KOLONG

[FEB][bleft]

KAMPUS UNHAS & SEKITARNYA

[FEB][twocolumns]

Pengepungan di Bukit Duri Realitas Distopia yang Terasa Terlalu Dekat oleh (Arya Fadjar)

 Ada kecemasan sunyi yang merayap saat menyaksikan adegan pembuka Pengepungan di Bukit Duri, film ke-11 dari Joko Anwar. Bukan hanya karena kekerasan yang tergambar di layar terasa terlalu gamblang, tapi karena ia mengusik ruang bawah sadar kolektif masyarakat Indonesia: bagaimana jika Tragedi 1998 bukan masa lalu, melainkan masa depan yang tinggal menunggu waktu?

Joko Anwar tidak sedang bermain-main dengan tema. Ia memilih menghidupkan sebuah dunia yang sangat mungkin—Indonesia dalam kekacauan
. Sebuah distopia yang bukan hanya mengandalkan latar reruntuhan dan kota terbakar, tapi juga atmosfer ketegangan sosial yang nyaris konstan. Inilah kekuatan awal film ini: membangun dunia yang terasa dekat, bahkan akrab, tanpa harus menjelaskan terlalu banyak.

Kekacauan sosial dan kerusuhan massa digambarkan dengan presisi produksi yang luar biasa. Departemen artistik bekerja tanpa cela: dari detail puing-puing di jalanan, pencahayaan suram yang meresahkan, hingga kesan dingin dan tak manusiawi yang menyelimuti permukiman urban yang padat. Suasana kota yang porak-poranda bukan sekadar latar, tapi menjadi karakter yang turut mencekam penonton. Di titik ini, film berhasil menyajikan sebuah “alternate history” dengan kualitas produksi yang jarang dicapai sinema nasional.

Penulisan dialog juga mengalami peningkatan signifikan dari karya-karya Joko sebelumnya. Tidak lagi terasa teatrikal atau terjebak dalam gaya noir yang terlalu berlebihan. Percakapan dalam film ini lebih alami, tajam, dan pada titik-titik tertentu bahkan menyakitkan. Beberapa diksi masih terasa mencolok, tapi bukan gangguan besar dalam alur narasi.

Deretan aktor dalam Pengepungan di Bukit Duri tampil dalam performa terbaik mereka. Morgan Oey, Hana Malasan, Endy Arfian, dan Fatih Unru tampil solid, tetapi sorotan utama pantas diberikan kepada Omara Esteghlal. Aktingnya sebagai Jefri—tokoh yang berada di ujung spektrum psikologis—begitu meyakinkan, nyaris menghipnotis. Ia bukan sekadar menjadi karakter, tetapi menciptakan ruang bagi penonton untuk mempertanyakan batas waras dan gila dalam masyarakat yang runtuh.

Dari segi teknis, aksi dalam film ini jauh lebih matang dan menghantam dari Gundala, film Joko sebelumnya yang berambisi besar namun gagal di eksekusi adegan laganya. Dalam Pengepungan di Bukit Duri, koreografi street-fight dieksekusi dengan energi kinetik yang intens, kamera bergerak lincah namun tetap presisi, menciptakan sensasi ngeri sekaligus kagum. Film ini tahu betul kapan harus brutal, dan bagaimana mengemas brutalitas itu sebagai bahasa visual yang menggigit.

Joko Anwar dengan sadar menggunakan genre crime thriller sebagai medium untuk menyisipkan kritik sosial. Isu rasisme, trauma, dan kekerasan komunal berusaha diangkat di antara darah dan api. Walau hanya di permukaan, keberanian untuk menjadikan kerusuhan sebagai latar utama tetap layak diapresiasi. Di negara yang trauma sejarahnya sering kali disapu ke bawah karpet, Pengepungan di Bukit Duri berani mengangkat kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Film ini bukan sekadar menyajikan horor sosial—ia mengemasnya dengan kematangan teknis dan energi sinematik yang menggedor. Sebuah pencapaian produksi yang mengangkat standar film aksi Indonesia ke level yang lebih tinggi, bahkan nyaris menyentuh estetika sinema global. Jika ini adalah dunia yang Joko Anwar ciptakan untuk menakut-nakuti kita, maka dia berhasil. Karena Pengepungan di Bukit Duri terasa nyata, terlalu nyata.

Namun, ketika api dan darah mereda, kita mendapati sesuatu yang hilang.

Dalam semua pencapaian sinematiknya, Pengepungan di Bukit Duri menyisakan ruang kosong yang menggema: absennya kekuasaan sebagai pelaku utama kekerasan kolektif. Film ini tajam memotret kekejaman di level akar rumput—maling, pemerkosa, perusuh, dan pembakar—namun tumpul, bahkan buta, ketika harus menyorot siapa yang menciptakan kondisi rusuh itu. Negara, militer, elit politik—semuanya lenyap dari layar, seolah kekacauan sosial adalah hasil spontan dari kebencian tanpa sebab.

Padahal, sejarah Indonesia sudah terlalu banyak memberi pelajaran bahwa kekerasan terhadap etnis Tionghoa tak pernah berdiri sendiri. Ia bukan sekadar akibat fanatisme massa atau kemiskinan yang meledak. Kekerasan itu, dari Geger Pecinan 1740 hingga Mei 1998, adalah hasil rekayasa—disiapkan, dibiarkan, dan kadang diorkestrasi oleh mereka yang berkepentingan mempertahankan status quo kekuasaan. Dalam setiap nyala api yang membakar ruko, ada bayang-bayang tangan kekuasaan yang tak tersentuh kamera film ini.

Alih-alih mengajukan pertanyaan penting seperti “siapa yang diuntungkan dari kekacauan ini?”, film memilih menelusuri jejak balas dendam pribadi. Konflik batin tokoh utama pun terjebak pada narasi psikologis-klise: trauma masa lalu akibat pemerkosaan, yang berujung pada tindakan ekstrem. Memang, ini bisa jadi alegori, tapi alegori macam apa yang menghapus aktor negara dari sejarah kekerasan massal?

Di sinilah letak kelemahan paling mendasar dari Pengepungan di Bukit Duri: kegagalannya menyampaikan konteks struktural. Film ini tak berusaha menjelaskan bahwa diskriminasi etnis adalah hasil dari kebijakan yang diwariskan sejak kolonialisme. Ia tak menggambarkan bagaimana stereotip “Cina kaya” ditanamkan selama puluhan tahun untuk memecah solidaritas rakyat miskin. Tak ada ruang dalam film ini untuk merenungkan bagaimana Orde Baru menarasikan etnis Tionghoa sebagai “the other” sambil meraup keuntungan dari ekonomi mereka.

Akibatnya, yang tersisa hanya parade kekerasan visual. Penonton diajak menyaksikan pemerkosaan, pembakaran, pemukulan, dan pembunuhan dengan kemasan artistik. Kamera merekam dengan presisi, musik latar mengiringi dengan indah, dan adegan demi adegan dikoreografikan sedemikian rupa agar kita bergidik sekaligus terpukau. Tapi semua itu menjauhkan kita dari empati—karena yang ditampilkan bukan penderitaan, melainkan sensasi. Ini adalah estetisasi trauma yang dipoles agar terasa sinematik.

Lebih parahnya, film ini gagal membangun simpati terhadap para korban. Karakter-karakter yang terbunuh nyaris tak diberi latar belakang memadai. Penonton sulit merasa kehilangan, karena mereka tak pernah diberi kesempatan untuk mengenal siapa yang hilang. Bahkan adegan “BBQ”—yang seharusnya menjadi klimaks emosional—kehilangan daya hantam karena minimnya pembangunan karakter. Kita hanya tahu mereka disiksa, tapi tak pernah tahu siapa mereka, bagaimana mereka hidup, dan mengapa kita harus peduli.

Film ini memang tampak ingin bicara banyak hal—rasisme, luka sejarah, distopia sosial. Namun, karena enggan menggugat struktur kekuasaan, ia justru terperangkap dalam eksploitasi. Ia memotret korban tanpa menguliti pelaku yang sesungguhnya. Yang tersisa adalah kemarahan visual, bukan kesadaran politik.

Tentu, film tak harus selalu didaktik. Ia tak wajib menjadi dokumen sejarah atau pamflet perlawanan. Tapi ketika memilih tema seberat kekerasan etnis dan tragedi nasional, ada tanggung jawab etis yang tak bisa diabaikan. Dan Pengepungan di Bukit Duri, sayangnya, memilih jalan aman: mengalihkan sorotan dari aktor negara ke tokoh-tokoh kriminal, dari struktur ke individu, dari sistemik ke personal.

ang paling mengusik adalah penghapusan total peran militer dan aparat. Dalam sejarah Indonesia, kekerasan massal jarang terjadi tanpa pembiaran, atau bahkan keterlibatan, dari aparat negara. Tapi di film ini, seolah tak ada tentara, tak ada polisi, tak ada intel. Hanya massa beringas dan satu dua tokoh yang membawa kita ke jantung konflik. Ini bukan hanya simplifikasi, tapi distorsi sejarah.

Dengan cara ini, Pengepungan di Bukit Duri justru mengaburkan pertanyaan-pertanyaan penting:
Siapa yang menyusun narasi kebencian?
Siapa yang memberi komando diam kepada aparat?
Siapa yang berdiri di balik kekacauan, sambil tersenyum dari balik layar kekuasaan?

Film ini tidak menanyakan itu. Ia berhenti di permukaan.

Pada akhirnya, Pengepungan di Bukit Duri adalah karya yang memikat secara visual, kuat dalam atmosfer, dan berhasil dalam membangun dunia yang mengerikan. Tapi sebagai tafsir sejarah dan refleksi sosial, ia justru menghindari kedalaman. Ia memilih jalan aman, menyajikan distopia tanpa akar politik, trauma tanpa pelaku struktural, dan kekerasan tanpa penjelasan historis.

Kita keluar dari bioskop dengan perasaan ngeri—tapi bukan karena kita tercerahkan, melainkan karena kita baru saja menonton parade kebrutalan yang dirias dengan estetika kelas atas. Film ini lebih sibuk mengguncang saraf penonton daripada menggugat kekuasaan.

Di negeri yang ingatannya kerap ditekan, film semestinya bisa jadi ruang untuk membuka luka dan menuntut keadilan. Tapi Pengepungan di Bukit Duri memilih jadi hiburan—yang menyeramkan, menegangkan, tapi tak menantang.

Dan itu, mungkin, adalah kekerasan paling sunyi dari semuanya.


Oleh : Arya Fadjar 

Tidak ada komentar: