10 lagu dalam albumnya, Kota dan Ingatan mengolahnya dengan warna musik dan eksperimen yang cukup berani. Sesekali sentuhan musik yang manis tapi kadang juga membentak tajam. Bagi telinga awam, lirik konotatif dari Kota dan Ingatan sekilas memang agak berat untuk dicerna tapi semua lagu yang mereka ciptakan tak jauh dari isu dan konflik sosial. Mulai dari gesekan antara militer dan sipil, tindakan kekerasan berlatar agama, masalah penggusuran di kota Jogjakarta, sampai tentang tingginya tingkat bunuh diri di kawasan perkotaan.

Pada lagu Alur misalnya, Kota & Ingatan mencatat bagaimana kekerasan dihadirkan secara struktural di Indonesia, benturan antara masyarakat versus masyarakat dibangun, lalu militer mengintip dari kejauhan, siap menghantam dengan senjata jika celah memungkinkan.

Nilai-nilai kekerasan itu kemudian ditanam di media sosial, diadaptasi dan dibungkus atas nama agama, pancasila, ideologi kebangsaan, ‘merajut persatuan’ dan omong kosong lainnya. Omong kosong yang dibuat sedemikian manis agar masyarakat terlelap, mengamini kemudian lupa dan menyesali, pun begitu seterusnya.

Kemudian ada pula Etalase yang mencatat bagaimana orang-orang menganggap lumrah gerakan 212, bagaimana agama sedemikian candunya hingga Tuhan dan surga diarak massa ke jalan-jalan sebagai syarat sah menyembelih manusia lainnya. Etalase juga menyoroti bagaimana banjir informasi membuat kita tak bisa membedakan mana yang benar dan salah, mana yang fakta dan bohong, mana yang penting dan tidak penting, yang kemudian melukai nalar dan cara berpikir banyak orang hari ini.

Catatan lain juga sama erat kaitannya dengan isu yang begitu mencekik di Jogjakarta, seperti Kanal yang mencatat pemukiman warga yang kesulitan air di sekitar lokasi pembangunan hotel yang begitu masif di Jogjakarta. Lalu lagu Leram yang beririsan dengan penggusuran mengerikan, tambang pasir besi dan bandara internasional yang diinisiasi Kesultanan Yogyaakarta di Kulonprogo. kita juga dapat menyimak trauma Orde Baru yang tak pernah bergeser dan kisah warga di kawasan konflik agraria yang selalu terpinggirkan.

Sementara pada catatan berjudul Peluru, Kota & Ingatan menghadirkan beragam kasus penyelewengan HAM serta penghilangan paksa yang tak kunjung tuntas hingga hari ini.

Di luar isu-isu genting tersebut, Kota & Ingatan juga menyoroti isu lain yang kerap terlewatkan dari pembicaraan, menyoal tendensi bunuh diri yang begitu tinggi di kawasan perkotaan, dalam dua lagunya Elak dan Derit.

Sebagai nomor penutup, mereka menyelipkan satu lagu tambahan yang menyelinap di akhir kurasi album, Memoar. Sebuah nomor yang manis dan mengecoh. Menyoal hal yang klise bagi banyak orang, tentang harapan yang kandas, pada mimpi, pada angan-angan muda mudi urban hari ini yang begitu licin, sekalipun tak begitu penting namun tak cukup bisa dikesampingkan.

Ditambah lagi lagu yang ia ciptakan baru baru ini menyuarakan protes pada peristiwa REFORMASI DIKORUPSI september tahun lalu Meski tidak dapat semua dirangkum, saat kumpulan nada-nada protes tersebut dilagukan, tak menutup kemungkinan bisa jadi lebih efektif, baik sebagai arsip zaman maupun kumpulan kebisingan yang mengganggu siapa pun yang tidak siap dengan kritik tersebut. Sebab pada dasarnya, banyak orang sudah muak dengan politik berbagi kekuasaan, “Orba kemasan baru."

Kota & Ingatan menggarisbawahi bahwa ketika album "Kurun" dirilis pada 2018 lalu, Indonesia belum beranjak dari status darurat demokrasi. Aktor pelanggar HAM masih lenggang kangkung menikmati hidup yang serba segalanya. Selayaknya, album ini bisa jadi sarana untuk membukakan mata pendengar musik Kota & Ingatan yang acuh pada keadaan negara ini, bahwa negara kita tidak baik-baik saja.

 

 

Tidak ada komentar: