Editorial : Rezim Kaisar Nero di Tamalanrea
Media Ekonomi – Sejarah sering kali menjadi cermin bagi masa kini, memberikan kita pelajaran berharga yang relevan dengan situasi saat ini. Salah satu contoh klasik penyalahgunaan kekuasaan adalah kisah Kaisar Nero dari Romawi kuno. Nero dikenal bukan hanya karena kekejamannya, tetapi juga karena tindakannya yang sewenang-wenang dan merugikan banyak pihak. Ia menggunakan kekuasaannya untuk menekan dan mengintimidasi siapa pun yang dianggapnya sebagai ancaman. Kebenciannya terhadap umat minoritas Kristiani, serta kebiasaannya menyalahkan orang lain atas kesalahan dan kelalaiannya sendiri demi menjaga citra dirinya sebagai pemimpin tanpa cela, adalah bagian dari karakter Nero yang terkenal.
Kini, di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas), kita menyaksikan gejala serupa melalui sosok Dekan Rahman Kadir. Pada audiensi mahasiswa dengan birokrat kampus yang berlangsung pada 29 Mei 2024 di gedung rektorat, terungkap bahwa surat edaran yudisium berbayar yang diakui sendiri oleh Dekan sebagai pungli, diklaim sudah lama dicabut. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata belum ada pencabutan secara resmi. Dalam upayanya untuk tampak sebagai pahlawan tanpa cela, Rahman Kadir menyalahkan Wakil Dekannya, Arifuddin, yang bertanda tangan atas nama Dekan pada surat edaran tersebut. Namun, fakta menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tetap berjalan tanpa pembatalan resmi, menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada yang sengaja diabaikan dalam proses pembuatan dan pembatalan kebijakan ini?
Tindakan Lembaga Mahasiswa yang menuntut penjelasan dari pimpinan fakultas melalui dialog terbuka harus mendapat dukungan penuh dari seluruh civitas academica, terutama di FEB Unhas. Ini bukan hanya soal uang, tetapi soal prinsip tata kelola yang baik, yang telah lama diabaikan di fakultas ini.
Rahman Kadir memiliki sejarah panjang terkait penyalahgunaan kekuasaan. Ia pernah terlibat dalam kasus serius yang menyebabkan tujuh guru besar mengundurkan diri. Para guru besar tersebut mengungkapkan bahwa Dekan melakukan intervensi terhadap perubahan nilai mata kuliah untuk meluluskan mahasiswa S3 yang sebenarnya tidak layak diluluskan. Mereka menuduhnya mengambil keputusan akademik secara otoriter dan arogan, tidak prosedural, dan cenderung mengabaikan esprit de corps, semangat kebersamaan sebagai satu keluarga besar FEB. Ini adalah tindakan sewenang-wenang yang tidak mengacu pada peraturan, dan kini terulang kembali dalam kasus yudisium berbayar.
Lebih jauh lagi, Rahman Kadir menunjukkan kecenderungan intoleransi yang mengkhawatirkan. Dalam sebuah pertemuan dengan perwakilan lembaga mahasiswa yang mengundangnya berdialog terbuka, Dekan marah dengan kejadian pada periode 2022 di mana ketua senat mahasiswa yang terpilih adalah non-Muslim. Ia menyatakan bahwa sepanjang sejarah, Muslim lah yang selalu menjadi ketua senat. Pernyataan ini tidak hanya tidak pantas, tetapi juga mencerminkan sikap diskriminatif yang merusak harmoni dan keberagaman di kampus kita. Makin membuatnya mirip dengan sosok sang kaisar.
Penolakan untuk dialog terbuka tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada sesuatu yang berusaha ditutupi oleh pimpinan fakultas? Semua pihak perlu skeptis melihat gerak-gerik panik dari Wakil Dekan 1, Mursalim Nohong, yang sempat mendatangi student center lantai dua untuk menemui mahasiswa yang bertanya saat audiensi. Berdasarkan kejadian yang juga dilihat langsung oleh jurnalis Media Ekonomi, Mursalim Nohong membantah adanya pungli dengan alasan bahwa kebijakan iuran yudisium hanya menyasar alumni untuk membayar, bukan mahasiswa. Ini jelas bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Rahman Kadir saat audiensi di rektorat. Seperti Nero yang memiliki sekutu-sekutu yang turut mendukung kekuasaannya, Mursalim tampak memainkan peran yang sama dalam memperkuat otoritarianisme di FEB Unhas.
Lebih lanjut, saat mendatangi mahasiswa di student center lantai dua, Mursalim Nohong menunjukkan nada ancaman kepada mahasiswa dan menyebut mereka sebagai "Rewa", serta mengatakan "mau ko baku tes?" seolah menantang. Metode komunikasi yang sangat tidak pantas untuk seorang dosen, apalagi sudah beredar isu bahwa dirinya masuk dalam bursa calon Dekan FEB periode selanjutnya. Ia tampaknya ingin menjadi kaisar FEB selanjutnya.
Keterlibatan Mursalim Nohong dalam kasus yudisium berbayar semakin jelas ketika ia memaksa mahasiswa yang menolak untuk membayar. Pada yudisium periode Desember 2023, beberapa peserta yudisium terkejut dengan adanya keharusan membayar Rp 150.000,00 sebelum memasuki ruangan. Mereka yang menolak kemudian didatangi oleh Mursalim dan diminta membayar segera, berdasarkan surat edaran yang tidak pernah dicabut oleh Dekan.
Inkonsistensi pernyataan Dekan soal surat edaran yudisium berbayar semakin membingungkan. Pada 10 Juni 2024, Dekan membantah dengan suara keras bahwa surat edaran yudisium itu termasuk kategori pungli. Kemarahannya terhadap mahasiswa yang bertanya saat audiensi menunjukkan pola sikap yang sama dengan Wakil Dekannya, Mursalim Nohong. Ini memperlihatkan adanya upaya untuk menutup-nutupi masalah yang sebenarnya.
Sikap defensif Rahman Kadir lebih disesalkan lagi. Ia secara sengaja tidak mengeluarkan surat edaran baru untuk membatalkan surat edaran yang terindikasi pungli, karena takut kebijakan tersebut bisa diperkarakan secara hukum. Hal ini jelas menunjukkan adanya upaya untuk menutupi masalah daripada menyelesaikannya. Jika sikap pimpinan tetap kurang memuaskan, perlu ditunggu gerakan selanjutnya dari lembaga mahasiswa untuk melibatkan pihak ombudsman.
Mengamati kepemimpinan yang seperti ini, sangat penting bagi civitas academica untuk bersatu dan menuntut akuntabilitas serta transparansi dari pimpinan fakultas. Kasus yudisium berbayar ini bukan hanya soal uang, tetapi soal integritas dan kepercayaan terhadap institusi pendidikan. Seperti halnya Nero yang pada akhirnya menghadapi pemberontakan dari rakyatnya, mungkin sudah saatnya mahasiswa dan staf akademik FEB Unhas bersuara lantang menolak segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Media Ekonomi berkomitmen untuk terus mengawal isu-isu seperti ini, memastikan suara mahasiswa dan akademisi didengar, dan mendorong perubahan positif dalam tata kelola institusi pendidikan. Kepemimpinan yang adil dan transparan adalah fondasi dari lingkungan akademik yang sehat dan produktif. Hanya dengan menghindari praktik-praktik otoriter seperti yang dilakukan oleh Kaisar Nero, kita dapat membangun masa depan yang lebih cerah bagi semua pihak yang terlibat.
Tidak ada komentar: