Aliansi GERAM dan BEM FIB Adakan Diskusi Tolak Pembangunan PLTSa
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (BEM KM-FIB) Universitas Hasanuddin menggelar diskusi terbuka bertajuk “Diskusi Seputar PLTSa” bersama Koalisi Gerakan Rakyat Menolak Pembangunan PLTSa (GERAM). Kegiatan ini berlangsung di pelataran Aula Mattulada, Fakultas Ilmu Budaya Unhas, pada Rabu (22/10/2025).
Diskusi ini menghadirkan perwakilan dari Koalisi GERAM, Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI), serta Wakil Dekan III Bidang Kemitraan, Riset, Inovasi, dan Alumni FIB-UH, Dr. Wahyuddin, S.S., M.Hum. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh BEM FIB untuk membahas kerja sama antara FIB-UH dan PT Sarana Utama Synergy (SUS), perusahaan yang bermitra dengan Pemerintah Kota Makassar dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Proyek ini rencananya akan dibangun di Kelurahan Parangloe dan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar.
“Diskusi PLTSa ini hadir sore tadi karena adanya pembangunan
perusahaan PLTSa di tengah permukiman yang berada di masyarakat, yaitu di
Kappasa, dan tentu saja berdampak langsung pada warga. Oleh karenanya, kami
mengundang warga dan pihak dekanat untuk diskusi sekaligus klarifikasi,
dikarenakan pihak Fakultas Ilmu Budaya sendiri bekerja sama dengan PT SUS yang
merupakan perusahaan dari PLTSa ini,” tutur Ikki dari BEM FIB-UH.
Dalam diskusi tersebut, WD III FIB-UH menjelaskan bahwa kontrak Memorandum of Agreement (MoA) antara FIB-UH dan PT SUS merupakan arahan dari pihak rektorat, karena melihat adanya potensi kerja sama berupa kesempatan mahasiswa Program Studi Bahasa Mandarin untuk melaksanakan magang di PT SUS. Namun, BEM FIB menilai program magang tersebut bermasalah karena tidak mempertimbangkan dampak pembangunan PLTSa terhadap masyarakat sekitar.
“Pihak dekanat tidak pernah mencari tahu terlebih dahulu
bahwa telah terjadi perampasan ruang hidup di lokasi perusahaan ini berdiri,
dan kerja sama yang dilakukan tidak pernah melibatkan mahasiswa, tidak pernah,
bahkan tiba-tiba saja ada MoA dan segala macamnya,” tambah Ikki.
Perwakilan Koalisi GERAM dalam diskusi tersebut juga melayangkan kritik terhadap pihak Unhas yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Mereka menilai Unhas tidak melakukan peninjauan langsung terhadap perusahaan maupun warga sebelum menjalin kerja sama dengan PT SUS.
“Sebenarnya sudah lama kami meminta untuk datang ke sini,
untuk adakan diskusi terkait kerja sama yang pernah dilakukan oleh FIB kepada
PT SUS. Dari situlah muncul keresahan kami, kenapa FIB dan PT SUS ini melakukan
MoA. Dari situ, setelah kami mengetahuinya, kami sangat sakit hati dan kami
sangat geram, kok bisa-bisanya? Harusnya fakultas itu bersama masyarakat, bukan
bersama orang-orang yang akan menyengsarakan masyarakat. Yang paling parahnya
lagi, kok bisa-bisanya mereka menyambut tanpa melihat dulu latar belakangnya,
ini permasalahan posisinya di mana, atau apa yang terjadi pada masyarakat,”
ucap Hj. Akbar Ali selaku Ketua Aliansi GERAM.
Pembangunan PLTSa yang direncanakan beroperasi selama 30 tahun dan menampung hingga 1.500 ton sampah per hari ini mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, terutama warga di sekitar lokasi proyek, yaitu di Kampung Tamala’lang, Mulabaru, Alamanda, dan Akasia.
“Kami saat ini masih dalam proses pendataan, tapi pendataan
kami baru meliputi masyarakat yang menolak di sekitar situ. Sedangkan dari segi
jumlah pendataan kami untuk di dua kampung, Tamalalang dan Mula Baru, kami
sudah memegang 700 nama yang menolak. Itu belum termasuk anak kecil, bayi, dan
balita,” ucap Nurul Fadli Gaffar, perwakilan dari WALHI Sulawesi Selatan.
Proyek ini juga menimbulkan tanda tanya besar karena tidak
adanya transparansi pada prosedural dalam pemilihan wilayah pembangunan PLTSa,
yang sebelumnya direncanakan di Kelurahan Tamangapa namun secara tiba-tiba
dipindahkan ke Kelurahan Bira.
“Saya juga masih bertanya-tanya karena informasi soal
prosedur yang ini sangat tidak transparan. Jadi, mereka hanya mengatakan di
Kelurahan Bira ini katanya dia yang memenuhi uji kelayakan, katanya dekat
dengan sumber air, dekat dengan SUTET, transmisi, dan yang ketiga apa ya, saya
lupa. Tapi intinya dua hal ini, satu yang paling tidak masuk akal soal masalah
air, karena sungai di dekat situ merupakan sungai mati. Itu bukan sungai
seperti yang kita kenal pada umumnya, mengalir air setiap saat. Sungai itu hanya
anak Sungai Tallo yang berfungsi saat musim hujan tiba mengaliri banjir, dan
ketika musim kemarau, itu kering, sangat kering, tidak bisa diambil airnya.
Jadi, kalau ini tetap dipaksakan, itu berpotensi melahirkan konflik air, karena
warga di sana juga cukup bergantung pada air tanah. Kalau mereka tidak cukup
air dari sungai, maka mereka pasti akan menggunakan air dari tanah sumur bor,
dan itu salah satu ketakutan warga juga,” tutur Fadli.
Hadirnya diskusi ini diharapkan dapat mengundang dukungan dari berbagai pihak serta mendorong Universitas Hasanuddin untuk segera mencabut kerja sama dengan PT SUS. Meskipun sempat diwarnai dengan tuntutan warga agar Dekan FIB menemui mereka secara langsung, diskusi tetap berlangsung dengan partisipasi aktif warga dan mahasiswa yang menyampaikan berbagai aspirasi.

Tidak ada komentar: