Pemimpin yang baik bukan hanya piawai membuat strategi, tetapi juga cakap mengelola emosi. Ia tidak anti kritik, mampu membaca suasana, dan bersikap bijak di tengah tekanan. Kemampuan ini dikenal sebagai emotional intelligence atau kecerdasan emosional. Kemampuan memahami, mengatur, dan memanfaatkan emosi diri serta orang lain secara positif.
Kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri, pengendalian diri, empati, serta keterampilan membangun hubungan. Kesadaran diri membuat pemimpin memahami sumber emosinya dan dampaknya terhadap keputusan. Pengendalian diri bukan berarti menekan emosi, tetapi mengelolanya agar tidak meledak. Empati memungkinkan pemimpin melihat dari sudut pandang orang lain, sedangkan keterampilan sosial memudahkan membangun komunikasi efektif dan kerja sama.
Kecerdasan emosional dapat dipelajari dimulai dengan kemampuan mengenali perasaan sejak awal kemunculannya, entah itu marah, cemas, atau bahagia. Saat kita sadar bahwa emosi sedang hadir, kita tidak lagi dikuasai olehnya, melainkan mampu memberi jarak sejenak untuk memahami apa pesan yang dibawanya. Dalam kemarahan, misalnya, kita bisa menemukan tanda bahwa ada kebutuhan atau batas diri yang dilanggar; dalam kesedihan, kita menyadari bahwa ada kehilangan atau kerinduan yang belum terjawab.
Kesadaran itu memberi kita pilihan untuk merespons dengan cara yang lebih sehat. Alih-alih bereaksi secara spontan, kita belajar menata napas, menenangkan pikiran, lalu mengekspresikan emosi dengan bahasa yang jelas tanpa menyakiti orang lain. Dengan begitu, emosi tetap tersampaikan, tetapi tidak menimbulkan luka. Emotional intelligence juga mengajarkan bagaimana perasaan kita berhubungan dengan orang lain. Saat kita memahami emosi sendiri, kita lebih mudah membaca ekspresi orang lain, menaruh empati, dan menyesuaikan sikap agar hubungan tetap terjaga. Pada akhirnya, mengelola emosi bukan berarti selalu terlihat kuat atau tenang, melainkan mampu menerima perasaan apa adanya, memahami maknanya, lalu menyalurkannya dalam bentuk yang memberi manfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang di sekitar kita.
Berbagai studi menunjukkan, keberhasilan memimpin tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan kognitif (IQ). Schmidt dan Hunter (1998), menilai IQ memang penting, tetapi terlalu sempit untuk menjelaskan kompleksitas kepemimpinan. Roberts (2005) menegaskan, kecerdasan emosional justru menjadi penopang kepercayaan dan loyalitas tim.
Pemimpin dengan kecerdasan emosional melihat timnya bukan sekadar roda penggerak organisasi, melainkan manusia yang saling terhubung. Ia mampu menahan diri ketika marah, memberi dukungan saat tim tertekan, dan tahu kapan harus tegas maupun mendengar.
Sayangnya, di ruang kekuasaan, kata “kritik” sering dianggap ancaman. Ada pemimpin yang langsung defensif saat mendapat masukan. Ia gagal membaca bahwa di balik kritik sering ada kepedulian, dan di balik saran ada niat memperbaiki keadaan. Akibatnya, bawahan memilih diam, hanya menyampaikan hal-hal yang menyenangkan telinga.
Pemimpin yang menutup diri dari kritik sesungguhnya sedang membangun gelembung rapuh. Ia mungkin merasa aman, namun justru rentan terjebak pada kesalahan besar. Pada akhirnya, kenyataan akan berbicara lebih keras daripada kritik dan biasanya datang dalam bentuk krisis yang sulit dihindari.
Pemimpin yang hanya mengandalkan otoritas
mungkin bisa memerintah. Tapi tanpa kecerdasan emosional, ia akan kesulitan
menginspirasi. Dan dalam situasi kritis, inspirasi sering kali jauh lebih
efektif daripada instruksi.
Penulis: Ahmad Zaky Haeril
Tidak ada komentar: