KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Ditanyai Mengenai Yudisium Berbayar, Itjen Kemendikbud: Praktik Ini Tidak Dianggap Wajar



Pembubaran diskusi Senat Mahasiswa FEB-UH, ancaman DO, dan dugaan pungli sumbangan yudisium mengemuka sebagai isu signifikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin (Unhas). Upaya dialog yang dilakukan lembaga mahasiswa dengan dekanat untuk mencari kejelasan ditolak oleh Dekan. Media Ekonomi (Medkom) berinisiatif mewawancarai Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).


Melalui WhatsApp, Medkom menghubungi Chatarina Muliana, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, yang membahas isu kebebasan akademik dan berekspresi di lingkungan kampus.


Chatarina menyatakan bahwa Itjen Kemendikbudristek mengawasi kebebasan akademik dan berekspresi melalui audit, inspeksi, dan monitoring. Itjen Kemendikbud memastikan kegiatan akademik berjalan sesuai dengan standar dan etika yang ditetapkan. Selain itu, Itjen Kemendikbud menangani laporan pelanggaran terkait kebebasan akademik dan berekspresi.


“Mahasiswa dapat mengajukan pengaduan ke Inspektorat Jenderal Kemdikbud jika pengaduan internal kampus tidak ditangani dengan baik,” ujar Chatarina. Pengaduan dapat dilakukan melalui Lapor Kemdikbud atau Posko Pengaduan Itjen Kemdikbud.


Chatarina menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi dan hak mahasiswa di lingkungan kampus dilindungi oleh beberapa payung hukum, di antaranya:


  • UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang menjamin hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
  • UU Sisdiknas Pasal 24 ayat (1) yang menegaskan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi.
  • UU Dikti No. 12 Tahun 2012 Pasal 8, 9, dan 13 ayat (3) yang menyatakan bahwa sivitas akademika memiliki kebebasan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab.
  • Permendikbud No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang menegaskan kegiatan pendidikan harus menjunjung tinggi integritas dan etika akademik dalam kerangka kebebasan akademik yang bertanggung jawab.


Untuk menjaga relasi dosen dan mahasiswa tetap demokratis, Itjen Kemendikbudristek rutin memantau dan mengevaluasi interaksi di kampus, serta mengembangkan panduan dan pelatihan etika untuk dosen. Laporan pelanggaran relasi demokratis juga ditindaklanjuti. Setiap kampus memiliki kode etik internal yang mengatur pola interaksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Chatarina juga menanggapi dugaan pungli sumbangan yudisium. Menurutnya, perguruan tinggi yang meminta sumbangan kepada alumni, masyarakat, dan orang tua mahasiswa harus memenuhi empat hal agar tidak ada indikasi pungli:


1. Transparansi dan Akuntabilitas: Perguruan tinggi harus memiliki kebijakan yang jelas dan transparan mengenai penggunaan dana sumbangan, serta menyediakan laporan keuangan yang dapat diakses oleh donatur.

2. Sosialisasi: Perguruan tinggi harus melakukan sosialisasi mengenai kebijakan sumbangan, termasuk tujuan dan penggunaannya.

3. Peraturan Internal: Perguruan tinggi perlu memiliki peraturan internal yang melarang pungli dan memberikan sanksi bagi pelanggarnya.

4.Memperkuat Keterlibatan SPI: Untuk mengawasi proses pengumpulan dan penggunaan sumbangan, memastikan tidak ada praktik pungli.


Masyarakat FEB Unhas sebelumnya dihebohkan oleh surat edaran mengenai iuran bagi mahasiswa yang akan yudisium. Surat edaran itu telah dicabut secara lisan oleh Dekan FEB-Unhas, Prof. Rahman Kadir pada 29 Mei lalu. Menanggapi situasi tersebut, Chatarina mengatakan, “SE (surat edaran) itu bukan peraturan tetapi himbauan untuk melaksanakan suatu peraturan yang telah ada atau dapat lebih memperjelas apa yang telah diatur dalam peraturan dan bagaimana menerapkannya.”


Chatarina menegaskan bahwa praktik ini dapat dikategorikan sebagai pungli jika sumbangan tersebut tidak bersifat sukarela. Menentukan nominal sumbangan dan mewajibkan mahasiswa untuk membayarnya bertentangan dengan prinsip transparansi dan keadilan dalam pengelolaan pendidikan tinggi. “Sumbangan seharusnya bersifat sukarela dan digunakan untuk kepentingan yang jelas dan transparan,” ujar Chatarina. Dia menambahkan, “Seharusnya UKT yang berlaku sudah mencakup seluruh biaya operasional mahasiswa di tiap program studi, termasuk biaya operasional yudisium.”


Mantan mahasiswa yang ditemui saat wisuda periode Juli (9 Juli) mengatakan bahwa sumbangan telah ia disalurkan melalui QRIS dana abadi FEB-Unhas disertai dengan surat pernyataan bersedia atau tidak untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Ia menjelaskan peruntukkan dana abadi, “Katanya dana abadi digunakan untuk beasiswa sama dikasih tas dan selempang.” Mahasiswa angkatan 2020 itu menambahkan bahwa sumbangan serta surat pernyataannya dikumpulkan sebelum terlaksananya yudisium.



Berikut petikan wawancara dengan Chatarina Muliana


Bagaimana bentuk pengawasan dari Itjen Kemendikbudristek terhadap kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi di universitas?

Inspektorat Jenderal Kemdikbudristek melakukan pengawasan terhadap kebebasanakademik dan kebebasan berekspresi melalui berbagai mekanisme, termasuk audit, inspeksi, dan monitoring.

Itjen Kemendikbud memastikan bahwa kegiatan akademik berjalan sesuai dengan standar dan etika akademik yang ditetapkan, serta memantau dan menangani laporan pelanggaran kebebasan akademik dan berekspresi. 



Apa saja mekanisme yang bisa dilakukan mahasiswa jika mengalami intimidasi atau tekanan dari pihak kampus?

Mahasiswa dapat mengajukan pengaduan ke Inspektorat Jenderal Kemdikbud jika pengaduan internal kampus tidak ditangani dengan baik (Lapor Kemdikbud atau Posko Pengaduan Itjen Kemdikbud).


Apa regulasi yang melindungi kebebasan berekspresi dan hak mahasiswa di lingkungan kampus?

  • UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
  • UU Sisdiknas Pasal 24 ayat (1): “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.”
  • UU Dikti 12/2012, Pasal 8 sampai Pasal 9 (Paragraf 1 Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan).


Pasal 8

(1)    Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

(2)    Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

(3)    Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.


Pasal 9

(1)   Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.

(2)   Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau Dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.

(3)      Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan otonomi Sivitas Akademika pada suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dalam menemukan, (1)mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik.

 

Pasal 13

(3) Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik. 


Permendikbud 53/2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, Pasal 33: “Pelaksanaan kegiatan pendidikan dilakukan dengan menjunjung tinggi integritas dan etika akademik dan dalam kerangka kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan yang bertanggung jawab”.



Bagaimana Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek memastikan bahwa relasi mahasiswa dan dosen tetap pada bentuk yang demokratis ?


Inspektorat Jenderal melakukan pemantauan berkala dan evaluasi terhadap interaksi antara mahasiswa dan dosen. Disamping itu, Ditjen Dikti juga secara ritin senantiasa mengembangkan panduan dan pelatihan untuk dosen, termasuk didalamnya tentang etika dan profesionalisme dalam berinteraksi dengan mahasiswa.


Itjen Kemendikbud senantiasa menerima dan menindaklanjuti laporan terkait pelanggaran relasi yang tidak demokratis.


Perlu diketahui, setiap kampus telah memiliki aturan internal perihal kode etik mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan yang didalamnya mengatur pola interaksi, nilai-nilai kampus, hingga mengatur relasi mahasiswa dan dosen tetap pada bentuk yang demokratis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Bagaimana seharusnya mekanisme yang digunakan Perguruan Tinggi dalam meminta sumbangan kepada alumni, masyarakat, dan orang tua mahasiswa agar tidak ada indikasi pungutan liar (pungli) ?


Transparansi dan Akuntabilitas: Perguruan tinggi harus memiliki kebijakan yang jelas dan transparan mengenai penggunaan dana sumbangan, serta menyediakan laporan keuangan yang dapat diakses oleh donatur.


Sosialisasi: Perguruan tinggi harus melakukan sosialisasi mengenai kebijakan sumbangan, termasuk tujuan dan penggunaannya.


Peraturan Internal: Perguruan tinggi perlu memiliki peraturan internal yang melarang pungli dan memberikan sanksi bagi pelanggarnya.


Memperkuat Keterlibatan SPI: Untuk mengawasi proses pengumpulan dan penggunaan sumbangan, memastikan tidak ada praktek pungli




Situasi di mana surat edaran telah dicabut tanpa adanya sosialisasi, namun masih diberlakukan secara praktik. Apakah hal ini berpotensi pelanggaran secara administrasi?

"SE (surat edaran) itu bukan peraturan tetapi himbauan untuk melaksanakan suatu peraturan yang telah ada atau dapat lebih memperjelas apa yang telah diatur dalam peraturan dan bagaimana menerapkannya."


xxBagaimana pandangan Ibu mengenai praktik meminta sumbangan kepada mahasiswa yang akan mengikuti yudisium dengan nominal yang sudah ditentukan? Apakah ini dianggap wajar?

      "Praktik ini tidak dianggap wajar dan dapat dikategorikan sebagai pungli jika sumbangan tersebut tidak bersifat sukarela. Menentukan nominal sumbangan dan mewajibkan mahasiswa untuk membayarnya bertentangan dengan prinsip transparansi dan keadilan dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Sumbangan seharusnya bersifat sukarela dan digunakan untuk kepentingan yang jelas dan transparan."


ru "Seharusnya UKT yang berlaku, seluruh biaya operasional mahasiswa ditiap program studi sudah terakomodir, termasuk biaya operasional atas yudisium."
















 

 

 

 

 


Tidak ada komentar: