Resensi Album, Kota dan Ingatan
“KURUN”
Kota biasanya identik dengan sesuatu, baik itu
yang digambarkan secara umum seperti misalnya Bogor kota hujan atau Bandung
kota kembang misalnya. Namun ada juga yang memaknai sebuah kota dengan alasan
personal, seperti apa yang tertulis di lagu Kla Project – “Jogjakarta”, atau
pun satu album penuh yang mengulas kota Surabaya di album Silampukau. Hal-hal
tentang kota itu kemudian dimaknai dengan cukup gamblang oleh sebuah band
bernama Kota & Ingatan asal jogja. Menariknya, band ini menuliskan rentetan kisah-kisah yang mereka alami dalam
bentuk lagu, dengan sudut pandang yang menarik.
Dari rekam jejak karya yang mereka torehkan,
terhitung sekitar dua tahun paska merilis catatan berturut-turut lewat lagu
“Alur” pada tahun 2016, dan “Peluru” setahun setelahnya, Kota & Ingatan
kembali merilis catatan teranyar mereka berjudul “Memoar” di paruh akhir 2018.
Dan merampungkannya menjadi sebuah album bernama “Kurun”.
Jauh
dari hingar bingar popularitas mainstream. Kota dan Ingatan dalam albumnya
mencoba untuk mengingatkan kita berbagai isu sosial yang terjadi. Kurun dikerjakan dalam waktu tiga tahun yang
dituangkan kedalam musik dari catatan peristiwa dan beragam konflik yang
terjadi di kota Jogja pada tahun 2016 hingga 2018. Album ini memantik
percakapan yang cukup luas, karena rentetan peristiwa yang ia ceritakan terjadi
menahun dan masih relevan hingga hari ini.
Mengusung 10 lagu dalam albumnya, Kota dan Ingatan
mengolahnya dengan warna musik dan eksperimen yang cukup berani. Sesekali
sentuhan musik yang manis tapi kadang juga membentak tajam. Bagi telinga awam,
lirik konotatif dari Kota dan Ingatan sekilas memang agak berat untuk dicerna
tapi semua lagu yang mereka ciptakan tak jauh dari isu dan konflik sosial. Mulai
dari gesekan antara militer dan sipil, tindakan kekerasan berlatar agama, masalah
penggusuran di kota Jogjakarta, sampai tentang tingginya tingkat bunuh diri di
kawasan perkotaan.
Pada lagu Alur misalnya,
Kota & Ingatan mencatat bagaimana kekerasan dihadirkan secara struktural di
Indonesia, benturan antara masyarakat versus
masyarakat dibangun, lalu militer mengintip dari kejauhan, siap menghantam dengan senjata jika celah memungkinkan.
Nilai-nilai kekerasan itu kemudian ditanam di media
sosial, diadaptasi dan dibungkus atas nama agama,
pancasila, ideologi kebangsaan, ‘merajut persatuan’ dan omong kosong lainnya.
Omong kosong yang dibuat sedemikian manis agar masyarakat terlelap, mengamini
kemudian lupa dan menyesali, pun begitu seterusnya.
Kemudian ada pula Etalase yang mencatat bagaimana
orang-orang menganggap lumrah gerakan 212, bagaimana agama sedemikian candunya
hingga Tuhan dan surga diarak massa ke jalan-jalan sebagai syarat sah menyembelih
manusia lainnya. Etalase juga menyoroti bagaimana banjir informasi membuat
kita tak bisa membedakan mana yang benar dan salah, mana yang fakta dan
bohong, mana yang penting dan tidak penting, yang kemudian melukai nalar dan
cara berpikir banyak orang hari ini.
Catatan lain juga sama erat kaitannya dengan isu yang
begitu mencekik di Jogjakarta, seperti Kanal yang mencatat pemukiman warga yang
kesulitan air di sekitar lokasi pembangunan hotel yang begitu masif di Jogjakarta.
Lalu lagu Leram yang beririsan dengan penggusuran mengerikan, tambang pasir
besi dan bandara internasional yang diinisiasi Kesultanan Yogyaakarta di
Kulonprogo. kita juga dapat menyimak trauma Orde Baru yang tak pernah bergeser
dan kisah warga di kawasan konflik agraria yang selalu terpinggirkan.
Sementara pada catatan berjudul Peluru, Kota & Ingatan
menghadirkan beragam kasus penyelewengan HAM serta penghilangan paksa yang tak
kunjung tuntas hingga hari ini.
Di luar isu-isu genting tersebut, Kota & Ingatan juga
menyoroti isu lain yang kerap terlewatkan dari pembicaraan, menyoal tendensi
bunuh diri yang begitu tinggi di kawasan perkotaan, dalam dua lagunya Elak dan
Derit.
Sebagai nomor penutup, mereka menyelipkan satu lagu
tambahan yang menyelinap di akhir kurasi album, Memoar. Sebuah nomor yang manis
dan mengecoh. Menyoal hal yang klise bagi banyak orang, tentang harapan yang
kandas, pada mimpi, pada angan-angan muda mudi urban hari ini yang begitu licin,
sekalipun tak begitu penting namun tak cukup bisa dikesampingkan.
Ditambah
lagi lagu yang ia ciptakan baru baru ini menyuarakan protes pada peristiwa
REFORMASI DIKORUPSI september tahun lalu Meski tidak dapat semua dirangkum,
saat kumpulan nada-nada protes tersebut dilagukan, tak menutup kemungkinan bisa
jadi lebih efektif, baik sebagai arsip zaman maupun kumpulan kebisingan yang
mengganggu siapa pun yang tidak siap dengan kritik tersebut. Sebab pada
dasarnya, banyak orang sudah muak dengan politik berbagi kekuasaan, “Orba
kemasan baru."
Kota
& Ingatan menggarisbawahi bahwa ketika album "Kurun" dirilis pada
2018 lalu, Indonesia belum beranjak dari status darurat demokrasi. Aktor
pelanggar HAM masih lenggang kangkung menikmati hidup yang serba segalanya.
Selayaknya, album ini bisa jadi sarana untuk membukakan mata pendengar musik
Kota & Ingatan yang acuh pada keadaan negara ini, bahwa negara kita tidak
baik-baik saja.
Tidak ada komentar: